Ketakutan sebagian pihak terhadap Tiongkok atau China mulai menampakan sisi irasional. Sebagai negara adidaya, China semakin bersikap ofensif. Doktrin Deng Xiaping berbunyi: “Saya tidak peduli kucing itu berwarna hitam atau putih. Yang saya peduli, kucing itu bisa menangkap tikus.” Kucing yang dimaksud adalah sistem kapitalisme yang dijalankan, walau dibalut dengan konfusiosisme, marxisme, dan maoisme.
Yang banyak disebut, bahkan oleh sosok ilmuwan seperti Faisal H Basri, Rizal Ramli dan Chusnul Mar’iyah adalah China sebagai komunis. Atau, komunisme dalam praksis maoisme. Padahal, kekuatan komunisme Tiongkok sungguh tak beralasan. Baik nalar akal (aqli), maupun nalar tekstual (naqli), tak bertemu. Ibarat hadist, kalaupun dilafazkan, perawi yang dirunut terputus. Bagai rantai yang hilang dalam teori evolusi Charles Darwin. Dhaif. Palsu.
Tentu, penulis bersedia berdebat dalam panggung apapun. Jangankan mendalami secara runut, bahkan sejak awal saja sudah tidak bisa membedakan antara Mongol dengan China. Begitu pula, apa perbedaan antara komunisme Rusia dengan komunisme China dan Indonesia, walau sama-sama merujuk kepada Das Manifest der Kommunistischen Partei yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels per 21 Februari 1848.
Dari lebih 7 milyar ummat manusia, Tiongkok atau China memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.412.650.000 jiwa. Urutan kedua, India berpenghuni 1.384.410.00 jiwa. Juara ketiga diraih Amerika Serikat dengan 336.771.00 jiwa. Jumlah itu tercatat pada tanggal yang sama, 16 Oktober 2021.
Dua negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam menempati urutan keempat dan kelima, yakni Indonesia per 21 Januari 2021 berpenduduk 271.349.889 jiwa, dan Pakistan per 16 Oktober 2021 berpenduduk 225.326.000.
Jika seluruh manusia China itu komunis, sudah pasti mengalahkan seluruh ideologi politik lain. Hanya saja, China bukanlah pemerintahan satu partai. Terdapat sembilan partai politik di China. Sekalipun memiliki 40 universitas atau semacam itu, yakni masing-masing 1 di 34 provinsi dan 6 di tingkat nasional, partai-partai politik lain mampu berkiprah di sejumlah area. Hongkong, misalnya.
Belum lagi dalam perhitungan matematika biasa, partai komunis tersebar di banyak negara. Di India, dalam pemilu nasional tahun 2004, pemilih Partai Komunis India sebanyak 22.061.677 suara (5,7 %). Tahun itu, Partai Golkar meraih 24.480.757 suara dan menjadi pemenang.
Tiga negara bagian yang dikuasai Partai Komunis India adalah Kerala, Bengal Barat dan Tripura. Sejumlah ekonom yang mengaku pemuja Amartya Sen dan Vandana Shiva, lalu mengutuk investasi China di Indonesia, bisa jadi lupa betapa Kerala adalah mata-air model pertumbuhan ekonomi yang membawa Sen kepada hadiah Nobel Ekonomi. Bharatiya Janata, partai Hindu garis keras, bahkan tak bisa menembus benteng Partai Komunis India di Kerala dan Bengal Barat. Begitu pula ketika Partai Kongres berkuasa di New Delhi.
Masih kurang?
Mari tambahkan pemilih Partai Komunis Bersatu Rusia yang bolak-balik mencalonkan Vladimir Putin, baik dalam posisi sebagai Perdana Menteri atau Presiden, sejak tanggal 26 Maret 2000. Tingkat dukungan terakhir bahkan mencapai 80% pemilih.
Cukup?
Silakan hitung sendiri dengan eksistensi Partai Komunis di sejumlah negara pecahan Uni Sovyet, terutama Asia Tengah yang berpenduduk mayoritas Islam. Ditambah dengan Korea Utara, Ukraina, Vietnam, Kamboja, pun Cuba, Amerika Latin, dan negara-negara di Afrika. Jangan lupa juga di negara-negara Arab, seperti Iran, atau Israel.
Benarkah mereka yang begitu aktif menyebut China Komunis itu betul-betul anti komunisme, atau anti China?
Ketika anti komunisme, butakah mata mereka dengan persebaran partai komunis, bahkan di Amerika Serikat sendiri. Robert Fogel, peraih Nobel Ekonomi 1993, seorang guru besar bidang sejarah ekonomi, sejak berusia muda adalah aktivis Partai Komunis Amerika Serikat di Cornell University.
*
Ketika Sukarno menulis dalam Suluh Indonesia Muda tahun 1926 dengan judul “Marxisme, Islamisme, dan Nasionalisme”, Tan Malaka sudah menjadi agen Komunis Internasional. Tan bahkan ikut memilih Stalin sebagai Sekretaris Jenderal Komunisme Internasional setahun sebelumnya.
Sukarno mulai menulis, namun Tan sedang menghadang doktrin Stalinisme dengan berbagai cara. Tan menolak rencana pemberontakan kaum komunis. Sayang, upaya “Pacar Merah” ini gagal di Silungkang dan Banten. Pemberontakan kaum komunis yang sebagian besar dipimpin oleh penganut paham Pan Islamisme bergelar haji itu meletus.
Tan sedari awal menolak Pan Islamisme disamakan Stalin sebagai kekuatan imperialisme dan kapitalisme global. Fakta yang ada, negara-negara yang berada dalam paham Pan Islamisme itu adalah negara-negara jajahan. Bagi Tan, Pan Islamisme bahkan mengandung kekuatan sebagai penghadang laju imperealisme dan kapitalisme. Pan Islamisme bahkan bisa bekerjasama dengan Komunisme Internasional, bukan sebagaimana dituduhkan sebagai kolaborator kekuatan kapitalisme dan imperealisme global.
Stalin tentu saja menyamakan Pan Islamisme dengan imperealisme global, akibat pendudukan pasukan Turki Utsmani atas Semenanjung Krimea. Setelah menaklukan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih (Mehmed Sang Penakluk) mengirimkan mengirimkan Panglima Kuduk Ahmad ke Crimea pada tahun 1476. Mingili Girai Khan, pemimpin Crimea waktu itu, menyerah dan mengakui kekuasaan Ak-Fatih. Hubungan kooperatif dibangun antara Crimea dan Turki Utsmani sampai tiga abad. Pada 1774, berdasarkan Perjanjian Kuchuk Kaynarji, Turki Utsmani melepaskan Crimea. Pada 1783, berdasarkan Perjanjian Jashi antara Turksi Utsmani dengan Kekaisaran Russia, kepemilikan atas Crimea diberikan kepada Russia.
Namun, pertengahan abad ke-19 terjadi Perang Krimea (1853-1856) antara Kekaisaran Rusia melawan Pasukan Sekutu yang terdiri atas Prancis, Britania Raya, Kerajaan Sardinia, dan Turki Utsmani. Kekaisaran Rusia kalah. Sekutu, termasuk Turki Utsmani, mendapatkan sejumlah daerah taklukan.
Wajar, kalau Stalin menyamakan kekuatan imperalisme global seperti Inggris dan Prancis dalam satu barisan dengan Turki Utsmani. Trauma kekalahan Perang Krimea masih menyelimuti.
Turki adalah wajah Pan Islamisme paling bersinar. Dan tentu sedang berubah. Republik Turki baru terbentuk tahun 1923, dua tahun sebelum Stalin dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Komunisme Internasional. Kuva-yi Milliye yang dipimpin Mustafa Kemal Attaturk masih penuh luka, akibat penumbangan kekuatan kekhalifahan yang despotis dan korup.
*
Bukan soal komunisme itu yang hendak penulis urai. Tetapi langkah-langkah yang dilakukan oleh China dalam investasi pembangunan infrastruktur di Asia dan Afrika dalam sepuluh tahun terakhir. Termasuk, tentu, kereta cepat Jakarta – Bandung. Beruntung, penulis mendapatkan buku dari Andrinof A Chaniago, ketika menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Andrinof banyak menggagalkan perencanaan pembangunan nasional skala raksasa, termasuk pembangunan jembatan tol yang menyeberangi Selat Sunda, baik di atas laut atau di bawah dasar laut.
Bagi penulis, jelas sekali China sedang membangun Tembok Besar yang dibangun Dinasti Qin, Dinasti Han, dan Dinasti Ming, sejak delapan abad Sebelum Masehi (722 Sebelum Masehi). Hanya saja, Tembok Besar itu tidak berada di wilayah Tiongkok, melainkan disebar keluar dari Tiongkok. Bagai sasaran panah berbentuk lingkaran itu, Tiongkok sedang menarik garis melingkar jauh dari area yang dihuni oleh 1,4 Milyar penduduknya.
Kota-kota di China berpenduduk puluhan juta manusia. Pembiayaan besar-besaran yang dilakukan oleh peradaban Sungai Kuning ini di Afrika dan Asia, sudah jelas guna memberikan keamanan atas model invasi apapun. Dan, jangan lupa, China tidak hanya berhadapan dengan invasi dari bangsa-bangsa berkuda dari luar, tetapi mengandung potensi konflik berdarah dalam kromosom dan genetika mereka. Pertarungan berabad-abad, sampai diduduki oleh Mongol.
Bisa saja, China mengalami “persatuan” setelah DNA Jenghis Khan (Temujin) yang menyapu sebagian besar dunia atas angin –pada saat yang sama, Singosari melarut, dan Majapahit “menyatukan” Nusantara –bertebaran dari perempuan kerajaan-kerajaan yang dia tumbangkan. Dalam sebuah penelitian, sebanyak 16% populasi dunia dipengaruhi oleh DNA Genghis Khan.
Namun, penyatuan China dalam long march Mao Zedong, Revolusi Kebudayaan Deng Xiaoping, dan seterusnya, belum terhitung satu abad. Hongkong dan Taiwan adalah bukti dari potensi Tiga Negara Tiga Dinasti masih mengancam dari dalam wilayan Republik Rakyat Tiongkok sendiri. China sebagai republik, masih berusia muda. Darah yang menetes dalam
Dua puluh tujuh abad atau 2.743 tahun keberadaan Tembok Besar China belum sebanding dengan seratus tahun penyatuan Tiongkok oleh Ketua Mao. Di tepi Sungai Yang Tze, Shanghai, ketika penulis berfoto di depan patung besar Mao Zedong pada tahun 2010, anak-anak muda China saling berciuman, bergandengan tangan. Nasib patung bagaimanapun sudah tertulis dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, bakal dihancurkan oleh “semacam” Nabi Ibrahim. Termasuk patung-patung yang ada di Indonesia, tentu.
Penulis sudah menonton ratusan film tentang China. Aneh, tak ada sama sekali “pemujaan” terhadap Ketua Mao, sebagaimana seriusnya film-film Indonesia semacam Pengkhianatan 30 September 1965 menempatkan sosok Mayor Jenderal Soeharto. Para pekerja pabrik di China, sama sekali tak berpakaian seragam berbeda-beda, tetapi sangat liberal. Uniformitas ala buruh-buruh pabrik di Indonesia, atau penyeragaman yang lain, justru terlihat lebih berbau komunistik, dibandingkan dengan apa yang bisa dilihat di negara China.
Ketika Tan Malaka yang banyak menghabiskan pelarian politik di China menyebut musuh dari Merdeka 100% adalah feodalisme, mistisisme, dan kapitalisme, China justru telah mengubahnya. Feodalisme dalam bentuk penguasaan tanah, malahan dibagikan kepada pengurus partai politik di tingkat desa. Satu desa, satu produk, berasal dari “perampasan”: tanah negara oleh kader-kader partai yang sangat menguasai teknologi pertanian dan didukung penuh negara. Mistisisme, banyak digunakan sebagai doktrin yang mencengangkan dalam membuat film. Kapitalisme, dalam akhir abad ke 20 adalah duplikasi, dari peniti, mainan, hingga kendaraan, tanpa peduli dengan hak kekayaan intelektual atau copyright.
Jangan-jangan, sejak berinteraksi dalam Liga Mahasiswa Komunis ketika kuliah di Belanda, Tan Malaka sudah menanamkan banyak pengaruh dalam benah pemimpin-pemimpin dunia ketiga: Russia, China, hingga Vietnam. Hanya bangsa Indonesia yang menolak, akibat tak menyadari betapa Tan Malaka adalah seorang guru mengaji Al-Qur’an yang relegius…
JAKARTA, 23 Oktober 2021
INDRA JAYA PILIANG
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara