Pada Tahun 1997, Indonesia, Republik yang kita cintai ini, yang tegak dari perjuangan para pendiri bangsa dan para syuhada dengan dirahmati kemerdekaannya mengalami krisis ekonomi dan politik. Sebuah krisis yang menurut pengamatan penulis tidak terjadi secara alamiah, bahkan hal itu dapat disimak dari peringatan yang disampaikan oleh Presiden RI saat itu, Bapak Soeharto yang secara retoris mengajukan pertanyaan pada para tokoh yang menuntut beliau lengser. Pertanyaan itu adalah, “Apakah akan lebih baik Indonesia nanti jika saya mundur?
Pertanyaan (alm.) Soeharto, mantan Presiden RI itu menemukan faktanya saat ini. Selama 17 tahun lebih apa yang disebut reformasi justru banyak terjadi kontroversi dan kegaduhan sebelum Presiden akhirnya mengambil sebuah kebijakan pemerintahan, terutama di bidang ekonomi dan politik. Kita sadar atau tidak sedang masuk dalam strategi adu domba yang dirancang oleh sebuah kepentingan para pemilik modal yang dengan model demokrasi yang langsung ini (super liberal) menjadi aktor yang menentukan berbagai program pembangunan bangsa dan negara kita.
Kegaduhan soal kelanjutan eksplorasi tambang tembaga di Tembagapura oleh Freeport di Papua dan pemilihan lokasi eksplorasi tambang gas Blok Masela di Maluku misalnya bukan satu atau dua kasus yang terjadi. Diprediksi akan banyak lagi kegaduhan di waktu mendatang jika tidak ada evaluasi menyeluruh atas sistem yang saat ini berjalan.
Meskipun keputusan Presiden Joko Widodo tentang Blok Masela sudah sesuai aspirasi sebagian besar kelompok masyarakat, tapi ini bukanlah the last of decision resort. Jika memang Presiden mengerti hitungan bisnis pengelolaan sumber daya alam, khususnya gas dan potensi penguasaan oleh blok kapitalisme, maka sebenarnya inilah momentum bagi Presiden untuk menjalankan agenda Trisaktinya. Kebijakan strategis di tengah momentum yang presisi itu terutama adalah soal kemandirian ekonomi yang juga merupakan mandat Konstitusi, yaitu pasal 33 ayat 1,2 dan 3.
Ironisnya, fakta menunjukkan kebijakan Presiden Joko Widodo atas pengelolaan Blok Masela lebih mengarah pada pertimbangan ekonomi yang juga belum bisa dipastikan hasil dan dampaknya, karena masih bersifat feasibility, bahkan berjangka pendek. Jika keputusan itu dibuat bukan hanya atas dasar pertimbangan ekonomi dan jangka pendek, maka paling tidak Presiden harus merujuk pada 5 (lima) kata kunci dalam perspektif kebijakan pengelolaan ekonomi Indonesia, pertama, Perspektif Usaha Bersama dalam menyusun perekonomian. Dalam mengambil kebijakan perekonomian yang akan menopang pembangunan bangsa, maka pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip usaha yang dijalankan secara bersama,yaitu kepemilikan seluruh anggota masyarakat bangsa, bukan kepemilikan orang per orang atau sebagian orang.
Kedua, cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara, maksudnya adalah sumber daya alam yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka peran negara harus mutlak dalam pengelolaannya, dan tentu saja peran daerah tidak bisa begitu saja diabaikan. Oleh karena itu, dalam konteks Blok Masela, yang terpenting bukanlah pengolahan di darat (onshore) atau pun tengah laut (offshore), walau ini juga perlu diperhatikan, tapi apakah pengolahan gas sebagai cabang produksi yang penting tidak dikuasai oleh swasta, apalagi swasta asing. Jika memang BUMN dan atau konsorsium BUMN siap untuk melakukan pengolahan Blok Masela seperti yang disampaikan oleh Menteri BUMN, dan sebelum operasionalisasi pengelolaan Blok Masela diserahkan kepada Shell dan Inpex, alangkah eloknya dikuasai oleh negara, tidak peduli mereka (pihak swasta asing) ini akan hengkang atau tidak, maka harus ditindaklanjuti kementerian terkait.
Ketiga, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Ini artinya bahwa penguasaannya, termasuk pengelolaannya tidak boleh diserahkan pada selain negara, apalagi kepada pihak swasta yang saat ini turut mengelola negara, ini jelas pelanggaran konstitusi berat, melazimkan korporatisme atas nama negara. Pengembangan dan poensi wilayah hanya akan dikuasai oleh orang per orang, rakyat banyak yang jadi korbannya.
Keempat, dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, rakyat tidak saja merasakan langsung manfaat sebagai penduduk setempat yang mencari penghidupan di wilayah itu, melainkan juga memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima, asas kekeluargaan sebagai ciri yang membedakan sistem ekonomi Indoensia dengan sistem ekonomi kapitalisme dan komunisme, yaitu unsur kerjasama saling mendukung dalam konteks modal dan komunal, tidak ada yang lebih mendominasi.
Dengan dibangunnya pengolahan di darat, maka selain memastikan akan terjadinya pertumbuhan wilayah secara langsung dengan terbangunnya industri petrokimia dan berbagai industri hilirnya, juga harus dipastikan pengelolaan Blok Masela itu memberi kontribusi bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Lalu, dengan pertimbangan geopolitik pula yang harus kita sadari bersama, bahwa pengelolaan Blok Masela, Blok Sermata, dan Blok Wetar berikut kandungan emas dan mineral lainnya serta pengembangan Pulau Morotai sekalipun yang sudah dirancang pihak swasta sedapat mungkin tidak menjadikan swastanisasi sistem ekonomi Indonesia dan negara hanya direpresentasikan hanya oleh simbol Presiden dan Wakil Presiden sedang kepentingan ekonomi nasional untuk kemakmun rakyat Indonesia diabaikan.
Jangan sampai kepentingan syahwat mencari untung orang per orang dan sekelompok orang, lambat laun mengorbankan kedaulatan bangsa dan negara dalam jangka panjang. Konfigurasi politik ekonomi dalam perspektif geopolitik penguasaan sumber daya oleh swasta secara internasional inilah yang harus dicermati betul oleh Presiden Joko Widodo lebih jauh dan jangan melihat hanya demi kepentingan bisnis investor semata.
Dengan membuka simpul-simpul persaingan ekonomi dalam abad ke-22 ini, Pemerintah harus lebih berperan optimal dan mewaspadai gerakan apapun dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo membangun pusat pengolahan gas di darat dengan lebih melibatkan BUMN untuk menjaga kepentingan geopolitik nasional diantara kekuatan kapitalisme internasional, kami tunggu.
Apabila pihak investor (Shell dan Inpex) benar-benar hengkang, maka Indonesia memiliki peluang lebih memastikan distribusi keadilan atas sumber daya alam dapat terjadi melalui penguasaan negara. Itulah kebijakan prioritas dan mendesak yang harus diambil oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Tentunya kami akan terus mendukungmu jika tetap berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33 Pak Presiden!
DEFIYANCORI
Ketua Umum Forum Ekonomi Konstitusi