Friday, April 19, 2024
HomeGagasanPemuda Ujung Tombak Kemerdekaan Indonesia (5): Ungkapan Rasa Syukur kepada Pejuang Bangsa...

Pemuda Ujung Tombak Kemerdekaan Indonesia (5): Ungkapan Rasa Syukur kepada Pejuang Bangsa dengan Berdoa

ilustrasi. (foto: istimewa)

 

Bangsa Indonesia tahun 2020 ini genap berusia 75 tahun, berarti menjelang satu abad. Rasa syukur sudah tentu kita panjatkan kepada pencipta alam dan segala isinya ini. Oleh karena itu, tidaklah keliru jika di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri negara mencantumkan kalimat: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Apabila kita menyaksikan Bung Karno atau Soekarno seusai membaca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka terlihat
ia mengangkat kedua tangannya untuk mengucapkan rasa syukur kehadapan Allah yang Maha Kuasa.

Bung Karno tampak khusuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang baru saja ia proklamirkan berjalan langgeng dan rakyat Indonesia diberi kekuatan dalam mempertahankan kemerdekaannya. Bung Karno dengan memejamkan kedua matanya dan mengangkat kedua tangannya berdoa di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56, Jakarta Pusat.

Doa di halaman muka kediamannya itu sekaligus sebagai tanda syukur kepada Tuhan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka seusai mengalami penjajahan lebih dari tiga abad.

Di belakang Bung Karno (berkopiah hitam) tampak Kepala Barisan Pelopor dr Muwardi. Dialah yang memimpin Barisan Pelopor termasuk satuan PETA (Pembela Tanah Air) yang mengikuti acara proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, 75 tahun lalu. Sedangkan di bagian belakang (berkacamata) tampak Wali Kota Jakarta Raya, Sudiro.

Bung Karno di dalam perjalanan hidupnya berkali-kali pula mengalami percobaan pembunuhan. Maka, dengan doa, ia selalu meminta perlindungan dari Sang Pencipta.

Setelah Indonesia merdeka dan Belanda ingin kembali menguasai tanah air kita, Soekarno ditahan Belanda. Bahkan Soekarno juga mendengar kabar dari seorang pelayannya, dia akan dieksekusi mati oleh Belanda.

Sang pelayan sampai menangis tersedu-sedu saat memberi tahu Soekarno. Pelayan itu mendengar kabar tersebut dari serdadu Belanda. Mengetahui hal itu, Soekarno pun berjalan ke kamarnya, dan membuka Al-Qur’an.

Saat membuka Al-Qur’an, Soekarno “menemukan” ayat yang maknanya:

“Mati-hidup manusia di tangan Allah SWT”.

Setelah membaca ayat itu, Soekarno pun menjadi tenang.

Tak lama setelahnya, Soekarno dipindahkan ke Bangka. Ia ternyata batal dihukum mati. Itu semua berkat doa kepada sang Pencipta. Cerita ini bisa dibaca di dalam buku: ” Soekarno Poenja Tjerita”, yang diberi kata pengantar oleh Roso Daras, terbitan Bentang tahun 2016.

Mengunjungi Makam-Makam Ulama

Doa juga selalu kita panjatkan di makam-makam-makam para ulama dan pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia yang waktu masih muda-muda. Apalagi menjelang Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-75, tanggal 17 Agustus 2020. Dengan memanjatkan doa diharapkan kemerdekaan bangsa Indonesia terus bertahan hingga akhir zaman.

Tentang berziarah dan berdoa di makam-makam, maka almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sering berziarah ke makam-makam yang disebut wali Allah tersebut. Oleh karena itu tidak tepat dikatakan sebagai tempat pemujaan yang mengarah kepada syirik. Kita di sana berdoa langsung kepada Allah SWT dengan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sholat sebagaimana diperintahkan yaitu hati dan pikiran tetap kepada Allah SWT. “Hanya kepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami minta tolong.”

Hal berdoa dan berziarah ini, saya mengalaminya secara pribadi.

Ketia minggu pertama bulan November 2017, saya mengikuti rombongan salah seorang yang waktu itu sebagai anggota DPR RI dari Komisi III (Golkar), Drs Ahmad Zacky Siradj. Perjalanan itu memang melelahkan ketika menuju Tasikmalaya, tetapi semua itu terobati ketika kami berziarah ke Pamijahan.

Pamijahan adalah nama tempat wisata bagi peziarah yang berada di desa Pamijahan Kecamatan Bantarkalong Kabupaten Tasikmalaya.

Sejarah Pamijahan mengacu kepada dua tempat yang menarik peziarah untuk mendatangi kawasan ini yaitu Goa Safarwadi dan Makam Waliyullah Syeh Abdul Muhyi.

Saya dan rombongan datang sudah agak sore, sehingga tidak memungkinkan mengunjungi Gua Safarwadi. Kami hanya sempat ke Makam Waliyullah Syeh Abdul Muhyi.

Pamijahan terkenal keberadaannya sebagai kawasan yang masih terjaga dan sering dikunjungi orang-orang dari berbagai pelosok tanah air bahkan manca negara dan merupakan salah satu peninggalan bersejarah awal mula tersebarnya agama Islam di berbagai kawasan.

Pamijahan terletak di sebuah kampung di pinggir sungai dan merupakan pusat dari kedusunan setempat yang masih terlihat asri dan alami karena penduduk lokal menjaga dan mentaati nasihat dari para tokoh sepuh dan ulama dalam menjaga alam secara lestari.

Adapun kini banyak perubahan terjadi terutama di area terminal dan sekitarnya karena tuntutan akan perlunya daya tampung lebih besar untuk fasilitas transportasi terutama bus-bus besar antar provinsi yang mengantarkan peziarah ke Pamijahan sering datang dan terparkir di kawasan terminal sehingga area pusat kedatangan peziarah ini terus dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut.

Kampung ini dinamakan Pamijahan karena tempat tersebut sering dikunjungi banyak orang yang hendak berziarah ke makam Waliyullah Syeh Abdul Muhyi. Seiring dengan bertambahnya kedatangan peziarah yang datang tanpa kenal waktu dan bergantian mengunjungi area tersebut menjadikan keadaan dan suasana setempat seperti layaknya “ikan yang akan bertelur”.

Pamijahan berasal dari kata Mijah, dalam bahasa Sunda yang berarti tempat ikan bertelur, ini mengandung filosofi menarik karena pada kenyataanya ikan yang bertelur dan menetas dapat menghadirkan generasi baru yang diharapkan mampu meneruskan dan mewarisi sifat-sifat induk atau leluhurnya guna melanjutkan cita cita pada awal mulanya.

Jadi jelas bahwa asal muasal nama dan sejarah Pamijahan mengandung arti yang baik dan bermakna, sangat berbeda jauh dengan menerjemahkannya secara serampangan dan tanpa ilmu yang menyebutnya sebagai tempat pemujaan.

Tidak jauh berbeda dengan Pamijahan di Indonesia, hal yang sama, juga saya alami ketika berkunjung ke Irak untuk kedua kalinya pada bulan September 2014 (pertama di bulan Desember 1992). Saya sempat berkunjung ke Masjid Al-Kufa (Kufah) di Kufa, Irak.

Hari Sabtu, 20 September 2014, saya bersama staf Kedutaan Besar RI di Baghdad, berkunjung ke masjid yang didirikan Abad VII, luasnya 11.000 persegi. Sewaktu saya ke sana, masjid ini sedang diperluas.Kufa adalah sebuah kota di Irak, jaraknya 170 km di selatan Baghdad.

Di sini saya sholat dan berdoa di pemakaman para ulama Irak yang syahid. Sudah dapat dipastikan memasuki masjid itu, saya sangat kagum. Masjid itu terawat dengan baik, bersih dan berlapiskan lampu-lampu bercahaya.Saya berkeliling dan juga diperlihatkan di mana Sayidina Ali ra, sahabat Nabi Muhammad SAW berkantor di sana di sebuah ruangan. Juga diperlihatkan di mana beliau tewas ditikam ketika dibunuh saat sedang mengerjakan Sholat Subuh.

Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan ke Padang Karbala, tempat putranya Ali r.a, yaitu Hussein tewas terbunuh. Saya dan Staf KBRI di Baghdad berdoa di makam-makam tersebut.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan dan Wartawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular