Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPemerintahan Minoritas, Mengapa Tidak?

Pemerintahan Minoritas, Mengapa Tidak?

Hasil pemilu Kanada hampir serupa dengan Israel. Partai Liberal di Kanada pimpinan Justin Trudeu (49 tahun) hanya meraih kemenangan tipis. Pada 14 Juni lalu, Naftali Bennet (49 tahun), terpilih sebagai Perdana Menteri Israel lewat koalisi delapan partai politik. Di Perancis, partai pimpinan Presiden Emmanuel Macron (43 tahun), tak sanggup memenangkan satupun daerah dalam pemilu regional.

Lebanon, salah satu negara dengan tingkat depresi ekonomi terburuk, memberikan kesempatan lagi kepada Najib Mikati (65 tahun) untuk menjadi perdana menteri. Hanya dalam waktu 1 tahun, Yoshihide Suga (72 tahun) mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Jepang. Fumio Kishida (64 tahun) terpilih sebagai perdana menteri, sebagai wakil rakyat asal Hiroshima. Padahal, langkah Suga yang mendekat ke negara ASEAN dianggap sebagai satu terobosan baik dalam mengendurkan ketegangan di Laut China Selatan.

Tentu, kilasan lima negara itu bukanlah patologi politik di seluruh dunia. Paling tidak, tahun 2020 lalu, terdapat 45 negara yang mengadakan pemilu, baik legislatif, presiden, sampai lokal. Yang diurai lebih banyak agenda pengendalian pandemi COVID 19 dalam keseluruhan tahapan pemilu, ketimbang hasil yang diraih.

Berselancar lebih lama di internet tentu memberi peluang bagi penambahan data baru. Benar saja. Pemerintahan kiri tengah Norwegia sulit terjadi, setelah Partai Sosialis Kiri memutuskan keluar. Calon pengganti Perdana Menteri Erna Solbelg (60 tahun) belum final hingga kini. Begitu juga Hungaria, pemerintahan minoritas terbentuk berdasarkan persaingan Ferenc Gyurcsany (60 tahun) dan Gordon Bajnal (53 tahun). Romania mengalami masalah yang sama, tatkala Perdana Menteri Florin Citu (49 tahun) menghadapi mosi tidak percaya.

Dunia memang sedang berubah. Kehancuran kaum diktator, kelahiran demokrasi, tidak lagi didominasi oleh kaum tani –termasuk tuan-tuan tanah– dan orang-orang baik dari kalangan borjuis. Buku “Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasent in the Making of the Modern World” karya Barrington Moore memerlukan tambahan bab baru. Kepemilikan lahan kian terbatas. Orang-orang kaya baru, berasal dari mereka yang mampu menjadi Unicorn dalam alam e-commerce. Mereka selalu muncul pada urutan teratas dalam daftar orang-orang yang paling berpengaruh di dunia. Padahal, jejak yang mereka buat dalam perjalanan kehidupan, masih setapa dua tapak.

Dalam pengalaman Kanada, pemerintahan minoritas pada tingkat nasional (federal) sudah terjadi sebanyak 15 kali. Sejak Alexander Mackenzie (1873-1874, Liberal), William Lyon Mackenzie King (1921-1925, 1925-1926, Liberal), Arthur Meighen (1926, Concervative), hingga Justin Trudeau (2019-2021, Liberal). Dalam level pemerintahan provinsi, juga sudah banyak terjadi.

Indonesia, dalam 76 tahun kemerdekaan, bahkan memiliki pemerintahan minoritas lebih panjang (48 tahun) ketimbang pemerintahan mayoritas (28 tahun). Bisa dikatakan, pemerintahan mayoritas terjadi sejak tahun 1971 hingga 1999. Strong government ini mampu menjalankan trilogi pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Yang dipersoalkan, dalam masa strong government itu, ternyata hanya satu presiden yang terus-menerus dipilih.

Apakah bisa dikatakan serupa dengan Vladimir Putih (tanggal 7 Oktober besok berusia 69 tahun) di Russia yang berkuasa (sebagai Perdana Menteri, sebelum terpilih menjadi presiden, lalu kembali menjadi perdana menteri) sejak tahun 1999. Putih adalah satu orang yang menjadi aktor tunggal negara sehebat Russia selama 22 tahun.

Kondisi Indonesia terbalik dibandingkan Russia. Selama 22 tahun ini, pemerintahan silih berganti. Namun, tidak terdapat satupun partai politik yang memiliki mandat sebagai kekuatan mayoritas. Guna mencapai kesepakatan di parlemen nasional, koalisi dibangun. Sesuatu yang sangat biasa dan bahkan wajib dilakukan, dalam sistem pemerintahan parlementer. Bahkan, satu dan dua kursi di tingkat parlemen nasional sangat bernilai tinggi, berhubung bisa gagal atau berhasil membangun pemerintahan minimalis.

Di Indonesia, justru koalisi yang kuat di parlemen yang terjadi pasca-pemilu –selalu begitu juga, di negara-negara lain– dijadikan lelucon oleh banyak orang yang memiliki waham tertentu. Terakhir, sinyal Partai Amanat Nasional bakal mendapatkan kursi dalam reshuffle kabinet mendatang, dianggap sebagai cacat secara moral dan etika politik. Partai politik boleh hadir sebagai penanda bahwa diktator sudah dilengserkan, namun jangan coba-coba mendapatkan kekuasaan. Partai politik lebih dipandang sebagai organisasi filantropis atau kumpulan Robinhood yang tak boleh pasang iklan ketika mereka menyumbang.

Bukan saja di tingkat nasional, dalam level pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota, jumlah pemerintahan minoritas semakin hegemonis. Tidak ada partai politik yang memiliki kekuatan (rekayasa dan intimidasi) seperti pimpinan Hun Sen (69 tahun) di Kamboja. Bilang tahun pemerintahan Hun Sen sudah sejak 1993 atau 28 tahun berjalan terus. Daya cengkeram Hun Sen belakangan makin menggila, yakni sama sekali tak menyisakan satupun kursi kepada partai di luar Partai Rakyat Kamboja yang dikangkanginya. Beruntung, sistem pemerintahan daerah di Indonesia sama sekali tak memisahkan kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif. Bahkan, berbagi pun dalam timbangan yang berat sebelah. Legislator daerah hampir tak memiliki gigi. Seminim apapun dukungan yang dimiliki seorang kepala daerah, sama sekali tak banyak berdampak kepada kapasitas kekuasaan yang dikendalikan.

Pola koalisi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 membuka kearah pemerintahan minoritas yang kian telanjang. Antara tiga hingga empat pasangan kandidat bakal bersaing. Yang berhasil sendirian sebagai syarat pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden hanya PDI Perjuangan. Partai politik lain bisa membentuk koalisi, minimal dua partai politik. Sejumlah “relawan pemenangan” sudah coba mengotak-atik pasangan calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing. Kesadaran temput dengan teknik pre emptive strike sudah semakin tersebar. Walau spekulasi juga mengular.

Namun, tetap dengan pertanyaan kunci: apakah cukup kesadaran untuk berlaga dalam medan pertarungan yang kian transparan? Tanpa sama sekali membangun keikhlasan, betapa koalisi pemerintahan minimalis yang bahkan tak mencapai angka 50% tambah satu adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan?

Wallahu ‘alam.

JAKARTA, 6 Oktober 2021

 

INDRA J PILIANG

Ketua DPP PEKAT Indonesia Bersatu

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular