Friday, April 19, 2024
HomeGagasanMembaca (Kembali) Papua

Membaca (Kembali) Papua

 

“Saya sendiri ingin mengatakan, bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan pada kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak untuk menjadi Bangsa Merdeka.”

Kalimat di atas adalah ucapan Mohammad Hatta, nama yang sering kita dengar saat pembacaan teks proklamasi pada acara 17-an baik di tingkat kelurahan hingga istana. namanya terucap jelas setelah penyebutan Soekarno. Tanda bahwa ia adalah proklamator Indonesia.

Pernyataannya memang berbeda dengan kebanyakan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) saat itu yang menganggap Papua harus menjadi bagian dari Indonesia. Sementara, Hatta menilai Papua tidak memiliki ikatan sejarah Nusantara. Indonesia bagianya, adalah wilayah Hindia Belanda. Lebih baik memperjuangkan Borneo Utara dan Malaya yang dianggap memiliki kesamaan etnis Melayu, dan kini menjadi bagian Malaysia

Hatta menyebut, jika kita memaksakan Papua masuk menjadi bagian Republik Indonesia, bangsa ini telah melakukan tindakan imperalis yang selama ini adalah musuh bersama berbagai wilayah di Nusantara sebelum lahirnya Indonesia. kecuali keinginan untuk bergabung datang dari rakyat Papua sendiri.

Namun Hatta kalah dalam pemungutan suara seluruh anggota BPUBPKI. tapi sikap konsisten Hatta ditunjukkan hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Dirinya berbeda sikap dengan Menteri Urusan Luar Negeri dan Seberang lautan, Johannes Henricus van Maarseven, yang ngotot meminta Papua dimasukkan sebagai wilayah Hindia Belanda.

Indonesia telah merdeka, namun Papua masih bergolak hingga saat ini. Indonesia pernah mengalami krisis moneter karena serapan anggaran yang begitu luar biasa untuk operasi militer di Irian Barat. utang besar ditanggung negeri ini untuk memberi peralatan perang dari Uni Soviet. pada tahun 1965, Indonesia memiliki utang sebesar 2,4 milyar dolar AS, dan sebagian besar untuk memenuhi sistem pertahanan dalam rangka pembebasan Irian Barat.

Saat itu, Soekarno punya peluang untuk melunasi utang. berbagai perusahaan asing siap menjadi investor dengan catatan eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan Irian Barat. dan salahsatu yang terbesar adalah perusahaan tambang asal Amerika Serikat, .

Soekarno bersikeras untuk menolak bantuan modal asing. tidak ada perusahaan asing yang diizinkan berada di Irian Barat oleh Soekarno, terlebih Amerika Serikat.

Bagi Soekarno, menyatukan Papua ke Republik Indonesia adalah harga mati. entah melalui jalur damai atau perang.

Lalu, jatuhlah rezim Orde Lama pimpinan Soekarno yang di Amerika Serikat diikuti dengan pembunuhan Presidennya, John F. Kennedy.

Baru di era Soeharto, bantuan dana asing datang berdasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing (UU PMA), dan akhirnya perusahaan yang sering kita dengar bernama Freeport itu masuk perlahan namun masif.

Kerjasama dimulai dengan penandatanganan kerjasama namun terganjal salah satu isi New York Agreement 1962, yang mewajibkan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri dengan mengadakan Pendapat bagi rakyat Papua (Pepera). Pilihannya adalah bergabung dengan Republik Indonesia atau berdaulat sendiri.

Tentu ini menjadi ancaman bagi Indonesia di era awal kepemimpinan Soeharto. Bantuan asing harus masuk, namun itu hanya bisa terjadi jika Irian Barat bergabung dengan Indonesia, Soeharto berpesan, “Pepera” jangan sampai gagal.

Maka diadakanlah Pepera pada tahun 1969, yang hingga kini meninggalkan banyak tanda dalam prosesnya. Pemilihan yang seharusnya dilakukan dengan sistem berubah menjadi metode delegasi yang diwakilkan oleh Dewan Musyawarah Pepera (DMP).

Selain faktor biaya yang besar saat melakukan pemungutan langsung (coba kita berkaca pada pemilu langsung sejak 1999 hingga kini, berapa biaya yang dihabiskan), ada ketakutan setelah Menteri Dalam Negeri Amir Machmud mendatangi Irian Barat untuk peninjauan.

Dia melihat sendiri sentimen sebagian besar yang tidak antusias kepada Republik Indonesia, maka, peluang Indonesia untuk mengamankan Papua berada dalam lampu kuning menuju lampu merah.

Operasi politik menggunakan instrumen militer pun dilakukan dibawah komando Sarwo Edhie. Mobilisasi massa yang dianggap berpihak kepada Indonesia dikumpulkan bahkan dibawa ke Jakarta untuk proses “pembinaan”.

Sejarawan Belanda Pieter Droogever dalam “Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri” (dikutip dari Historia.id), mereka dipaksa untuk mempelajari jawaban yang berkenan dengan keinginan pemerintah Indonesia dengan ancaman mati. Mereka di karantina dan ditutup akses dengan dunia luar.

Pada akhirnya cita-cita menyatukan Sabang hingga Merauke tercapai. Namun, noda hitam sulit ditutupi dari semua coretan sejarah kelam di bumi Papua. Baik Soekarno pun Soeharto. Yang kemudian diikuti oleh pemimpin Indonesia selanjutnya hingga kini.

Melepaskan diri dari Freeport adalah nihil yang mustahil, meskipun hari ini dibalut dengan akuisisi saham sebesar 51-52%. perjanjian yang bersifat Business to Business tidak menghilangkan izin komersil untuk menambang kekayaan Papua yang telah disepakati puluhan tahun lalu.

Perjanjian setan yang sangat rumit untuk diurai benangnya. Oleh karenanya, Indonesia dan Amerika Serikat yang paling berkepentingan untuk mempertahankan legal standing Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Dan hari ini, ada 182 pengungsi Nduga meninggal di tengah konflik bersenjata di  kita Papua. Ironisnya kita sibuk mendukung aksi vandal dan perundungan mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, dan Semarang yang berdemo ingin menyuarakan sikap kedaulatannya. Pemerintah dan rakyat yang merasa paling nasionalis pun sangat agamis, diam dan tak merasa ini adalah bencana besar bagi masyrakat Papua.

Anak-anak yang menjadi pengungsi meninggal karena kedinginan serta kelaparan. Tak usah jauh-jauh melihat Suriah, untuk jadi contoh berjihad di jalan Tuhan atau menjadikan Suriah adalah contoh perpecahan atas nama Tuhan.

“Wahai kaum nasionalis dan agamais, tengok itu Papua!”

Benar bahwa pemerintah telah menyalurkan bantuan kepada mereka melalui Kementerian Sosial, namun sebagian menolak karena mereka ingin sepenanggungan dan senasib dengan saudara-saudara mereka yang meninggal di hutan dan meninggal.

Pendekatan kultural harus dilakukan. Bukan jumawa karena merasa memberi infrastruktur yang mereka tidak inginkan. Dan kejamnya, justru ada ucapan “Basmi!” dari wakil kepala negara setelah patriot kita gugur dalam tugas saat berhadapan dengan Kelompok Bersenjata di Papua.

Indonesia menyikapi Papua seperti negara terjajah yang imperealis. Kita bangsa tertindas tapi penasaran rasanya menindas. Sejak kecil menjadikan ras Papua sebagai bercandaan yang dimaklumi. Entah itu kulit, rupa, sikap, ucapan, maupun cara berbusana mereka. Kita sudah fasis sejak pertama kali menghirup nafas.

 

RIGA DANISWARA

Jurnalis, pernah bertugas di Papua

RELATED ARTICLES

Most Popular