Bulan Oktober 2023 menjadi momentum bersejarah bagi perlawanan Palestina. Organisasi HAMAS dengan serangan mengejutkan berhasil melakukan serangan mendadak ke wilayah Israel. Serangan ini menimbulkan kejutan bagi Israel. Dalam seragan ini, HAMAS juga mampu menawan dan membunuh personel militer Israel sekaligus sempat menguasai sebagian kawasan yang diduki oleh Israel. Serangan ini sekaligus menandakan bahwa militer dan intelijen Israel yang diklaim sebagai salah satu kekuatan terkuat di dunia, ternyata dapat “kecolongan.” HAMAS berargumen bahwa aksi serangannya didasarkan untuk merespon tindakan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina selama beberapa tahun ini. Terlebih rezim pemerinah Israel belakangan berulang kali melakukan tindakan kontroversial yang menganggu status quo. HAMAS membayangkan bahwa aksi serangannya demi mengakhiri penjajahan Israel. Celakanya, pasca serangan HAMAS, Israel menganggap gelombang serangan HAMAS kali ini layaknya serangan terorisme 11 September ke Amerika Serikat pada 2001. Selain itu Israel menganggap bahwa HAMAS sama saja atau bahkan lebih buruk dari ISIS yang digambarkan sama-sama menyerang warga sipil tak bersalah.
Merespon hal tersebut, Israel lantas melakukan serangan balasan yang tidak proporsional. Dengan menggunakan jet-jet tempurnya, Israel memborbardir Jalur Gaza. Israel juga melakukan blokade total terhadap Gaza, sehingga pasokan listrik, bahan bakar, air, dan makanan tidak dapat masuk ke Jalur Gaza. Selain itu, Israel berencana melakukan invasi darat untuk memastikan Jalur Gaza meminimalkan kekuatan HAMAS. Terdapat kekhawatiran Israel akan melakukan penguasaan sepenuhnya terhadap Jalur Gaza. Sejauh ini, tukar menukar serangan antara HAMAS dan Israel telah menimbulkan ribuan korban jiwa dan korban luka baik dari pejuang HAMAS, tentara Israel, maupun kalangan masyarakat sipil.
Selain di Jalur Gaza, data dari liveumap dot com juga menampilkan terjadi bentrokan bersenjata antara faksi kelompok militan Palestina dan pihak keamanan Israel di beberapa titik di Tepi Barat. Konflik kali ini merupakan pengulangan dari gelombang konflik sebelumnya. Namun dikhawatirkan bahwa konflik Oktober 2023 ini berpotensi bereskalasi menjadi konflik yang lebih besar.
Kiprah Aktif Indonesia
Indonesia aktif merespon perkembangan terkini dari konflik Palestina-Israel. Misal Presiden Joko Widodo menyerukan peredaan konflik Palestina-Israel. Hal ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan tragedi kemanusiaan lebih lanjut. Presiden Joko Widodo menyerukan agar akar masalah Palestina-Israel diselesaikan menurut parameter yang sudah disepakati PBB. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga menginstruksikan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, untuk mengevakuasi WNI yang tinggal di area konflik. Dikabarkan bahwa Menlu Retno Marsudi juga berkomunikasi dengan beragam pihak seperti negara-negara lain dan organisasi internasional untuk penghentian kekerasan.
Lantas apa solusi mendasar versi Indonesia mengenai konflik Palestina-Israel yang terus berulang seperti ini? Indonesia berpendapat bahwa 2 negara adalah solusi mendasar yang dapat mengatasi permasalahan Palestina-Israel. Hal ini seringkali diungkapkan Indonesia dalam berbagai kesempatan. Salah satunya, misal pada Maret 2023, Menkopolhukam RI, Mahfud MD menyatakan bahwa Indonesia tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel selama kemerdekaan Palestina belum terwujud. Hal ini sejalan dengan arah politik luar negeri banyak negara dan visi beragam organisasi internasional yang juga mengkampanyekan 2 negara sebagai solusi konflik Palestina dan Israel.
Indonesia juga berulang kali menegaskan dalam forum internasional tidak akan mundur dalam perjuangan mendukung kemerdekaan Palestina. Indonesia aktif menyuarakan pembelaan terhadap Palestina melalui berbagai organisasi, termasuk OKI dan PBB. Selain memperjuangkan solusi mendasar tersebut, Indonesia juga secara konsisten berkontribusi aktif dalam beragam aksi pemberian bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk dan melalui berbagai saluran.
Mengirim Militer?
Hal yang unik, terdapat usulan dari masyarakat Indonesia yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh berhenti hanya pada perjuangan diplomatik dan bantuan kemanusiaan, namun juga perlu mengirimkan militer ke Palestina. Pendapat ini didasarkan fakta bahwa beragam upaya diplomasi telah dilakukan di berbagai tingkat, mulai tingkat bilateral, regional, hingga internasional, namun tidak dapat menyelesaikan masalah konflik antara Palestina dan Israel. Sehingga konflik Palestina-Israel terus berulang. Karena itu, solusi mengirimkan tentara menjadi salah satu alternatif.
Namun demikian, usulan ini nanti terbagi dua, pertama, mengirimkan pasukan militer sebagai pasukan perdamaian sehingga meminimalkan terjadinya konflik bersenjata antara Palestina dan Israel. Pendapat kedua, mengirimkan militer Indonesia sebagai sarana membela Palestina sekaligus menghadapi Israel yang dianggap sebagai penjajah yang masih eksis di era kekinian. Meskipun tidak populer, namun kedua usulan ini patut dicermati.
Pertama, data beberapa tahun lalu menunjukkan terdapat aspirasi dari beberapa elemen masyarakat menyarankan agar pemerintah Indonesia mengirimkan TNI sebagai pasukan perdamaian di Palestina-Israel. Harapannya adalah agar konflik tidak terulang di kawasan tersebut. Bagi pendapat pertama ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia pada saat itu menyatakan untuk mengirim TNI sebagai pasukan perdamaian di kawasan Palestina-Israel tidak mudah karena harus mendapat mandat dari PBB dan adanya consent dari pihak yang bertikai.
Pendapat kedua, kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelum dicabut status badan hukumnya pada 2017, kelompok tersebut konsisten menyuarakan aspirasi agar pemerintah Indonesia mengirimkan personel TNI untuk menghadapi militer Israel. Argumennya adalah konstitusi Indonesia bersifat anti penjajahan sehingga Israel harus diberlakukan sebagai penjajah. Selain juga anggapan bahwa instrumen diplomasi juga dianggap sudah tidak relevan lagi dalam menghadapi Israel. Bahkan meskipun sekarang tidak lagi mengusung nama HTI, namun di berbagai aksi publiknya, kelompok ini tetap bersikukuh menyuarakan agar pemerintah Indonesia untuk mengirim pasukan TNI ke Palestina dalam menghadapi militer Israel.
Aspirasi tersebut juga ditunjukkan kelompok ini dalam menyikapi konflik Palestina-Israel pada Oktober 2023. Untuk argumen kedua jelas lebih tidak masuk akal lagi jika dibaca dalam konteks politik internasional yang berlaku saat ini. Terlebih visi geopolitik Indonesia berupa “Wawasan Nusantara” lebih berkarakter defesensif dan mementingkan stabilitas dalam negeri, bukan visi geopolitik agresif layaknya negara-negara besar. Selain itu, TNI pada praktiknya memang lebih banyak disibukkan dengan urusan-urusan domestik ketimbang urusan internasional. Karena itu, pendapat-pendapat ini tidak populer dan sepertinya bukan menjadi opsi alternatif bagi Indonesia dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Lantas Apa?
Lantas apa yang dapat dilakukan Indonesia? Barangkali, sesuai kapasitasnya, perjuangan Indonesia dalam hal ini adalah memaksimalkan jalur diplomasi, mengandalkan lobi melalui berbagai saluran organisasi internasional, dan menggalakkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina. Langkah-langkah yang sebenarnya juga telah dijalankan Indonesia selama bertahun-tahun lamanya dalam konteks Palestina-Israel. Tren yang sama juga dilakukan oleh negara lain dengan mengandalkan langkah diplomasi dan usaha melalui organisasi internasional. Sedangkan mengirim opsi militer sepertinya adalah langkah yang sulit diambil bagi Indonesia.
Konsekuensi dari pilihan langkah Indonesia-dan juga dunia internasional pada umumnya- adalah konflik Palestina-Israel berpeluang akan terus menerus berulang ke depannya. Toh Israel juga tidak begitu peduli terhadap kecaman dan kritikan yang datang dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan beragam resolusi dan alternatif perdamaian dari berbagai organisasi internasional pun diabaikan Israel. Toh juga mitra strategis Israel macam Amerika Serikat juga memiliki posisi kuat di berbagai organisasi internasional.
Dengan perimbangan kekuatan militer yang tidak seimbang antara Israel dan faksi-faksi perlawanan Palestina, maka jelas bagi Israel menegaskan hegemoni dan penindasannya terhadap rakyat Palestina. Cerita mengenai penderitaan rakyat Palestina akan terus menerus kita dengar hingga ke depannya. Bencana kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina akan menjadi cerita yang berulang.
Meski opsi tindakan Indonesia terbatas, tetapi yang jelas Indonesia harus terus menunjukkan konsistensi perjuangannya dalam membela Palestina. Selain itu, Indonesia jangan pernah lagi menjalankan skandal “hubungan gelap” dengan Israel sebagaimana pada masa Orde Baru, dimana pada saat itu Indonesia membeli pesawat militer dari Israel sekaligus mengadakan latihan bagi pilot pesawat tempur di Israel. Jangan pernah pula Indonesia kembali mewacanakan pembukaan hubungan dagang dengan Israel sebagaimana pernah diwacanakan rezim presiden Abdurrahman Wahid ketika beliau berkuasa. Jangan pula Indonesia tergoda pada tren pengakuan hubungan diplomatik terhadap Israel sebagaimana yang yang dilakukan beberapa negara Arab dalam tren Abraham Accord.
Langkah-langkah tersebut selain “mengkhianati” konstitusi Indonesia yang anti penjajahan, juga tidak konsisten dengan kiprah Indonesia saat ini di dunia internasional dalam mendukung Palestina. Tentu juga “mengkhianati” rakyat Palestina itu sendiri. Sebaliknya, barangkali Indonesia sekali-sekali perlu mencoba menggunakan bahasa yang cadas dalam menghadapi Israel.
Selain itu, Indonesia juga perlu memikirkan strategi-strategi baru yang mungkin dianggap lebih efektif dalam membela Palestina sekaligus melawan Israel. Terlebih Menlu Retno Marsudi juga telah menyatakan bahwa penyelesaian masalah Palestina-Israel tidak dapat dilakukan secara business as usual.
PRIHANDONO WIBOWO
Dosen Hubungan Internasional FISIP UPN Jatim