Anda pernah bekerja terlalu keras, sehingga lupa rehat, lupa bersosialisasi bahkan lupa waktu? Bila jawabannya adalah iya, hal tersebut bisa masuk ke dalam kagetori Hustle culture. Hustle culture adalah tradisi bekerja sangat keras sampai mendekati bahkan melewati batas kemampuan yang bisa dilakukan untuk mencapai target, termasuk target perusahaan maupun target pribadi seperti karier, kesuksesan maupun keuangan dengan cara yang cepat. Hal ini banyak terjadi seiring dengan merebaknya industri dimana-mana.
Budaya kerja keras yang kelewat batas ini kemudian diglorifikasi sebagai sesuatu yang positif bahkan diagungkan sebagai satu-satunya syarat untuk memperoleh kesuksesan, sehingga orang berlomba-lomba bekerja sangat keras sekali.
Masyarakat sendiri akan sangat mengapresiasi apabila ada keluarga yang sering berangkat pagi dan pulang larut malam untuk menafkahi keluarganya. Bagi masyarakat, orang yang seperti itu berarti sayang kepada keluarganya dan peduli kepada masa depan anak-anaknya dengan mengorbankan waktunya demi keuangan yang mapan. Alasannya kerap kali sekedar mumpung masih muda dan banyak tenaga.
Banyak orang “show up” momen bekerja terlalu lama tak kenal waktu melalui media sosial berupa foto mereka sedang bekerja di siang hari sampai larut malam yang tidak jarang diimbuhi dengan caption “demi sesuap nasi”. Budaya ini diapresiasi dan dianggap sebagai tanda orang sukses.
Namun bila Anda bekerja keras tetapi belum memberi dampak, akankah Anda menaikkan dosis kerja keras Anda? Sering kali cara berpikir binary ini mempengaruhi alam pikiran masyarakat saat ini. Bila tidak bekerja keras ya jadi pemalas. Sehingga ada perasaan bersalah bila dianggap kurang bekerja keras, apalagi nasihat motivator sering seragam, “bila kamu gagal, bangkit dan bekerja lebih kerja keras lagi“.
Dampaknya, bisa jadi banyak di antara kita memilih untuk menaikkan dosis kerja keras dan mengorbankan waktu pribadi misalnya untuk rehat dan untuk keluarga, padahal masih ada opsi diantara kerja keras dan malas, yaitu kerja seimbang.
Kembali kepada kerja keras yang sedang digandrungi saat ini. Silakan Anda cek, jangan-jangan lelah Anda ini tidak memberi dampak sama sekali dalam kehidupan Anda, dan kesudahan dari semua ini terlihat dari wajah yang semakin pucat, keluarga yang tidak terurus, keuangan yang berantakan karena daya pikir yang semakin melemah dan tertekan. Uang yang Anda kejar pun harus dikeluarkan untuk membiayai kesehatan mental yang tidak baik-baik saja.
Kimia Kebahagiaan
Seringkali penulis mengobrol dengan orang yang memiliki “jiwa-jiwa obsesif”. Banyak di antara mereka memiliki ketenangan yang luar biasa. Tutur katanya rapi, menunjukkan kualitas jiwa dan pikiran yang matang. Ternyata tingginya target pencapaian mereka selalu tidak pernah melupakan kedirian mereka sebagai manusia biasa yang menunaikan hak fisiknya untuk rehat, hak keluarga untuk bercengkrama dan bahkan hak sosial sebagaimana manusia sebagai makhluk bermasyarakat.
Namun pada saat yang lain, penulis juga kerap berbicara dengan teman dari beragam profesi. Penulis amati wajah mereka tampak lelah. Obrolannya cukup idealis tidak terstruktur, agak ofensif bahkan senggol bacok untuk urusan sepele sekali pun.
Penulis tidak kuasa untuk tidak mengira-ngira kalau kawan-kawan tersebut sedang lelah. Hasilnya beberapa waktu kemudian terdengar kabar sedang diopname di rumah sakit akibat kelelahan akut. Cara ini pun penulis gunakan untuk melakukan refleksi sekaligus sebagai kompas sedang ada dimana perjalanan kedirian ini, apakah terlalu malas, atau terlalu over dosis dalam bekerja. Manakala hati penulis mulai iritasi dengan hal receh sekali pun maka bisa jadi ada hal yang tidak seimbang dalam kehidupan ini.
Penulis beberapa kali mendampingi orang yang “kelelahan” menjalani hidup. Tandanya dimulai dengan kondisinya yang terpuruk dan berantakan pada banyak sisi, baik secara keluarga, finansial, rohani bahkan secara moralitas. Banyak persamaan dari kondisi mereka yang sedang kelelahan yaitu terlalu banyak yang dipikirkan sehingga otak bingung memilah dan memilih tindakan mana yang logis untuk segera move on dari masalah yang tengah dihadapinya.
Seimbang Selalu Lebih Baik
Penting rasanya merenungkan kembali pendapat Greg McKeown (2022) yang memberi saran untuk “tidak membiarkan terlalu banyak pikiran masuk ke dalam kepala“. Izinkan kepala hanya mencerna yang penting dan prioritas serta yang membuat diri bertumbuh lebih baik. Nyatanya kurang istirahat juga tidak pernah memberi dampak yang lebih baik daripada terlalu banyak istirahat.
Bila ikhtiar keras belum memberi dampak dan kemudian mengambil kesimpulan untuk semakin kerja keras, hal itu tidak salah, karena itu bagian dari pilihanan sebagai manusia yang mukhoyyar untuk memilih. Tapi, mengizinkan diri sendiri untuk menghirup kopi, -itu juga kalau asam lambung sedang baik-baik saja- bernafas rileks dan meninjau sampah-sampah dalam kepala, mestinya akan semakin ringan dan tercerahkan.
Jangan-jangan pencapaian kerja yang sedang tidak baik-baik saja bukan disebabkan karena kurang bekerja keras. Bisa jadi karena terlalu lelah, kurang beristirahat dan kurang makan. Dampaknya adalah tidak bisa jernih melihat persoalan dan efeknya gagal membuat terobosan untuk pencapaian kinerja. Atau bisa jadi terlalu banyak sampah-sampah pikiran yang sejak lama tidak dibuang.
Penulis pun bila mendapati gawai (gadget) mulai lambat, bukan kemudian memaksanya untuk semakin bekerja keras, melainkan cukup mencari cache yang jumlahnya ribuan itu kemudian membuangnya, menghapus file tidak penting, dan selanjutnya tahu sendiri, gawai nyaman kembali untuk dipakai.
Untuk pencapaian kerja yang lebih baik, tentu kerja yang seimbang bisa dijadikan pilihan yang baik saat ini. Seimbang antara kerja, istirahat, bersosialisasi, beribadah sekaligus melepas sampah-sampah batin dan sampah pikiran yang membuat daya hidup semakin redup. Bila tidak percaya, cobalah hidup seimbang dalam 1 bulan saja dan rasakan hasilnya.
ROMI ANSHORULLOH
Psikolog Dan Anggota Assosiasi Psikologi Islam Jawa Timur