Tuesday, April 16, 2024
HomeGagasanKematangan Berdemokrasi Bangsa Indonesia

Kematangan Berdemokrasi Bangsa Indonesia

 

Pelaksanaan Pilpres dan Pemilu serentak pada 17 April 2019 tinggal menghitung hari. Pilpres tahun 2019 ini akan menjadi pengalaman keempat bangsa Indonesia dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Cukup banyak kemajuan bangsa Kita dalam berdemokrasi, namun ada juga beberapa kemunduran. Kita perlu mengatasi beberapa kemunduran bangsa Kita dalam berdemokrasi, seperti mewabahnya penyebaran Hoax atau berita bohong, serta adanya kesalahpamahaman atau mispersepsi tentang kecurangan dalam Pemilu dan Pilpres.

Langkah tegas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap para pelaku penyebaran Hoax patut Kita apresiasi. Tentunya penegakan hukum terhadap pelaku dan penyebar Hoax harus dilakukan dengan seadil-adilnya dan tidak pandang bulu. Siapapun pelakunya harus dihukum, tanpa pilih kasih, apalagi tebang pilih. Semata-mata demi terwujudnya supremasi hukum serta terbentuknya budaya dan karakter masyarakat madani (civil society) di Indonesia.

Pada aspek yang lain, kesalahpahaman atau mispersepsi tentang kecurangan Pemilu dan Pilpres harus dihentikan segera, karena dikait-kaitkan dengan ancaman pengerahan massa yang berpotensi anarkis serta merupakan antitesis dari sistim demokrasi Kita. Seluruh bangsa Indonesia harus sadar bahwa merupakan tugas dan tanggung jawab Kita bersama merawat dan menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap sesuai dengan aturan konstitusi Kita. Indonesia adalah negara hukum dan seluruh warga negara wajib taat kepada hukum dan peraturan. Konstitusi UUD 1945 yang sudah diamandemen 4 (empat) kali, telah mengatur sistim ketatanegaraan Kita serta aturan tentang sistim penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres. Mekanisme gugatan hukum jika dianggap telah terjadi kecurangan dalam Pemilu dan Pilpres, juga sudah diatur jelas dan tegas melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Seluruh elit politik di Indonesia harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi seluruh rakyat, untuk selalu taat dan patuh pada konstitusi UUD 45 beserta seluruh peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Mispersepsi Tentang Kecurangan Pilpres

Teringat Saya masa dahulu saat menempuh pendidikan di jurusan Elektroteknik Institut Teknologi Bandung. Ada mata kuliah yang membahas tentang teori sistim. Teori tentang sistim secara sederhana menggambarkan bahwa sistim itu merupakan suatu kesatuan aliran yang dimulai dari masukan (input), kotak hitam pemrosesan (black box) dan ujungnya menghasilkan keluaran (output). Prinsip aliran dalam teori tentang sistim adalah sesuatu yang mutlak atau suatu keniscayaan. Oleh sebab itu, sering dinyatakan hukum besi dalam semua sistim, “jika sampah yang masuk (sebagai input), maka sampah juga yang akan keluar (sebagai output)”. Dalam terminologi bahasa Inggris sering disebut, “Garbage In, Garbage Out“.

Sebagian besar bangsa Kita khususnya kaum elite politiknya sesungguhnya awam dan kurang memahami substansi dan realitas dari sistim teknologi informasi dalam Pemilu dan Pilpres di Indonesia. Itulah sebabnya pernah muncul wacana tentang adanya “sedot data” terhadap sistim teknologi informasi penghitungan suara dalam Pemilu dan Pilpres lalu. Istilah “sedot data” ini betul-betul salah kaprah dan tidak memungkinkan terjadi dalam sistim teknologi informasi yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karena sesungguhnya algoritma sistim teknologi informasi dalam penghitungan suara Pemilu dan Pilpres oleh KPU itu sangatlah sederhana.

Sistim ini berbeda jauh dengan sistim teknologi informasi yang diterapkan di Amerika Serikat. Karena disana “pencoblosan suara” sejak awal sudah berbasis pada komputer atau pencoblosan suara secara elektronik. Otomatis penghitungan suara bisa dilakukan dengan seketika (realtime), langsung oleh sistim teknologi informasi yang berbasis pada komputer. Sementara di negara Kita, pencoblosan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), masih dilakukan secara konvensional berupa pencoblosan kertas suara secara fisik. Kemudian penghitungan suara di TPS juga masih dilakukan secara konvensional. Baru setelah itu hasil penghitungan suara pada setiap TPS diakumulasikan secara nasional dengan menggunakan sistim teknologi informasi yang berbasis pada komputer. Oleh sebab itu di Indonesia, penghitungan suara di setiap TPS memungkinkan dan membutuhkan adanya saksi-saksi dari masing-masing kandidat Calon Presiden.

Pada fase penghitungan awal inilah terbukti adanya kesalahpahaman atau mispersepsi tentang kecurangan dalam penghitungan suara oleh KPU seperti yang dilontarkan oleh segelintir elit politik bangsa Kita. Bagaimana mungkin terjadi kecurangan dalam penghitungan suara oleh KPU, karena sejak awal pencoblosan suara pada TPS di seluruh Indonesia, KPU memberlakukan prosedur standar operasi yang sudah mapan (established) dan teruji. Sebelum pencoblosan suara dilakukan oleh Pemilih, pasti selalu dilakukan proses yang transparan dihadapan seluruh saksi dari masing-masing kandidat Capres/Cawapres, bahwa seluruh kotak suara dalam keadaan kosong. Prosedur yang sama juga dilakukan saat pengecekan terhadap kertas suara. Prosedur standar operasi tersebut diulangi lagi oleh Petugas KPU di setiap TPS pada saat memulai penghitungan suara. Hasil penghitungan suara dari setiap TPS wajib diperiksa, disetujui dan ditandatangani oleh seluruh saksi dari setiap Capres/Cawapres. Para saksi dari setiap kandidat Capres/Cawapres mau menandatangani hasil pemungutan dan penghitungan suara, tentunya karena kriteria jujur, adil, bebas dan rahasia dianggap sudah terpenuhi. Jadi, bagaimana bisa sampai terjadi kecurangan dalam penghitungan suara Pilpres?

Kembali pada prinsip aliran dalam sistim teknologi informasi, “jika sampah yang masuk maka sampah juga yang akan keluar”. Hasil penghitungan suara dalam Pilpres hanya bisa dicurangi pada saat penghitungan awal di TPS. Pada sisi yang lain, kotak hitam (black box) dalam sistim teknologi informasi KPU, yang memproses penghitungan suara secara keseluruhan tingkat nasional, pasti sudah diaudit teknologi serta keandalannya. Secara otomatis, jika memang masukan (input) hasil penghitungan suara di TPS berkualitas, kotak hitam (black box) dari sistim teknologi informasi KPU juga akan bekerja dan menghasilkan keluaran (output) yang juga berkualitas. Jika Kita ingin yakin dan percaya bahwa Pemilu dan Pilpres telah dilaksanakan dengan jujur dan adil, maka Kita wajib ikut mengawasi transparansi dalam penghitungan suara pada setiap TPS di seluruh wilayah NKRI.

Jangan sampai terjadi seperti kata peribahasa, “buruk muka, cermin dibelah”. Jadi, isu dan wacana tentang kecurangan dalam penghitungan suara Pilpres hanyalah sekedar kamuflase atau peng-kambing hitam-an atas kegagalan atau kekalahan yang dialami oleh salah satu kandidat Capres/Cawapres. Sangat berbahaya jika terlintas dalam pikiran segelintir elit politik tersebut, isu kecurangan dalam penghitungan suara Pilpres digulirkan sebagai alasan untuk pengerahan massa yang berpotensi untuk anarkis. Tujuannya agar pemilihan umum yang telah terlaksana dianulir hasilnya, jika perlu dilakukan pemilihan ulang.

Yang lebih buruk, jika semuanya itu dilakukan semata-mata untuk membuat situasi kacau (chaos). Sehingga secara otomatis penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu dianggap batal dan gagal. Akibatnya pemerintahan yang sedang berkuasa dinyatakan demisioner, karena dianggap gagal menyelenggarakan Pemilu dan Pilpres yang jujur dan adil. Jika realitas seperti itu yang diharapkan sebagai agenda tersembunyi, maka Pemerintah harus melakukan penegakan hukum yang setegas-tegasnya dan sekeras-kerasnya. Karena segelintir elit politik tersebut sudah tidak memikirkan sama sekali nasib dan masa depan bangsa dan negara ini. Mereka sudah lupa akan esensi, arti dan tujuan dari sistim demokrasi itu sendiri.

Sejatinya, sistem demokrasi yang Kita jalankan di negara Kita saat ini merupakan sarana atau wahana yang telah Kita pilih bersama, sebagai cara untuk membentuk pemerintahan di negara Kita. Sudah tentu tujuan akhirnya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa dan negara Kita. Seluruh bangsa Indonesia harus selalu sadar dan waspada. Jangan sampai mau dipecah belah dan diadu domba. Persatuan dan kesatuan bangsa harus diatas segala-galanya. Semangat persaudaraan dalam Pemilu dan Pilpres harus selalu menjadi kesadaran Kita bersama untuk selamanya. Kita harus yakin dan percaya pada adagium “Suara Rakyat, Suara Tuhan”. Jadi, siapapun yang terpilih dan mendapat amanah menjadi Presiden dan Wakil Presiden, itu merupakan takdir dan kehendak dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.

 

JOHAN O. SILALAHI

Pendiri “Negarawan Indonesia

RELATED ARTICLES

Most Popular