Friday, March 29, 2024
HomeGagasanKitab Tafsir Tertua Dalam Dunia Islam: Kitab Tafsir sebelum Imam at-Thabari

Kitab Tafsir Tertua Dalam Dunia Islam: Kitab Tafsir sebelum Imam at-Thabari

 

Berkaitan dengan kitab tafsir dalam tradisi Islam, memang ada dua jenis kitab tentang tafsir. Pertama, kitab yang berisi kumpulan riwayat-riwayat penafsiran yang disandarkan kepada seorang tokoh. Misalnya, kitab tafsir Ibnu Abbas yang berjudul “Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas” (تفسير المقباس من تفسير ابن عباس). Kitab ini berisi kumpulan riwayat-riwayat tafsir yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bukanlah penulis kitab tersebut, tetapi orang lain yang bernama Al-Fairuzabadi yang mengkompilasi atau yang mengumpulkan riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dari beberapa kitab untuk kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab. Kedua, kitab yang berisi penafsiran seorang tokoh. Dalam hal ini misalnya, Tafsir ath-Thabari, kitab ini ditulis oleh Imam ath-Thabari sendiri. Tafsir Al-Jalalayn, kitab ini ditulis oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahally. Begitu juga kitab Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy, ditulis oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy, dan kitab tafsir ini ternyata sezaman dengan kitab Tafsir ath-Thabari.

Tafsir Muqatil bin Sulaiman ini memang ditulis oleh Muqatil sendiri. Isinya bukan kumpulan riwayat-riwayat tafsir Muqatil yang dikumpulkan oleh orang lain. Kitab tafsir Muqatil bin Sulaiman yang disebut oleh Bambang Noersena dan kemudian diklaim sebagai kitab tafsir yang tertua, maka hal ini perlu dikritisi. Tafsir Muqatil bin Sulaiman memang menyebut nama Ishaq yang akan dijadikan qurban. Namun, apakah kitab tafsir Muqatil bin Sulaiman merupakan kitab tafsir yang tertua? Apakah kitab-kitab tafsir era sezaman dengan Muqatil bin Sulaiman tidak ada satu pun yang menyebut nama Ishmael? Ini merupakan dua hal yang berbeda.

Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H./ 767 M) yang diklaim sebagai ahli tafsir paling awal yang karya utuh kitab tafsirnya masih ada hingga kini, memang secara tegas menyebut Ishaq sebagai “dzabih”, anak yang disembelih oleh Abraham. Namun pada zamannya, Muqatil bin Sulaiman ternyata dikenal sebagai sosok yang diragukan kredibilatasnya oleh banyak pihak, terutama oleh para ulama Ahli Tafsir dan para ulama Ahlul Hadits. Ulama Ahlul Hadits khususnya, semuanya mengatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman itu dianggap tidak tsiqah, dan celaan berupa “jarh” senantiasa dialamatkan kepadanya, misalnya Imam Asy’ari menyatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman itu seorang mujassimah. Bahkan, Imam adz-Dzahabi men-jarh Muqatil bin Sulaiman karena dia banyak menukil riwayat-riwayat Israiliyat dari kaum Ahlul Kitab ketika menafsirkan ayat Quran, yang narasinya tak sepenuhnya bisa diverifikasi validitas datanya, meskipun menurutnya dianggap sesuai dengan kitab suci Yahudi dan Nasrani. Saya belum menemukan sebuah pernyataan dari para ulama Ahlul Hadits yang men-ta’dil Muqatil bin Sulaiman, tetapi semuanya justru men-jarh Muqatil bin Sulaiman.

Fakta historis justru berbicara lain, mufassir generasi awal, Ibnu Juraij misalnya, ternyata menyebut Ishmael sebagai “dzabih”, anak yang dijadikan qurban oleh Abraham. Tafsir Ibn Juraij justru statusnya lebih otoritarif jika dibandingkan dengan kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H./767 M). Menurut catatan Imam Al-Bukhari dalam karyanya kitab Tarikh al-Awsath, Ibnu Juraij wafat pada tahun 150 H (767 M), dan kredibiltas Ibnu Juraij sangat diakui ke-ta’dil-annya di kalangan ulama Ahlul Hadits di zamannya, hingga zaman Imam Al-Bukhari. Para ulama Ahlul Hadits ternyata berbeda pandangan mengenai kredibilitas keduanya. Meskipun demikian, Muqatil bin Sulaiman dan Ibnu Juraij keduanya hidup di zaman yang sama. Kini, kompilator riwayat tafsir Ibn Juraij adalah Ali Hasan Abd al-Ghaniy, diterbitkan tahun 1992. Menariknya, Tafsir Ibn Juraij ini justru menyebut nama Ishmael sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban oleh Abraham. Sejak terbitnya Tafsir Ibnu Juraij yang diterima melalui jalur Hasan bin Muhammad al-Za’farani dari Hajjaj al-Mishshishi, maka klaim otoritas kekunoan kitab Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman justru invalid dan dipertanyakan keabsahannya. Bila pada era Muqatil bin Sulaiman dan Ibnu Juraij ternyata ditemukan keragaman pendapat mengenai nama sang putera yang di-qurban-kan oleh Abraham, maka klaim Bambang Noersena tentang adanya wacana tunggal yang hanya merujuk pada nama Ishaq yang muncul pada era awal, maka klaim tersebut menjadi batal. Kini, kitab Tafsir Ibn Juraij juga sudah ditahqiq oleh Dr. ‘Abdurrahman bin Hasan Qa’id, cetakan Dar al-Kamal al-Muttahidah. Oleh karena itu, buku ini sekaligus merupakan bantahan akurat terkait wacana tunggal yang dipaksakan, yakni menggiring opini hanya merujuk pada nama Ishaq saja.

Kitab Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas.

Begitu juga klaim Bambang Noersena berkaitan dengan kekunoan kitab Tafsir ath-Thabari yang dalam kitab tafsir ini disebutkan validitas nama Ishaq sebagai putera yang dijadikan qurban. Menurut Bambang Noersena, kitab tafsir yang berjudul جامع البيان في تاويل القران (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an) karya Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari adalah kitab tafsir tertua. Klaim ini sebenarnya sangat tidak benar. Klaim kekunoan kitab tafsir karya Imam ath-Thabari (224 – 310 H) ini justru terbantahkan dengan keberadaan kitab tafsir yang lain, yakni kitab تفسير كتاب الله العزيز (Tafsir Kitabillah al-‘Aziz) karya Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi (200 – 280 H). Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir lengkap pertama dan tertua, dan tokoh mufassir ini hidup sezaman dengan Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (224 – 310 H). Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi umurnya lebih tua 24 tahun dibanding al-Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, dan Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi wafat pada tahun 280 H., sedangkan al-Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari wafat pada tahun 310 H. Ini merupakan fakta bahwa Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-‘Ibadi paling lambat telah merampungkan penulisan karya kitab tafsirnya sekitar 30 tahun sebelum wafatnya Imam ath-Thabari. Menariknya, dalam kitab tafsirnya tersebut, setelah menyebutkan beberapa perbedaan riwayat hadits mengenai siapa yang menjadi “dzabih” maka Imam al-Huwwari lebih menguatkan pandangan bahwa sebenarnya memang Ishmael yang diqurbankan oleh Abraham. Dengan demikian, pada era Abad ke-3 H., wacana tentang nama sang putera yang akan menjadi qurban Abraham justru pendapat yang dominan merujuk kepada Ishmael, bukan Ishaq. Dalam kitab tafsirnya, hlm. 457, beliau berkata:

واحقهم ان يكون اسماعيل هو الذي امرهم بذبحه وهو اوفق لما في القران.

Selain itu, klaim Bambang Noersena terkait kekunoan kitab tafsir karya Imam ath-Thabari itu juga tidak benar, dan justru terbantahkan dengan keberadaan kitab tafsir karya Ibnu Abi Hatim al-Razy. Kitab Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy adalah kitab tafsir yang keberadaannya sezaman dengan kitab Tafsir ath-Thabari, dan di dalam ulasannya tersebut ternyata Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy (854 – 938 M) justru menguatkan nama Ishmael yang dijadikan qurban dengan menyandarkan pandangannya pada pendapat ayahnya, yakni Abu Hatim al-Razy. Dengan pengutipan pendapat yang dikutip oleh Ibn Abi Hatim al-Razy yang mengacu pada pandangan ayahnya sendiri, yaitu Abu Hatim, tentu saja ini merupakan bukti “interne evidenti” bahwa pada masa sebelum era ath-Thabari sudah ada wacana dominan yang menyebut Ishmael sebagai qurban Abraham. Hal ini sekaligus sebagai bukti adanya wacana yang lebih kuno dari pada pandangan yang diwacanakan oleh Imam ath-Thabari pada masanya. Menariknya, demi menyuguhkan adanya wacana yang lebih kuno tersebut, maka pada kitab tafsirnya itu ternyata Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy merujuk pada perawi-perawi utama, yakni, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan Ibnu Umar.

Sejak era awal pembukuan (tadwin) kitab hadits dan kitab tafsir, nama Ishmael memang lebih diterima secara valid dibanding nama Ishaq. Indikasi ini dapat dicermati melalui banyaknya riwayat hadits yang menyebut Ishmael sebagai anak yang dijadikan qurban oleh Abraham, dan bukan Ishaq. Banyaknya riwayat hadits yang pro-Ishmael, yang tidak sebanding dengan riwayat hadits yang pro-Ishaq, hal ini merupakan fakta bahwa penafsiran tentang “dzabih” yang disematkan kepada Ishaq justru merupakan pendapat minoritas, dan bukan pendapat mayoritas. Adanya kesaksian jumlah hadits yang melimpah, yang mengarah kepada Ishmael sebagai sang “dzabih”, justru semakin membuktikan akurasi dan validitas datanya. Apalagi, riwayat hadits yang pro-Ishaq ternyata “matan” haditsnya menyebutkan nama Sarah dan nama Abraham yang latar/ setting peristiwa qurban itu justru berada di wilayah Mina (Saudi Arabia), dan bukan di wilayah Palestina. Ini jelas narasi teks haditsnya tak bisa diverifikasi dari kajian ilmu “sanad” hadits, tetapi berdasarkan kajian ilmu “matan” hadits ternyata akurasi dan validitas datanya ahistoris.

Pada abad ke-10 M., Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy (854 – 938 M) serta Imam ath-Thabari (839 – 932 M) terlibat semacam “perdebatan akademik” terkait kontroversi penafsiran tentang sang “dzabih” (anak yang dijadikan qurban). Imam ath-Thabari usianya memang lebih tua 15 tahun dibanding Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy, dan Imam ath-Thabari faktanya wafat lebih awal 6 tahun sebelum wafatnya Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy. Kedua ahli tafsir yang sezaman ini mewakili wacana perdebatan akademik berbasis informasi riwayat hadits terkait sang putera yang akan dijadikan qurban oleh Abraham. Pada abad ke-10 M., jumlah riwayat hadits yang pro-Ishmael dan pro-Ishaq sebagai qurban Abraham memang cukup banyak, meskipun jumlah riwayat haditsnya sebenarnya tidak berimbang. Imam ath-Thabari telah mendata beragam pendapat para ulama Salaf terkait mengenai sosok yang dijadikan qurban oleh Abraham. Dalam karya magnum opusnya, “Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an”, Imam ath-Thabari mencatat 17 riwayat hadits yang mengidentifikasi Ishaq sebagai sosok yang dijadikan qurban oleh Abraham. Sebaliknya, Imam ath-Thabari justru mencatat adanya 24 riwayat hadits yang mengidentifikasi Ishmael sebagai “dzabih” (anak yang dijadikan qurban). Meskipun riwayat hadits yang pro-Ishaq dan riwayat hadits yang pro-Ishmael kenyataannya tidak seimbang, Imam ath-Thabari ternyata memilih pendapat yang mengakui Ishaq sebagai sosok yang dijadikan qurban oleh Abraham. Dia berkata: “awla al-qawlain bi al-shawab” (pendapat yang paling mendekati kebenaran di antara keduanya). Dalam hal ini, Imam ath-Thabari tidak bisa memverifikasi validitas riwayat hadits tersebut berdasarkan kajian ilmu hadits, sehingga pertimbangan Imam ath-Thabari memilih Ishaq sebagai “dzabih” didasarkan bukan pada keakuratan periwayatan hadits, tetapi Imam ath-Thabari justru ber-hujjah dengan merujuk pada makna tektual ayat (‘ala dzahir al-tanzil) sebagaimana yang termaktub pada bunyi ayat QS. ash-Shaffat 37:112 yang menyebut secara literal nama Ishaq tersebut. Dengan demikian, kenyataannya Imam ath-Thabari berargumentasi bukan berdasar pada nalar kritik hadits, meskipun rincian redaksional hadits-hadits yang disajikan begitu banyak kutipannya dalam kitab tafsirnya. Bila Imam ath-Thabari penyimpulannya merujuk pada redaksional “dzahir ayat”, maka Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy penyimpulannya merujuk pada kesaksian mayoritas jumlah riwayat hadits, dan analisisnya juga merujuk pada ketidakakuratan redaksional “matan hadits” yang mengandung kecacatan “setting” (latar) peristiwa qurban, sehingga beliau menyimpulkan bahwa yang dijadikan qurban adalah Ishmael. Selain itu, riwayat hadits yang dikutip oleh Ibn Abi Hatim al-Razy ialah pandangan ayahnya sendiri, yaitu Abu Hatim al-Razy, yang tentu saja lebih dahulu ada, atau lebih kuno daripada pandangan Imam ath-Thabari. Meskipun keduanya ada perbedaan pendapat, tetapi keduanya hidup sezaman, dan manuskrip Tafsir ath-Thabari serta manuskrip Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy juga benar-benar sezaman. Meskipun keduanya merupakan kitab tafsir kuno, hal ini tidak ada kaitannya dengan kriteria kekunoaan suatu manuskrip dalam ranah otentisitas suatu karya. Dengan demikian, klaim Bambang Noersena dengan berdasar pada kekunoan Tafsir ath-Thabari demi mendukung opininya, maka hal ini tidak dapat dipertanggunjawabkan validitasnya.

Pada abad ke-14 M., perdebatan akademik mengenai riwayat hadits tersebut berdasar pada nalar kritik hadits semakin mengalami kemapanan. Hal ini kemudian dikuatkan dengan kajian riwayat hadits secara akademik yang lebih ketat dan mendalam pada era Imam Ibnu Katsir (w. 774 H./ 1374 M), penulis تفشير القران العظيم (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim) yang menyeleksi validitas hadits berdasar pada originalitas sumber periwayatannya, yakni berdasar pada kajian “sanad” hadits dan kajian “matan” hadits. Kajian “sanad” hadits yang dimaksud bukan hanya mengenai ketersambungan mata rantai penyampaian suatu riwayat hadits, tetapi hal ini juga menyangkut kredibilitas para perawi dan sumber awal suatu riwayat. Dalam konteks ini, riwayat yang menyatakan bahwa Ishaq yang di-qurban-kan ternyata mayoritas bersumber dari Ka’ab al-Akhbar. Jadi, pandangan ini ternyata bersumber dari Ka’ab Akhbar sendiri, dan bukan langsung dari Nabi SAW. Bila sanad hadits tersebut bersumber dari sahabat (Ka’ab Akhbar), dan bukan dari Nabi SAW, maka (dari segi sumber riwayat) riwayat termasuk ke dalam jenis riwayat “mauquf” dan tidak jelas asalnya, alias invalid.

Semua riwayat hadits yang pro-Ishaq diverifikasi terkait akurasi dan validitas data haditsnya berdasarkan “externe evidenti” dan “interne evidenti”, terutama hadits yang sumber utamanya berasal dari riwayat Ka’ab al-Ahbar. Menurut Imam Ibnu Kathir (w. 774 H./ 1373 M), murid Ibnu Taimiyah (w. 726 H./ 1328 M), semua riwayat hadits yang berasal dari Ka’ab al-Ahbar terkait hadits “qurban Abraham” ternyata ber-“setting” di wilayah Mina, Saudi Arabia. Ini menurutnya, narasi hadits yang disajikan itu setelah diverifikasi ternyata cacat matan haditsnya, sebab Sarah tidak pernah berada di wilayah Mina, Saudi Arabia, Sarah selamanya berada di Palestina, dan ini dianggap ahistoris, “kidzb wa buhtan” (bohong dan dusta) oleh Imam Ibnu Katsir. Melalui karya Imam Ibnu Katsir di zamannya inilah akhirnya wacana “dzabih” lebih populer merujuk pada nama Ishmael yang dijadikan qurban oleh Abraham. Kepakaran Ibnu Katsir dalam hal kritik hadits ini kemudian menjadikan hadits pro-Ishmael sebagai pijakan pandangan dan pemahaman ortodoksi terkait Ishmael sebagai “dzabihu-Llah”, sang domba Allah yang disembelih.

 

MENACHEM ALI

Lecturer di Universitas Airlangga

Visiting Lecturer di Universite Mohammed V de Rabat Maroko

Founder The Yeshiva Institute

RELATED ARTICLES

Most Popular