Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanMempertanyakan Akuntabilitas Biaya Administrasi Bank

Mempertanyakan Akuntabilitas Biaya Administrasi Bank

01ccb77

“If you’re not careful, the newspapers will have you hating the people who are being opressed, and loving the people who are doing the opressing.”  (Malcom X)

Ucapan Malcom X itu sangat relevan di dunia media sosial saat ini. Jika kita tidak berhati-hati, maka kita malah membenci orang yang teraniaya dan mencintai orang yang melakukan penganiayaan. Hal ini pun nyata sekali melanda “keluguan” Rizal Ramli. Ucapannya yang sebenarnya membela rakyat, malah diolok-olok oleh media sosial. Ketika ia memasalahkan sistem pulsa listrik pra bayar PLN, banyak orang yang tidak sadar bahwa Rizal sedang membela hak masyarakat, tetapi masyarakat malah mengolok-oloknya. Padahal, pernyataan Rizal ada benarnya. Namun, karena kekuatan korporasi di media sosial, ia seperti tidak berdaya dan apa yang dinyatakannya menjadi berbalik sebagai pelecehan ke dirinya. Mari kita lihat apa yang dimasalahkannya terkait sistem pulsa.

Rizal sebenarnya sedang memasalahkan dasar pembebanan biaya listrik pra bayar ke masyarakat. Ia mempertanyakan akuntabilitas pengenaan tarif listrik dengan sistem pra bayar. Sebab, dengan sistem pra bayar, kontrol utamanya ada pada kode-kode di slip pulsa dan bukan hanya pada meteran pelanggan lagi. Ketika seorang pelanggan membayar Rp100 ribu, misalnya, dan hanya dapat menikmati listrik senilai Rp95 ribu, kontrol ada pada konfigurasi kode di slip pulsa. Pelanggan selama ini pasrah saja ketika ia hanya menikmati listrik seharga Rp95 ribu dan bukan Rp100 ribu.

Dengan isu yang diangkat oleh Rizal, pihak PLN akhirnya menjelaskan adanya biaya-biaya yang harus dikeluarkan, utamanya biaya administrasi bank sekitar Rp1.600 (Detik dot com, 8/9/2015). Nah, inilah yang menjadi masalah utama, atas dasar apa bank mengenakan tarif sejumlah itu? Kalau tarif kWh saja diatur oleh negara, kenapa tarif administrasi bank itu tidak diatur oleh negara? Konsumen selama ini tidak berdaya dan hanya di-fait-accomply untuk membayar sejumlah tarif administrasi bank berdasarkan kesepakatan antara dua pihak, yaitu bank dan PLN.

Hal ini menjadi masalah besar ketika pelanggan listrik adalah orang miskin. Berbeda dengan orang kaya, orang miskin biasanya membeli pulsa listrik secara eceran, tidak dalam jumlah besar. Orang kaya bisa membeli dengan jumlah besar. Orang miskin akan dikenakan biaya administrasi bank beberapa kali dari orang kaya karena membeli pulsa listrik beberapa kali. Katakan saja, orang kaya bisa membeli pulsa listrik langsung untuk kebutuhan satu bulan dan karenanya hanya membayar biaya administrasi bank satu kali. Sementara itu, orang miskin akan membeli pulsa listrik setiap minggu. Akhirnya, orang miskin dikenakan biaya administrasi bank empat kali dari orang kaya.

Permasalahan kedua, pelanggan tidak pernah tahu berapa kWh yang layak diterimanya dari jumlah yang dibelinya di slip pulsa. Ia hanya tahu bahwa ia harus membeli lagi ketika ada bunyi sinyal dari meteran listriknya. Posisi bargaining pelanggan pada pulsa listrik pra bayar ini pun menjadi lemah. Ia sangat pasrah dengan estimasi jumlah kWh yang diberikan oleh slip pulsanya. Karena itu, ketika penyedia jasa mengubah tarif melalui konfigurasi kode pada slip bayar, pelanggan berada pada posisi yang lemah dan menerima begitu saja.

Sistem pra bayar ini pun menjadi rentan bagi orang miskin ketika tarif listrik berubah. Katakan misalnya Rp100 ribu saat ini cukup untuk membeli 71 kWh. Kemudian, ada kebijakan perubahan tarif dari pemerintah/PLN mulai bulan depan Rp100 ribu hanya cukup untuk membeli 65 kWh. Karena kontrol tarif bukan lagi di alat meteran, tetapi pada kode-kode yang ada di pulsa, orang-orang kaya bisa menimbun dengan membeli pulsa sebanyak-banyaknya dan baru dipakai kemudian. Artinya, orang kaya bisa membayar dengan tarif lama di bulan berikutnya, sementara itu orang miskin akan menggunakan listrik dengan tarif baru.

Sebenarnya ada isu besar yang belum diungkapkan oleh Rizal terkait biaya administrasi bank ini. Kita sebagai konsumen selama ini tidak cermat. Padahal, dampaknya besar bagi kita semua. Kita sebagai konsumen selama ini telah dibebani oleh biaya-biaya administrasi yang besar setiap bulannya. Walaupun kita hanya membayar iuran bulanan telepon Rp30 ribu, misalnya, bisa dikenakan biaya administrasi bank Rp5 ribu. Kita setiap bulannya dikenakan biaya administrasi bank untuk membayar biaya telepon, biaya listrik, biaya sekolah, biaya langganan TV, dan seterusnya. Belum lagi biaya-biaya administrasi bank ketika mengisi pulsa untuk membayar KRL listrik dan busway. Juga ketika membayar pajak bumi dan bangunan. Jika digabung, per rumah tangga, biaya administrasi bank yang harus kita bayar itu sangat signifikan.

Sayangnya, selama ini kita tidak pernah mempertanyakan apa dasarnya pihak korporasi menetapkan tarif administrasi bank sejumlah itu? Kenapa tarifnya sejumlah itu? Siapa pula yang diuntungkan dari biaya administrasi itu? Selama ini, pendapatan dari administrasi bank ini adalah pasar gelap (black market) dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Kita tidak tahu bahwa biaya administrasi bank itu sudah memperkaya korporasi provider sistem data exchange bank, yang kita pun tidak mengenal siapa mereka itu dan tidak jelas proses seleksinya. Inilah sebenarnya yang dimaksud oleh Rizal sebagai mafia pulsa. Sayangnya, Rizal lemah dalam mengkomunikasikannya ke masyarakat dan akhirnya rakyat tidak berpihak kepadanya.

Di New Zealand, tindakan memperkaya korporasi dan membebani tarif ke masyarakat tanpa akuntabilitas yang jelas selalu menjadi isu penting dan didukung oleh seluruh kelas masyarakat. Sebagai contoh, setahun lalu ketika penumpang mengisi pulsa kartu bus (untuk membayar bis) dengan credit card akan dikenakan biaya administrasi bank. Kemudian, masyarakat memprotesnya. Logikanya, pengelola bus sudah mendapat income yang signifikan dari penumpang ketika menggesek kartu tersebut dan bank juga mendapat fee dari pengendapan uang pulsa itu. Akhirnya, karena perlawanan masyarakat, tidak ada lagi beban-beban administrasi bank semacam itu lagi. Ketika kita membayar iuran telepon atau listrik dengan transfer bank pun, masyarakat tidak dikenakan biaya administrasi tambahan tersebut. Saatnya masyarakat Indonesia sebagai konsumen sadar akan hak-haknya, memberikan perlawanan, dan mempertanyakan kembali biaya administrasi bank yang tidak akuntabel itu.

RUDY M HARAHAP

PhD Candidate di AUT University, Selandia Baru

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular