Saturday, May 11, 2024
HomeGagasanLangkah Jitu Rizal Ramli Naikkan Pamor Indonesia

Langkah Jitu Rizal Ramli Naikkan Pamor Indonesia

Gambar 1. Dr. Rizal Ramli berfoto bersama Gontorian muda seusai diskusi, Sabtu (16/6/2018) malam.

 

Ada hal yang menarik pada pertemuan silaturahim antara beberapa orang Gontorian muda (alumni Gontor) dengan Dr. Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Ekonomi dan mantan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya pada Sabtu (16/6/2018) siang. Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Adi Massardi mantan juru bicara Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Dari pertemuan itu, terungkap bahwa penggagas ide (Bld. Idee drager) untuk mengganti nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara adalah Rizal Ramli ketika menjabat sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya pada jaman Presiden Joko Widodo.

Pertanyaan mendasar yang kemudian mencuat pada diskusi kemarin itu, kenapa Rizal Ramli sebagai idee drager mengganti nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara? Disini justru kuncinya.

Dengan menggunakan nama Laut Cina Selatan maka RRC (Republik Rakyat Cina) mengklaim, merasa berhak dan memiliki atas perairan di Laut Cina Selatan tersebut sehingga menimbulkan ketegangan di kawasan yang dikenal sebagai nine dashed lines tersebut, terlebih upaya Cina membangun pangkalan militer di sebuah pulau di wilayah yang mereka klaim itu. Upaya Cina ini membuat was-was banyak negara, termasuk Amerika Serikat yang tidak ingin kehilangan kontrol di kawasan tersebut.

Indonesia kini berada persis di tengah dua kepentingan yang sedang berhadap-hadapan. Terlepas dari siapa yang merasa diuntungkan oleh keputusan Indonesia untuk mengubah nama itu. Rizal Ramli melihat bahwa Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat harus mengedepankan kepentingan nasional.

Rizal Ramli pada pertemuan tersebut mengatakan, “ …… kita (Indonesia maksudnya) harus lakukan rowing between two rocks”, yang artinya kurang lebih mendayung diantara dua karang besar. Tamsil yang digunakan oleh Rizal Ramli dalam menggambarkan situasi dan posisi Indonesia diantara dua kelompok besar atau negara besar sangatlah tepat. Indonesia harus memanfaatkan perannya sebagai sebuah negara yang berdaulat, bebas aktif. Lebih lanjut Rizal mengatakan bahwa sebenarnya istilah yang lebih tepat menurutnya, Indonesia disebut negara yang “independen”, bebas menentukan sikapnya sesuai kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Budayawan dan sejarawan Ridwan Saidi ikut memberi komentar atas pergantian nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara tersebut.

Gambar 2. Peta Laut Cina Selatan yang diklaim sebagai milik Cina (bergaris merah).

 

Gambar 3. Peta diambil dari Boegineesche Zeekarten van Den Indischen Archipel, Tijdschrift van Het Koninklijk Nederlandsch Aardtijkskundig Genootschap, 2D, 52, (1935), MAP IV.

Ridwan mengatakan bahwa dia setuju bahwa Indonesia harus memainkan posisi tawar kita kepada negara lain.

Ridwan berpendapat bahwa secara politik Indonesia bebas memberi nama apapun. Hanya dia sampaikan bahwa secara navigasi belum tentu karena Belanda mengganti nama Pulau Kapal menjadi Pulau Onrust, Selat Malaka dan Pulau Edam tetap secara navigasi tidak bisa diganti. Padahal pemerintah Indonesia sudah mengganti nama Pulau Edam menjadi Pulau Pramuka. Penamaan Selat Malaka tidak boleh diganti dan dikontrol oleh internasional, karena menurut Ridwan, nama tidak otomatis membawa konsekwensi kepemilikan. Contoh, nama Samudra Hindia bukan berarti milik India.

Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Ridwan Saidi, akan tetapi sebenarnya jika pemerintah Indonesia tergabung dengan sebuah lembaga internasional yang khusus menangani masalah pencatatan nama laut maka seharusnya tidak ada masalah terkait navigasi.

Cukup lama penulis telusuri mengenai masalah ini karena ada perbedaan pandangan antara penulis dengan Ridwan Saidi pada pertemuan semalam itu.

Ternyata, Indonesia memiliki kewenangan untuk memberikan nama di wilayah teritorial di Tanah Air dan demi kepentingan navigasi dan pencatatan resmi secara internasional dapat dilakukan melalui forum khusus pencatatan nama laut, yaitu International Hydrographic Organisation (IHO).

Memang Indonesia harus terus melakukan pembaruan (update) terkait penamaan laut ini, demikian juga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) harus diberitahukan secara resmi tentang batas-batas yang sudah disepakati.

Apa gunanya? Agar masyarakat internasional mengetahui dan paham jika melewati wilayah tersebut dia masuk wilayah siapa.

Di Natuna ini sendiri, banyak kegiatan pengelolaan migas baik eksplorasi maupun eksploitasi. Kegiatan tersebut menggunakan nama Natuna sebagai nama proyek mereka. Gambar nomor 2 menjelaskan hal itu.

Gambar 3 adalah gambar untuk keperluan navigasi yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Bugis masa itu 1830. Ternyata istilah dan penamaan pun berubah sesuai perubahan jaman.

Akhir kata, apa yang sudah dilakukan oleh Rizal Ramli itu terbukti membawa Indonesia kepada posisi yang disegani. Terbukti dari pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis dalam kunjungannya ke Indonesia awal tahun ini. James Mattis mengatakan bahwa perairan di utara Natuna adalah sebuah fulcrum atau titik strategis yang menentukan di kawasan yang mereka sebut Indo-Pasifik.

Jakarta, 17 Juni 2018

 

MUHAMMAD E. IRMANSYAH

Direktur Eksekutif Institute for Studies and Development of Thought (ISDT)

RELATED ARTICLES

Most Popular