Kita membutuhkan sebuah strategi kebudayaan dalam memperkuat kondisi umat menghadapi fase-fase terakhir gelombang sekulerisasi neokolonialisme dan imperialisme Barat. Benteng terakhir dan titik tumpu strategi kebudayaan itu adalah keluarga. Adalah keluarga yang menjadi sasaran utama penghancuran bangsa sebelum sumber daya alamnya dijarah. Narasi sekuler Barat yang mewarnai kebijakan pembangunan kita memang telah meminggirkan keluarga.
Keluarga hanya bisa sakinah mawaddah wa rahmah jika mengemban tugas-tugas edukatif dan produktif. Sekulerisasi melalui revolusi industri merampas tugas edukatif keluarga lalu menyerahkannya ke sekolah. Tugas-tugas produktif skala kecil dirampas oleh pabrik-pabrik skala besar. Masyarakat akhirnya dijadikan buruh-konsumen dan dipersiapkan bertahun-tahun melalui persekolahan paksa massal. Pada saat dua tugas utama keluarga itu hilang di rumah maka sendi-sendi keluarga itu hancur berantakan. Kecepatan perceraian di Indonesia saat ini telah mencapai 40 kasus/jam. Di Inggris dan Eropa, lembaga keluarga hanya tinggal dongeng belaka.
Keluarga yang kuat dan mandiri adalah gangguan besar bagi proses pemburuhan massal demi industrialisasi. Industrialisasi memerlukan pasar yang besar dengan selera yang kurang lebih sama. Untuk itulah persekolahan massal diciptakan. Persekolahan sejak awal tidak dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi untuk memerdekakan jiwa warga. Narasi kemerdekaan jiwa ini sudah tidak ada lagi dalam dokumen-dokumen penting pendidikan. Yang penting bagi persekolahan saat ini adalah linked and matched dengan dunia kerja. Pendidikan vokasi dianggap sebagai obat bagi persoalan pendidikan kita.
Peradaban industrial berbasis minyak-bumi yang dibangun selama 200 tahun terakhir terbukti unsustainable dan sedang menunjukkan proses keruntuhannya melalui pemanasan global dan perubahan iklim. Di luar perkiraan banyak analis, Prof. Noam Chomsky dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet bumi saat ini adalah Partai Republik (Amerika Serikat) yang kepemimpinannya menolak berkomitmen terhadap kesepakatan Paris yang terakhir untuk menghentikan perubahan iklim dan pemanasan global, sebelum peradaban ini mencapai point of no return. Sementara itu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai sebuah Tata Dunia (khilafah) tidak bisa berbuat apapun. Dalam perspektif radikalisme, sikap Partai Republik ini dalam aspek lingkungan hidup adalah partai radikal. Amerika Serikat (AS) dibawah Donald Trump adalah negara yang bisa sak “karepe udhele dewe” tanpa memperhitungkan konsekuensi lingkungan hidup global yang nyaris runtuh ini.
Tumpuan penegakan negeri Pancasila di Nusantara ini adalah keluarga yang sehat dan kuat dengan anggota keluarga yang mandiri dan cerdas. Ancaman atas Pancasila dilakukan bukan oleh ormas kemarin sore semacam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tapi melalui proses-proses politik tingkat tinggi untuk menggantikan UUD 1945 dengan UUD 2000 yang dipropagandakan sebagai “UUD 1945 yang diamandemen”. Harus segera dikatakan dan diakui bahwa konstitusi kita saat ini bukan lagi UUD 1945 dengan Pancasila sebagai dasar, tapi sebuah konstitusi baru yang keluar dari pondasinya. Model pembangunan ekonomi selama 50 tahun terakhir ini makin jauh dari cita-cita para founding fathers kita.
Kemiskinan dan ketimpangan sosial serta kesenjangan spasial tidak membaik, tapi makin buruk walaupun pendapatan per kapita naik. Isu LGBT merebak, lingkungan hidup makin rusak, tidak hanya yang di darat tapi juga yang di laut.
Di dalam lansekap sosial, politik dan ekonomi yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 itu, kita hanya bisa menggantungkan harapan pada prakarsa kreatif komunitas berbasis keluarga yang tidak mau menjadi bagian dari peradaban yang rusak itu.
Keluarga adalah institusi warisan Rasulullah Muhammad SAW terpenting saat ini yang harus kita pertahankan mati-matian. Jika benar bahwa it takes a village to raise a child maka komunitas berbasis-keluarga yang kita bangun itu dikembangkan dengan “masjid” sebagai poros kegiatan multi-dimensi masyarakat.
Surabaya, 30 Mei 2017
DANIEL MUHAMMAD ROSYID
Guru Besar dan Pelaku Peradaban Tinggal di Surabaya