Aksi peledakan bom dan baku tembak yang terjadi di pusat keramaian Sarinah Department Store Thamrin Jakarta pusat pada 14 Januari 2016 lalu telah memunculkan berbagai spekulasi. Banyak yang sepakat tragedi ini benar-benar murni aksi terorisme namun tidak sedikit pula yang meyakini aksi ini merupakan serangkaian upaya pengalihan isu sebagai imbas dari kondisi perpolitikan dalam negeri. Pasalnya aksi bom bunuh diri dan penembakan polisi ini sangat bertepatan dengan tanggal batas divestasi saham PT. Freeport Indonesia. Bertepatan pula dengan penangkapan anggota legislatif dari PDIP oleh lembaga antirasuh KPK dan persidangan kasus korupsi Jero Wacik yang menghadirkan Jusuf Kalla sebagai saksi. Atas dasar inilah dan ditambah peran media yang kemudian membuat banyak spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat.
Masyarakat semakin dibuat bingung dengan keluarnya dua pernyataan yang saling bertentangan dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) perihal keterlibatan Organisasi Daulah Islamiyah (ISIS). BIN menyatakan bahwa kasus teror ini tidak berkaitan dengan ISIS, sedangkan Polri menyebut kasus ini merupakan sebuah kompetisi kepemimpinan ISIS wilayah Asia Tenggara.
Terlepas dari berbagai spekulasi tersebut, beberapa hari yang lalu tepatnya sabtu 16 Januri 2016, Polri menyatakan telah menangkap 12 orang yang diduga kuat terlibat aksi teror Bom Sarinah. Dalam Konfrensi Pers disebut nama Bahrun Naim, seorang lulusan D-3 Jurusan Ilmu Komputer Universitas Sebelas Maret sebagai dalang dibalik aksi Bom Sarinah. Naim dituduh ingin mendirikan Khatibah Nusantara yang berafiliasi langsung dengan ISIS.
Bahrun Naim pada awalnya bukanlah seorang teroris, ia hanya seorang teknisi komputer dan pemilik warnet yang giat mengkritisi sikap Detasemen Khusus (Densus) 88 di media-media daring Islam. Ditahun 2010, Naim tiba-tiba ditangkap di jalanan dan disiksa dengan tuduhan menyimpan barang titipan 533 butir peluru laras panjang 7,62 mm serta 31 butir peluru senjata kaliber 9 mm yang merupakan titipan dari jaringan Noordin M. Top. Sontak tindakan represif Densus ini menyulut emosi sekaligus simpati anak-muda yang ditumpahkan dengan berbagai cacian kepada Densus lewat jejaring sosial.
Setelah menyelesaikan masa hukuman 2,5 tahun penjara, Naim langsung bertolak ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Kasus Naim tidak berbeda jauh dengan putra pelaku Bom Bali Imam Samudera, Umar Jundulhaq (19 tahun) yang berangkat ke Suriah saat masih remaja. Nampaknya upaya penindakan oleh Densus terhadap terduga teroris dimana terlihat “brutal” dan tidak manusiawi justru melahirkan simpati yang meluas terhadap (terduga) pelaku terorisme.
GAGALNYA DERADIKALISASI
Deradikalisasi adalah sebuah langkah untuk merubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal. Berbagai aksi represif aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini Densus 88 menyikapi pelaku terorisme sepertinya telah memunculkan dendam dan antipati terhadap negara.
Dari banyak kasus yang melibatkan Densus sangat jarang ditemukan pelaku teror yang ditangkap hidup-hidup, sebagian besar meregang nyawa di ujung senjata aparat. Kondisi ini tentu semakin membangkitkan semangat berjuang bagi keluarga dan orang-orang di sekitar mereka, anggapan bahwa negara gagal hadir memberi keadilan semakin mengobarkan sentimen anti pemerintah. Hal ini tentu sangat berbahaya karena dapat menumbuhkembangkan generasi teroris yang turun temurun dan akan sangat menyulitkan bagi bangsa ini untuk mengatasinya. Pengikut pelaku teror yang dieksekusi mati semakin hari kian bertambah, sebagaimana data yang dihimpun Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) melalui direkturnya, Sidney Jones, menyebutkan sekitar 300 warga negara Indonesia bergabung dengan ISIS dan 40% diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Data yang sangat mengejutkan ini memberi gambaran bahwa tindakan preventif untuk memutus mata rantai terorisme ini masih sangat jauh dari keberhasilan. Deradikalisasi sebagai upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau ter-ekspose paham radikal dan/atau pro-kekerasan gagal diterapkan di negeri ini karena ulah aparat negara sendiri.
PROGRAM PENINDAKAN PROFESIONAL
Menyikapi kian maraknya aksi terorisme dan kenyataan gagalnya deradikalisasi, seharusnya pemerintah berbenah. Pemerintah dalam melakukan program penindakan terorisme yang profesional haruslah bersinergi dengan program deradikalisasi. Penumpasan terorisme tidak bisa dilakukan hanya dengan mengeksekusi mati atau menyiksa pelaku teror. Prioritas utama aparat haruslah menangkap hidup-hidup pelaku teror, merehabilitasi dan mengembalikan kesadaran jiwa kebangsaan serta mematikan potensi teror yang masih ada pada diri pelaku. Hal ini sangat berpengaruh kepada keluarga dan pengikut serta rakyat secara umum.
Rakyat yang menyaksikan pelaku teror diadili di persidangan, akan membuat publik menaruh rasa percaya dan simpati kepada pemerintah. Kehadiran pelaku teror di bangku persidangan juga akan menghilangkan praduga yang negatif akan adanya setting-an pada setiap kasus teror. Sehingga apabila memang divonis hukuman mati sekalipun rakyat pasti akan menerima secara sukarela keputusan tersebut. Menembak mati pelaku teror hanya akan menimbulkan sejuta pertanyaan dan prasangka yang buruk kepada pemerintah apalagi bila terjadi di saat yang bersamaan dengan kejadian-kejadian high politics di Republik ini.
Kita mungkin tidak akan pernah lupa tersebarnya berbagai foto-foto mengerikan dari penjara Guantanamo besutan Amerika Serikat. Pelaku teror dan pejuang kemerdekaan diperlakukan secara tidak manusiawi, disiksa, diperkosa dan dibuat seperti binatang. Mereka seperti tidak memiliki hak hidup lagi sebagai seorang manusia, bagaimana mungkin sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dapat melakukan hal yang membunuh nalar kemanusiaan seperti itu. Hal yang lebih tidak masuk akalnya adalah bagaimana foto-foto dan video yang menampilkan adegan biadab ini dapat tersebar secara masif dari penjara yang berkualitas super ketat, super aman dan super kejam ini. Secara sporadis pula dokumentasi ini dimuat di berbagai media di negeri berpenduduk mayoritas Muslim.
Masih segar dalam ingatan penulis betapa berkecamuknya perasaan marah dan benci saat menyaksikan kebiadaban tentara Amerika Serikat terhadap tahanan di Penjara Guantanamo waktu itu. Hal ini tentu sangat berbahaya terhadap keberlangsungan pengentasan terorisme internasional, alih-alih ingin memberantas terorisme dan membuat efek jera, perbuatan ini malah akan semakin memancing berakarnya budaya terorisme. Apakah memang ada usaha untuk menjaga agar aksi terorisme dapat terus tumbuh dan berkembang? Lalu apa tujuannya?
Terlepas dari itu semua, pemerintah harus segera merevitalisasi fungsi dan kedudukan aparat penegak hukum dan aparat juga harus dapat menahan ego sektoral di antara mereka sehingga tidak memperburuk pelaksanaan tugas di lapangan yang dapat merugikan satu sama lain. Selain itu kendali BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) haruslah berurat dan mengakar ke segenap lapisan masyarakat, sehingga bangsa ini tidak lagi kebakaran jenggot saat aksi teror meledak.
Bangsa ini membutuhkan kualitas aparat penegak hukum yang berwawasan kebangsaan, berwawasan keagamaan dan memiliki visi besar memutus rantai terorisme.
PROGRAM BELA NEGARA
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa Program Bela Negara (PBN) merupakan soft power yang menggetarkan nyali negara lain agar tidak macam-macam mengganggu keutuhan dan kedaulatan Indonesia. Justru adalah sebuah anomali nan ironis apabila keutuhan dan kedaulatan itu dirobek dari dalam oleh anak bangsa sendiri melalui aksi terorisme. Bagaimana mungkin putra bangsa yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi, hidup dan menghirup udara Indonesia tega memporakporandakan bangsanya sendiri? Bagaimana mungkin ia rela ekonomi bangsanya semakin terpuruk?
Membaca realitas ini tentu kita akan berasumsi bahwa pendidikan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air mulai dan sedang terjadi penggerusan di sana-sini. PBN yang dibuat oleh Pemerintah seharusnya dapat menjawab tantangan ini. Pemerintah harus bisa menciptakan kader bela negara dan komunitas bela negara yang sadar dan menyadarkan lingkungannya bagaimana pentingnya menjaga nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Bukan hanya sosialisasi abal-abal yang akan dilupakan sesaat setelah program selesai. PBN juga harus menyentuh segenap lapisan masyarakat dari anak-anak hingga pemuda dan orangtua serta lintas profesi, dari pedagang kaki lima hingga pejabat negara, karena tidak dapat dinafikan bahwa tindakan radikalisme dan terorisme pro kekerasan dimulai dari kurangnya pendidikan, ketidakadilan, jurang kesejahteraan dan berbagai perilaku koruptif yang dipertontonkan pejabat negara.
Momentum Bom Sarinah akan menjadi pembelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa terorisme harus dicegah dan dideteksi sedari dini bukan hanya diberantas dengan kekerasan. Semoga teror serupa tidak lagi terjadi di negeri yang menghargai kebhinekaan ini.
MUTTAQIN KHOLIS ALI
Sekjen BEM Universitas Negeri Padang