Wednesday, September 11, 2024
spot_img
HomeGagasanMAFIA CAPTURE

MAFIA CAPTURE

Bagi penikmat film-film mafia seperti ”The Godfather”, ”Scarface” atau ”Gomorrah”, tentu tahu lika-liku mafioso menapak kekuasaan mulai dari bawah sampai puncak. Tentu bukan sekadar tontonan apalagi cuma hiburan, sebab begitulah adanya lika-liku mafia dalam dunia nyata. Film, sentil filsuf Prancis Marguerite Duras, adalah proses mimesis (meniru) kehidupan sehari-hari. Sama seperti gelar wayang kulit berkisah epos Ramayana dan Mahabarata, juga merupakan mimesis sehari-hari monarki. Rahwana alias Dosomuko adalah bos mafia, idem Dursosono, bos mafia Kurawa.

Film bertema mafia mempertontonkan keseharian serta cara-cara mafia berinteraksi dengan siapapun. Berusaha menarik siapapun untuk bergabung dengan mereka. Para mafia menawarkan bantuan dengan syarat ketundukan. Menyodorkan pertolongan melalui syarat kepatuhan. Tak mempan lewat penawaran, mafia melakukan tekanan halus. Target sulit mengelak dan bisa jadi terpaksa menerima bantuan mafia.

Lalu, siapapun yang patuh dan tunduk, bantuan segera mengucur. Uang, kemewahan plus perlindungan. Ditukar dengan loyalitas utuh, ketundukan total. Tak ada jalan keluar. Seluruh kebutuhan sehari-hari dipenuhi bos mafia. Tak ada kebebasan pribadi. Bagi jaringan mafioso macam Cosa Nostra, kebebasan hanya milik bos. Sedangkan para pengabdi hanyalah pesuruh.

Ciri-ciri mafioso ada pada rezim otoriter. Bisnis apapun tergantung pak bos mafia, kepentingan apapun harus seijin juragan mafia. Tanpa ijin, tanpa persetujuan, bos mafia bisa mudah menjebak anak-buahnya sendiri. Bos mafia menentukan segalanya. Jalur hukum dikuasainya, apalagi jalur politik.

Bagi mafia, tidak ada kebebasan individu. Tak ada kebebasan berekspresi apalagi kebebasan berpendapat. Warga biasa dianggap berkasta di bawah anggota mafia. Semua bisa mudah dibungkam. Lewat rekayasa senyap atau terang-terangan. Kritikus dipasung, diawasi, diteror, dipersekusi. Hidup kritikus dibuat tak nyaman. Kemanapun ia pergi selalu diawasi. Kemanapun ia singgah senantiasa diganggu.

Masa depan demokrasi di Indonesia saat ini menghadapi rezim berperilaku mafia. Perbedaan dianggap ancaman. Kemajemukan dipandang hambatan. Siapa yang mengkritik, maka ia akan dikejar, diawasi, dipersekusi. Dalam genggaman mafia, sebuah negara mengalami defisit kebebasan.

 

ROSDIANSYAH

Peneliti Senior Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS) Surabaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terbaru

Most Popular