Friday, April 19, 2024
HomeEkonomikaPeringatannya Terkait Tax Amnesty Diabaikan, Pengamat Ini Nilai Jokowi Masuk Jebakan Konspirator

Peringatannya Terkait Tax Amnesty Diabaikan, Pengamat Ini Nilai Jokowi Masuk Jebakan Konspirator

ilustrasi (foto: istimewa)
ilustrasi (foto: istimewa)

JAKARTA – Banyak kalangan menilai bahwa penerapan dan target dari Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) tidak berjalan mulus. Pesimisme itu semakin kuat mengingat dari target penerimaan IDR 165 triliun dari Pemerintahan Jokowi-JK hingga akhir Agustus 2016 baru mencapai IDR 1,45 triliun.

Menanggapi kondisi ini, pengamat politik senior Rahman Sabon Nama menyatakan bahwa dirinya tidak kaget karena sejak awal dirinya telah memberikan penilaian dan peringatan dini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), agar lebih berhati-hati.

“Pada Februari lalu kan saya sudah ingatkan Presiden untuk tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU Pengampunan pajak menjadi UU. Waktu itu ada dugaan kuat RUU dibuat dengan penuh rekayasa yang beraroma suap,” ujar Rahman Sabon Nama kepada redaksi, Sabtu (3/9/2016).

Rahman Sabon melanjutkan, pada awal pembuatan RUU Pengampunan Pajak ada isu yang menyebutkan bahwa empat pabrik rokok ternama memiliki hutang pajak sebesar IDR 63 triliun dan konglomerat pemilik perusahaan cangkangnya berusaha keras untuk menggolkan UU ini dengan memanfaatkan lemahnya kepemimpinan nasional. Menurut Rahman Sabon, ketidakhati-hatian dalam mengesahkan RUU Pengampunan Pajak ini memang dapat membawa kerugian bagi negara dan akan membawa Presiden Jokowi ke tepi jurang masalah. Hal itu menurutnya tak lepas dari prediksi penerimaan pajak yang justru akan mengalami penurunan drastis karena telah “di-ijon-kan” melalui suap pada saat RUU ini disahkan.

“Adanya isu suap tersebut semakin terkuak terlihat dari ketidaksiapan Pemerintah. Coba kita lihat, awalnya yanh didengungkan bahwa subyek Tax Amnesty adalah memulangkan uang wajib pajak kelas kakap di luar negeri, tetapi oleh Dirjen Pajak dibelokkan dengan mengejar WP rakyat kecil mulai pensiunan sipil dan militer, UKM, koperasi dan bahkan asosiasi dan seniman penerima royalti dipajaki oleh aparat pajak,” papar tokoh yang juga Ketua Umum APT2PHI (Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Holtikultura Indonesia) ini.

Rahman Sabon menambahkan bahwa sebelum diundangkan RUU Pengampunan Pajak terlebih dahulu dilakukan sosialisasi uji publik baik dengan perguruan tinggi maupun dengan masyarakat, tapi ia menyesalkan usulannya saat itu. Terlihat adanya kolaborasi busuk para pengemplang pajak besar yang tega menyulap aturan untuk menyelamatkan diri mereka dan taruhannya adalah 250 juta rakyat Indonesia dan membawa kesan dimana Presiden Jokowi tampak sebagai pihak paling bertanggung jawab.

“Jika mau jujur, tentunya yang paling bertanggung jawab adalah kabinet ekonomi jilid I dan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi karena dialah yang meminta DPR mempercepat UU ini kala itu. Isu yang berkembang ketika itu telah disiapkan dana IDR 1,5 triliun sebagai bonus untuk percepatan pengesahan UU Tax Amnesty ini,” ungkap pria kelahiran NTT tersebut.

Kabinet Ekonomi pada jilid I bertanggung jawab menurut Rahman Sabon, nampak pasca munculnya permasalahan hingga menyebabkan keresahan di masyarakat, Darmin Nasution dan Bambang Brodjonegoro kala itu membisu. Beruntung menurutnya, Presiden kemudian menyadari bahwa telah terjadi penyimpangan dalam penerapan UU Pengampunan Pajak dan meluruskan bahwa Tax Amnesty hanya diperuntukkan bagi wajib pajak besar sehingga dana wajib pajak pengusaha besar di luar negeri bisa dipulangkan.

Respon cepat itu akhirnya melalui tangan Menteri Keuangan, muncul peraturan PMK Nomor 127 yang dikeluarkan pada 29 Agustus 2016 beberapa hari lalu itu.

“Beruntung Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sudah keluar untuk meluruskan. Tapi masyarakat sudah kadung pesimis bahwa PMK tidak berdampak bagi keberhasilan Pengampunan Pajak,” tegasnya.

Setelah munculnya PMK tersebut, Rahman Sabon menduga para pengusaha akan memohon secara formalitas untuk ikut program tetapi hanya sekadar untuk mendapatkan surat pengampunan pajak agar tidak dikejar aparat pajak. Sementara itu, menurutnya DPR sendiri merasa tanggung jawabnya sudah selesai dengan mengesahkan UUnya untuk memenuhi kemauan Pemerintah dan merasa telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Akhirnya, sekarang Presiden Jokowi menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas berhasil tidaknya UU Pengampunan Pajak.

“Dari rangkaian peristiwa ini, maka motif dan kedok dari Tax Amnesty sudah diketahui publik. Kini piring kotor yang dibuat Darmin ,Bambang dan Ken harus bisa dicuci oleh Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan yang baru dan harus bisa memenuhi target 165 triliun dari agar defisit APBN tidak sampai melebihi 3% PDB. Jika Sri Mulyani tidak bisa capai target ini, maka sorotan publik pasti mengarah pada Presiden. Inilah yang dimaui oleh para kolaborator yang dulu tergesa-gesa mendesak UU Pengampunan Pajak segera disahkan,” pungkasnya.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular