Terus terang, sejak Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno lolos ke putaran kedua, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (2017-2022), penulis kurang memberikan perhatian kepada media sosial. Putaran pertama begitu menyita waktu penulis, sehingga membengkalaikan banyak hal. Beberapa keputusan penting juga penulis jalankan, salah satunya adalah tidak lagi meneruskan untuk meraih gelar doktoral pada Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia. Banyak pekerjaan kantor dan pribadi yang terlantar. Konsentrasi penuh penulis berikan kepada proses pemenangan Anies-Sandi.
Untuk membayar waktu yang hilang, penulis langsung berangkat liburan ke Bali beberapa saat setelah pemilihan tanggal 15 Februari 2017. Empat hari tiga malam penulis bersama dua orang anak dan istri mendekatkan diri lagi dengan tidur di kasur yang sama, berenang di Pantai Seminyak, hingga jalan kaki menelusuri jalanan Kuta dan Seminyak. Penulis juga mulai menyusun agenda pekerjaan-pekerjaan kantor dan pribadi, tentu berdasarkan asumsi betapa Anies-Sandi akan dengan mudah memenangkan putaran kedua. Tentu banyak alasan yang mendasari optimisme penulis itu, terutama belajar dari “anomali” dan “diskresi” pemilih Jakarta yang bisa diamati sejak pemilu 1955. Begitu juga dari data ribuan pemilihan langsung kepala daerah di Indonesia sejak tahun 2005.
Namun, rencana tetaplah rencana. Penulis menemukan tipologi yang relatif “baru” dalam perpolitikan Jakarta. Beragam serangan hitam dilakukan guna mendegradasi tingkat keterpilihan Anies-Sandi pada putaran kedua. Padahal, fakta sudah bicara, yakni kemenangan mutlak Anies-Sandi di lokasi pemilihan ulang. Artinya, sekecil apapun fakta itu, bagi analis yang bekerja berdasarkan teori, metodologi, hingga data yang terukur, tentu tidaklah sulit melakukan proyeksi. Kemenangan Anies-Sandi itu juga didukung faktor band wagon effect.
Pertanyaannya, kenapa pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat tak mendapatkannya? Sederhana saja, keberhasilan Ahok-Djarot memenangkan putaran pertama dengan suara 42% adalah bagian (akhir) dari band wagon effect yang ia terima. Hancurnya suara Agus Harimurti Yudhoyono–Sylviana Murni menunjukkan betapa “kegalauan” pemilih sudah berakhir. Warga DKI Jakarta sudah berhasil memerdekakan diri dari “konflik ideologi politik” berdasarkan sentimen keagamaan tepat pada hari pemilihan. Salah satu tokoh simbolis, yakni Habib Rizieq ditetapkan (juga) sebagai tersangka dalam kasus penodaan Pancasila.
Titik ekuilibrium sebetulnya sudah tercapai pada awal Februari 2017, namun dalam suasana yang masih “terkejut” atas penetapan Habib Rizieq itu. Lonjakan suara Ahok-Djarot yang melebihi prediksi lembaga survei manapun menunjukkan bahwa keduanya sudah diberikan “hadiah” suara oleh pemilih Jakarta, akibat pendapat-pendapat yang selama ini selalu memojokkan Ahok dalam kasus penistaan agama Islam dan meninggikan Habib Rizieq sebagai sosok pemersatu ummat Islam bersama ulama lain. Karena itulah, energi bagi terciptanya band wagon effect tercipta dan mencapai puncaknya pada tanggal 15 Februari 2017 itu.
Perolehan suara Anies-Sandi yang hampir mencapai 40% tidak bisa dikatakan sebagai limpahan dari suara “Asal Bukan Ahok-Djarot”. Pusat pertarungan politik yang sebenarnya terjadi antara pasangan Agus-Sylvi versus Ahok-Djarot. Dua kesempatan debat terbuka yang penulis hadiri menunjukkan itu. Pertama, sebagai juru bicara Anies Sandi dalam Diskusi Ruang Tengah TEMPO pada tanggal 2 Desember 2017, dengan Raja Juli Antoni dari pihak Ahok-Djarot dan Rachland Nasidik dari pihak Agus-Sylvi. Kedua, Twitwars antara saya dengan Budiman Sudjatmiko (Ahok-Djarot) dan Rachland Nasidik (Agus-Sylvi) pada tanggal 7 Januari 2017. Dalam kedua kegiatan itu, hampir tidak ada perlawanan dari pihak relawan Anies-Sandi, baik secara langsung dalam kedua acara itu, maupun lewat sosial media.
Penulis sempat berkilah, ketika ditanyakan kenapa tidak ada pendukung Anies-Sandi yang datang pada acara Twitwars: “Mayoritas relawan kami kaum ibu. Kebetulan acara selesai mau maghrib, jadi mereka memilih untuk memasak, sholat dan mengaji.” Tapi memang, penulis sempat menyampaikan peringatan betapa, “Saya akan melibatkan akun-akun legendaris dan akun-akun veteran yang selama ini diasosiasikan dengan saya dan dikenal tajam, apabila ada propaganda hitam terhadap Anies atau Sandi.” Ya, aktivitas media sosial Anies-Sandi baru masif dua minggu menjelang hari penyoblosan. Rally-rally panjang pertarungan buzzer-buzzer Agus-Sylvi versus Ahok-Djarot bahkan memicu pertengkaran banyak aktivis mahasiswa era 1980-an dan 1990-an di media sosial.
Bahkan, dibandingkan pilihan-pilihan politik sejak 1999 yang ditempuh lapisan aktivis yang mayoritas sudah berkepala empat dan lima ini, perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur 2017-2022 ini terasa lebih emosional, lebih ideologis dan lebih terang-terangan. Masing-masing menggunakan pengaruhnya, menggunakan akun-akun sosialnya (twitter, instagram, path, linkedin, facebook, blog, vlog dan sebagainya) guna menyatakan opini. Padahal, mereka adalah pejabat publik, termasuk sosok-sosok yang disegani di komunitas mereka atau di tengah bangsa dan negara secara keseluruhan.
Tentu yang paling menarik adalah perdebatan yang terjadi di Whatsapp Group heterogen. Salah-satunya adalah WAG Nalar Konstitusi RI yang penulis adminin. WAG NKRI ini memang berisi hampir seluruh stake holders penting di Indonesia, baik pimpinan utama partai, elemen pemerintahan setingkat menteri atau staf khusus, pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), redaktur media massa, kalangan kampus hingga lembaga-lembaga survei. Prinsip penulis, sebuah WAG akan otomatis hidup selama 24 jam, apabila di dalamnya berisi pihak-pihak yang intensif bertukar pikiran dengan kekuatan seimbang.
Tertu ada juga yang menuduh betapa kalangan aktivis yang “bertarung” itu lebih pragmatis atau lebih oportunis. Tuduhan ini tentu penulis tolak, mengingat fakta-fakta yang secara kasat mata bisa dilihat, betapa para aktivis yang terlihat “kembali muda” itu sudah masuk ke dalam kelompok kelas menengah atas, bahkan bisa dikatakan juga sebagian kecil sudah masuk kategori kelas atas (upper class). Urusan mencari rezeki sama sekali diluar keterlibatan yang mereka perlihatkan.
Lalu, apa sesungguhnya yang membuat para aktivis ini tak segan-segan mengadu pendapat mereka di ruang publik? Jangan salah, bukan hanya berani berpendapat dan beradu pendapat, bahkan mayoritas juga ikut membiayai sendiri aktivitas kampanye kandidat yang mereka dukung, baik untuk pasangan Anies-Sandi maupun pasangan Ahok-Djarot. Mereka yang membiayai tentunya tak sepenuhnya bisa aktif di media sosial dan sebagainya, mengingat pekerjaan sebagai profesional di sejumlah bidang, baik di dalam maupun luar negeri. Apa yang sesungguhnya terjadi?
(Bersambung)
INDRA J PILIANG
Analis Senior Sang Gerilya Institute