Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanLayanan Kesehatan (Belum) Berbenah di Tengah Seruan New Normal (Bag.2)

Layanan Kesehatan (Belum) Berbenah di Tengah Seruan New Normal (Bag.2)

 

Cerita sharing lain saya dapatkan dari kawan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) juga. Sebut lah namanya C. Kali ini, selain membenarkan segala curhatan yang sudah saya tulis, C mewakili teman-teman PPDS menyampaikan kegeramannya. Ketika ada rekannya sesama teaga kesehata (nakes) tertular bahkan sampai meninggal, pihak manajemen justru mengatakan bisa saja nakes itu tertular di luar tempat kerja. Faktanya justru tempat kerjanya tidak memberikan dan menerapkan standar protokol perawatan yang benar. Seolah-olah menyalahkan pola hidup si nakes seandainya ada nakes yang tertular. Ketika sedang berbincang bersama C, diapun juga mem-forward ke saya informasi yang dia terima. Beritanya adalah kabar duka, bahwa 3 orang tempat dia bekerja meninggal. Belum tau di bagian mana, hanya saja infonya 1 positif dan 2 negatif. Apakah dia orang medis? Nope. Saya kemudian mempertanyakan pertanyaan klasik yang sebenarnya dilarang untuk ditanyakan. Pertanyaan tentang perasaan. Tapi saya coba ubah kalimatnya dengan bertanya : “kamu senior kan di sini, apa memang harus begini untuk menjadi spesialis?” Kawan saya menjawab, aku kasihan dengan adik-adik yang masih junior. Perjalanan mereka masih panjang. PPDS memang diperbantukan untuk melatih mereka. Tapi itu dalam keadaan normal. Kalau dalam keadaan tidak normal, ya seharusnya ada aturan sebagai tenaga kerja, aturan perlindungan, yang menjamin bahwa mereka layak untuk diterjunkan ke medan perang. Mereka bahkan belum mendapatkan penghasilan, tapi harus berjuang. Kalau ada pasien, mereka jaga, biaya perawatan yang dibayarkan pasien bukan untuk mereka. Inilah sistemnya.

Masih dari cerita C, dia katakan bahwa kemarin yang sempat jadi masalah, ada nakes yang rapidnya reaktif. Diminta isolasi mandiri. Sementara beberapa nakes tinggal bersama keluarga. Akhirnya mereka inisiatif sewa hotel sendiri. Sempat minta ke RS tempat mereka kerja, dikasihlah suatu tempat. Padahal kondisi tempat itu digunakan juga untuk perawat PPDS yang bertugas jaga di ruang isolasi khusus (RIK). Mencoba bertanya ke atasan, apakah tidak takut menularkan gabung dengan yang jaga RIK? Jawaban normatif pun diberikan. “Manajemen suruh disana, ya sudah”. Masih ada beberapa forward informasi lain yang disampaikan, salah satunya ada yang diinfo rapid-nya reaktif di hari Jumat tapi tidak bisa langsung swab karena Sabtu dan Minggu libur. Senin baru bisa dilakukan. Di beberapa prodi PPDS sudah ada yang positif swab. Semua sama, mengeluhkan tidak adanya ruangan isolasi dengan tekanan negatif sehingga korban berjatuhan. Mereka mencoba sekuat tenaga menjaga 2 RIK, tapi ketika RS mulai membuka (lebih tepatnya memaksakan membuka) ruang baru tanpa protokol yang sesuai standar, disitulah masalah muncul, korban berjatuhan, seperti ketika negara api mulai menyerang ketenangan mereka. Sebut saja itu adalah ruangan isolasi dadakan yang tidak direnovasi dengan tekanan negatif.

Ada perawat yang sudah masuk res, kondisinya memburuk.”

Dan masih banyak lagi forward berita dari teman-teman yang disampaikan melalui C ke saya. Saya tidak bisa menulisnya disini, lebih tepatnya tidak tega. Karena membaca pesan-pesan itu saja membuat saya merinding. Para perawat mulai galau, karena rekannya dirawat di RIK intubasi. Sebelum mengakhiri obrolan dengan C, dia mengirimkan sebuah foto. Seorang bapak yang terlihat sudah umur, dengan penampilan biasa. Dijelaskan, bapak ini adalah perawat, usia 53 tahun dan masih ditugaskan di ruang yang rawan tertular. Mapping nakes sungguh sangat diperlukan. Masyarakat dengan kategori rawan saja diwanti-wanti untuk waspada, tapi di RS justru dipekerjakan tanpa skrining. Nakes dengan faktor risiko, sudah sepuh, obesitas, hipertensi mappingnya tidak untuk ditempatkan dan ditugaskan di ruang berisiko.

—————————————————————————-

Saya masih menerima sharing dari kawan lainnya. Oke sebut D ya kali ini. Lagi-lagi saya tidak bisa katakan tugas dia di residen bagian mana, sebagai apa, karena di awal sharing dia berkata, bahwa kalau mereka bersuara terlalu keras, akan sangat berpengaruh ke masa depan dan cita-cita mereka. Beginikah wajah sistem pendidikan kedokteran kita? Menjadi mahasiswa kedokteran saja sudah susah bukan main, ospek awalnya saja sudah tertanam di benak masyarakat menakutkan, dan kebetulan saya pernah melewatinya di tahun 2002. Senioritas ternyata berlanjut ketika mereka masuk dalam dunia PPDS. Ruang media belum cukup memberitakan tentang kehidupan residen (sebutan lain untuk dokter yang sedang PPDS). Pertama, mereka tidak dibayar, berbeda dengan negara di Amerika dan Eropa. Bagi negara tempat kita berpijak saat ini, tenaga yang “murah”, bahkan gratisan, akan selalu ada, karena berhubungan dengan sekolah. Mungkin lebih tepatnya sistemnya yang membuat ini semua berlangsung sekian lama. Begitu pandemi datang, sangat terasa impact bagi rumah sakit rujukan dan keberlangsungan pendidikan.

Dia mulai bercerita bahkan memberikan catatan untuk saya baca. Residen tidak hanya berada di ruang gawat darurat, tetapi juga di klinik rawat jalan, bangsal, laboratorium umum, dan hampir di setiap sudut ruangan di RS rujukan. Saya sepintas berpikir, seandainya saya adalah pasien umum dan sedang berobat di RS tersebut, saya tentunya tidak akan pernah tahu bahwa PPDS yang layani saya adalah PPDS yang juga melayani pasien Covid-19. Setiap kali mereka tiba di rumah sakit, mereka selalu bertekad untuk membantu pasien, bukan hanya yang terkena Covid-19 saja. Berbagai penyakit umum tetap dirawat sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing.

Ambil contoh dalam pelaksanaan operasi bedah, risiko dimulai dengan prosedur anestesi. Sementara semua profesional medis di ruang operasi beresiko, ahli anestesi mungkin beresiko tertular Covid-19 melalui tetesan ketika intubasi pasien untuk operasi jika mereka tidak memiliki perlindungan yang memadai. Melindungi profesional kesehatan juga berarti melindungi masyarakat. Dokter Indonesia mempertaruhkan nyawa mereka, tetapi ketakutan terbesar kami adalah bahwa kami dapat beralih dari yang awalnya adalah bagian dari solusi malah menjadi bagian dari masalah.

“Sejauh ini saya mencoba bersuara dengan cara yang “elegan” dan tersurat bagaimana kesulitan dan tantangan kami. Namun sepertinya kebijakan yang sampai belum menyentuh kami sama sekali, tunjangan, jaminan kesehatan dan keselamatan tidak pernah ada, mungkin ini saat yang tepat untuk kami diasuransikan”.

(bersambung)

 

AGNES SANTOSO

Jurnalis

RELATED ARTICLES

Most Popular