Friday, April 26, 2024
HomePolitikaKetidakadilan Pada Korban Kekerasan Seksual: "Menyelesaikan Dengan Cara Kekeluargaan!"

Ketidakadilan Pada Korban Kekerasan Seksual: “Menyelesaikan Dengan Cara Kekeluargaan!”

SURABAYA – Kementerian Agama (Kemenag) pada 5 Oktober 2022 lalu menetapkan aturan baru terkait bentuk kekerasan seksual. Kini bersiul dan menatap seseorang termasuk dalam kategori kekerasan seksual. Hal tersebut diatur Kemenag melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 73 tahun 2022, tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Menanggapi kebijakan tersebut, pakar hukum Dwi Rahayu Kristianti menilai kebijakan itu sangat mendesak untuk dijadikan isu pijakan hukum. Melihat belakangan ini banyak kasus kekerasan seksual terjadi di lingkup instansi agama, seperti di pesantren dan madrasah. Jauh sebelum Kemenag mengeluarkan aturan baru siul dan menatap, Permendikbud Ristek RI 30/2021  terlebih dahulu mengeluarkan kebijakan tersebut.

“Kemenag perlu juga mengatur yurisdiksi yang sama dalam lingkup satuan pendidik dibawahnya, sebagai payung hukum yang membijaki,” ucap Dwi Rahayu pada media ini, Kamis (27/10/2022).

Dwi menambahkan bahwa dalam proses Perancangan Peraturan Perundang-Undangan (PERPU) secara umum perlu dilakukan penelitian. Itu sebabnya hukum dibuat sebagai law as a tool of social engineering atau hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam artian hukum menjadi penunjang atau pendukung atas teori hukum yang dapat merekayasa masyarakat.

“Dalam pembuatan kebijakan perlunya beberapa proses yang panjang, melatar belakangi kasus yang merebak, hingga melewati proses tarik ulur politik hukum sampai resminya sebuah aturan kebijakan,” imbuhnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga tersebutmenegaskan bahwa dalam kalangan civitas akademika kasus kekerasan seksual menjadi perhatian yang penting. Biasanya dalam kasus tersebut bisa terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa.

“Relasi yang timpang itu lingkupnya luas, pelaku punya andil kuasa yang lebih tinggi dan  memberikan sebuah ancaman kepada korban,” kata Dwi.

Ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada internal kampus, dari pihak kampus pun menutupi kasus tersebut demi menjaga image kampus dengan bertopeng dibalik kata menyelesaikan dengan cara kekeluargaan.

“Kalimat menyelesaikan dengan cara kekeluargaan itulah problema yang mengakibatkan tidak berpihaknya (institusi pendidikan, red.) pada si korban,” tandasnya.

Ditambah polemik komentar masyarakat Indonesia, kata Dwi dimana dengan diksi kata menatap, meyakini hal tersebut dipandang sepele. Menatap disini perlu digaris bawahi, yaitu menatap seseorang dengan nuansa seksual dan menimbulkan rasa risih.

“Dampak yang ditimbulkan dari korban pun juga bukan perkara yang mudah. Banyak dari korban menarik diri dari lingkungan sosialnya, hingga terganggu psikis korban dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” ungkapnya.

Dwi menyebutkan bahwa kasus seperti itu jangan hanya berpihak pada pelaku saja. Namun, juga perlu memperhatikan sisi dampak pada korban. Solusi rehabilitasi dilakukan keduanya, pelaku lebih aware dalam bentuk pelecehan seksual dan rehabilitasi bagi korban untuk memulihkan keadaan normal kembali. Dari sini, sosialisasi dan kampanye informatif bentuk pelecehan seksual harus terus dilakukan. Menjadi harapan juga Satgas PPKS lebih responsif dalam penanganan kasus tersebut.

“Semoga ke depan peraturan baru dari Kemenag bisa diterapkan secara efektif di lingkungan pendidikan agama, di lain sisi Permendikbud Ristek juga harus kita dukung dan apresiasi secara nasional,” pungkas Dwi.

(pkip/bus/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular