Maaf pagi-pagi saya mesti mengomentari pernyataan yang tendensius terkait dengan kasus yang menimpa Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Ahzar Simanjuntak. Mengapa demikian? Karena saya melihat muncul beragam framing media dan pernyataan tendensium berbagai pihak yang justru menunjukkan ketidakpahaman akan persoalan yang terjadi.
Tak ada perampokan dalam kasus tersebut. Dalam catatan hukum saya terkait masalah Dahnil sedikitpun tak ada mens rea dari Dahnil untuk melakukan perampokan sebagaimana tuduhan yang beredar viral di media (sosial). Mengapa? Lantaran kegiatan Kemah Pemuda Islam adalah kegiatan pemerintah yang legal dalam hal ini pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Dilihat dari fakta-fakta yang digelar memang sejatinya kasus ini sulit untuk ditindaklanjuti untuk ditetapkan tersangkanya. Kenapa begitu. Pertama, kegiatan jni diselenggarakan atas permintaan dari pihak Kemenpora dengan pagu anggaran sebesar Rp 5 M. Dari pagu tersebut kemudian dipecah menjadi 2 peruntukan yakni Rp 3 M untuk porsi Gerakan Pemuda Ansor dan Rp 2 M untuk porsi Pemuda Muhammadiyah. Kedua, dana kegiatan yang menjadi porsi Pemuda Muhammadiyah kemudian ditransfer langsung ke rekening Pemuda Muhammadiyah untuk ditempatkan sebagai pos bantuan kegiatan. Bukan ditransfer oleh pihak Kemenpora ke rekening pribadi Dannil.
Ketiga penyelenggaraan kegiatan itu sendiri sudah berlangsung dengan sukses yang pembukaannya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). _Keempat, pada saat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang belum ditemukan kerugian negara atau mark up. Berbeda dengan penyataan penyidik yang menemukan adanya mark up. Sisa atau selisih dana hasil kegiatan a quo kemudian oleh pihak Pemuda Muhammadiyah dianggap sebagai sisa uang kegiatan yang masuk sebagai dana bantuan. Sementara, dari pihak Kemenpora sendiri tidak pernah melakukan penagihan supaya minta dikembalikan atas adanya selisih lebih tersebut. Dalam mekanisme penganggaraan keuangan negara memang selama ini berlaku praktik pengelolaan keuangan negara, pemerintah menggunakan “cash accounting system” (Sistem Akutansi Tunai-SAT). Penggunaan sistem ini dipertegas lagi dalam Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 217/KMK.03/1990. Sistem Akutansi Tunai hanya mencatat pos-pos penerimaan dan pengeluaran tunai. Sistem Pembayaran dengan Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD). Dalam sistem UYHD tampak jelas pencatatan hanya dilakukan pada pembayaran tunai kegiatan jangka pendek, tidak memperhitungkan kewajiban jangka panjang. Seperti yang sudah lazim dalam praktik pembukuan dan akutansi pemerintah selama ini, Sistem Akutansi Tunai yang digunakan tidak sepenuhnya mencatat seluruh pencatatan pengeluaraan pemerintah. Akibatnya, sistem pelaporan keuangan yang dihasilkan cenderung memberikan informasi yang tidak lengkap dan menyesatkan.
Kelima, dikarenakan kegiatan Kemenpora ini merupakan kegiatan penganggaran dalam satu nomenklatur, maka seyogianya penyidik juga harus memeriksa keuangan Gerakan Pemuda Ansor sebagai pihak yang sama-sama telah menerima hibah berupa dana kegiatan bersama dari pemerintah. Pemeriksaan terhadap Gerakan Pemuda Ansor ini menjadi sangat penting lantaran boleh jadi akan ditemukan pula adanya selisih lebih dari sisa anggaran yang telah diterima seperti halnya yang ditemukan oleh penyidik pada sistem pembukuan Pemuda Muhamadiyah. Atau sebaliknya justru ditemukan kekacauan sistem pelaporan yang lebih parah. Seyogianya kita tidak mudah menuduh pihak-pihak tertentu telah melakukan tindak pidana tanpa adanya pengetahuan utuh terhadap kasus yang tengah ditangani penyidik apalagi kasus tersebut punya bobot politik cukup tinggi.
Dalam praktiknya tata kelola manajemen keuangan negara yang masih berlangsung sekarang ini, ada kecenderungan para pejabat kuasa pengguna anggaran untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya. Pejabat tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang disetujui Kementerian Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan (DUK) maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan lebih kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya.
Hemat saya, dalam konteks ini penyidik bisa bermain pada grey area di mana penyerapan pagu anggaran kegiatan Kemenpora sebesar Rp 5 M tersebut tidak dihitung habis pakai, kendati sudah diserahkan kepada 2 pengguna atau penerima yakni Gerakan Pemuda Ansor dan Pemuda Muhammadiyah dimana penyelenggaraannya pun sudah berlangsung. Sehingga, seandainya qou non terdapat kelebihan maka keebihan tersebut harus diperhitungkan dan dikembalikan. Berbeda dengan pejabat kuasa pengguna anggaran yang menilai anggaran tersebut sebagai alokasi dana yang habis terpakai. Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran Kemenpora kelak akan melaporkan dana sebesar Rp 5 M kepada BPK meski selepas penyelenggaraan ternyata kegiatan tersebut terdapat selisih lebih tanpa dimintakan untuk dikembalikan oleh pihak penerima.
ANDI W. SYAHPUTRA
Direktur Eksekutif Government Watch (GOWA)