Friday, May 3, 2024
HomeGagasanKasus Ratna Dalam Tiga Status

Kasus Ratna Dalam Tiga Status

 

Peristiwanya baru seminggu. Berlangsung selama dua hari. Seperti gempa yang disertai tsunami: datang begitu cepat, memicu histeria, hingga pertanyaan yang tak terjawab. Satu minggu sudah. Yang tersisa hanyalah proses pencarian korban, hingga menyusun keseluruhan puzzle dalam mosaik yang lengkap. Pihak penyidik negara terlibat.

Minggu lalu, saya menyimak dengan penuh hasrat. Aktivitas terhenti. Saya hampir tidak beranjak dari rumah. Hanya karena sudah membuat janji dengan kawan saya, Ahmed Zaki Mubarrak, Bupati Kabupaten Tangerang, saya berangkat menuju sebuah hotel di kawasan Serpong. Itupun terlambat. Dari janji pukul 16.30, saya datang menjelang maghrib. Usai menjemput kaos kiriman dari relawan dari Salatiga di posko induk Sang Gerilyawan Jokowi di Bintaro, saya langsung pulang ke rumah.

Saya diskusi dengan istri, baik di rumah, maupun dengan alat komunikasi. Bagaimanapun, saya memiliki hubungan emosional dengan Kak Ratna Sarumpaet, sosok yang menjadi sumber utama kehebohan. Saking dekatnya dengan Ratna, bersamaan dengan keakraban saya dengan Jajang C Noer, Sudjiwo Tedjo dan Garin Nugroho, saya bahkan pertama kali masuk diskotik dengan Kak Ratna di kawasan Patrajasa. Hanya saja, saya sulit menyampaikan kalimat panjang selama proses memahami persoalan itu. Saya hanya sempat menulisnya dalam status di laman facebook.

Dulu, waktu negara Orde Baru begitu menekan, saya terbiasa menyimpan atau menabung pikiran dalam bentuk syair atau puisi. Puisi adalah ruang persembunyian beragam macam hal, mirip dengan goa zaman old atau brangkas zaman now. Tentu, kata-kata yang saya tulis adalah kode-kode yang saya sendiri bisa memberi tafsir. Dan kurang dari dua puluh empat jam, terdaoat tiga status yang saya tulis.

***
Status Pertama: “Beruk itu yang mengeroyok Kak Ratna Sarumpaet. Kalau mau ngeroyok orang, pilih tanding dong!!!”

Begitu yang saya tulis pukul 12:56 tanggal 2 Oktober 2018 itu. Status itu adalah bentuk empati kepada Kak Ratna. Semula, kalau sayaberhasil memahami dan mengetahui siapa yang mengeroyok, saya ingin menantang berkelahi. Cuma, saya tidak yakin pihak itu ada, sehingga status seperti itulah yang tertulis. Saya masih ragu tentang ada atau tidak pengeroyokan. Saya mengutuk beruk. Bukan manusia. Tentu, kini saya mohon maaf kepada beruk. Hewan buas yang bisa bersahabat itu sudah banyak membantu kehidupan keluarga dan masyarakat Pariaman dan Padang Pariaman dalam menurunkan buah kelapa.

Dari sisi politik, gelombang serangan pertama ketika foto Kak Ratna viral, langsung terarah kepada kedaulatan dan ketangguhan negara dalam melindungi warganya. Negara ditempatkan dalam posisi tak berdaya dalam melindungi seorang nenek yang berusia 70 tahun. Ayah saya menyebut usia itu sebagai senior citizen. Bukan saja memiliki bonus usia secara demografik, yakni di atas rata-rata usia harapan hidup penduduk Indonesia, dalam usia itu Kak Ratna yang tak mau saya panggil Bunda Ratna ini masih beraktivitas. Terlepas dari karakternya sebagai oposan, timbangan jasa Kak Ratna lebih berat daripada apa yang disebut salah tentang dia. Bangsa ini juga dilahirkan generasi negarawan hingga berkembang sampai generasi milenial kini juga atas peran tukang kritik.

Tidak percaya bahwa serangan itu tertuju kepada negara? Periksa saja akun media sosial masing-masing. Sudah dihapus? Tenang saja, jejak digital yang sudah hilang pun tak lenyap dari statistik yang direkam oleh mesin-mesin pencatat. Setiap huruf, kata dan kalimat diserap ke dalam apa yang disebut sebagai big data.

Saya ikut geram. Hanya, saya tidak tahu geram pada siapa. Berdiam bisa dianggap salah. Berbicara? Khawatir keliru. Nada bersungut-sungutlah yang keluar.

Saya pikir, pernyataan, perdebatan atau saling cela hanya terjadi di media sosial atau WhatsApp Group. Toh Ratna belum kelihatan di depan media. Waktu seakan berjalan lambat. Media online mulai diisi dengan kolom-kolom aktivis atau pengamat.

Sore harinya, dua kelompok masyarakat membuat pernyataan pers dalam waktu hampir bersamaan, yakni masyarakat sipil dan komunitas politik. Tentu dengan panglima perang masing-masing.

Kali ini, gelombang kedua langsung tertuju kepada Jokowi, baik dalam kapasitas sebagai Kepala Negara ataupun sebagai Calon Presiden. Kenapa? Dalam ilmu semiotika yang saya pelajari, segala sesuatu adalah teks. Yang tak tampak juga teks. Dunia adalah teks, pikiran adalah teks, termasuk yang tidak tertulis. Ketika yang muncul mengepalkan tangan adalah kelompok masyarakat sipil, tentu di hadapan mereka terhampar wajah kepala negara. Begitu juga saat komunitas politik yang sedang berkompetisi menembakkan peluru, tentu tujuannya nahkoda yang memimpin armada lawan. Tak ada yang sama sekali mengarah ke ruangan hampa.

***
Status Kedua: “Tensi politik sudah naik menjadi gigi dua. Bermula dari foto-foto yang disebut penganiayaan Ratna Sarumpaet.”

Status itu saya tulis pukul 19:24 tanggal 2 Oktober 2018. Selain khawatir atas perkembangan yang terlalu cepat itu, terutama atas kondisi masyarakat yang belum stabil ditimpa gempa bumi di beberapa lokasi, gunung meletus dan tsunami, saya menjadi bimbang. Biasanya, kalau terjadi konflik atau tumbukan dalam pelbagai kasus, saya lebih memilih menyuarakan suasana kebatinan pihak yang sedang berhadapan dengan negara. Karena itu saya dekat dengan Presidium Dewan Papua, Gerakan Aceh Merdeka dan sebagainya.

Hanya, saya tetap bertumpu pada kalimat kedua dalam status, “Bermula dari // foto-foto // yang disebut // penganiayaan // Ratna Sarumpaet.” Sebab, bukti yang dibawa hanya foto-foto untuk mengeluarkan beragam pernyataan. Foto yang dikoyak-koyak oleh pelbagai pernyataan berbagai individu hebat dan kelompok terpandang. Foto yang diberi beragam tafsir. Foto yang bahkan sampai hari ini masih dicari sanad (kaki bukti)-nya.

Tesis magister saya kebetulan berjudul “Bouraq Singa Kontra Garuda: Pengaruh Sistem Lambang dalam Separatisme GAM terhadap RI”. Saya bukan hanya membongkar makna (baik palsu atau bukan) dibalik sistem lambang kedua pihak yang berseteru. Sistem lambang itu bukan hanya bouraq, singa, garuda, bendera merah putih, bendera berbahasa arab dengan dua pedang, lagu kebangsaan masing-masing, hingga binneka tunggal ika. Saya menelusuri sampai riwayat masing-masing agama, pun juga kitab-kitab suci.

Dari tesis ini saya paham betapa ahlinya penyusun sistem lambang GAM, sebagaimana juga penyusun sistem lambang negara Indonesia. Studi inilah yang banyak membantu saya dalam menyusun sudut pandang dalam peristiwa politik di tanah air.

Bukan, saya tidak menuduh pihak mana yang paling banyak melakukan serangan. Juga kalimat-kalimat yang dimunculkan. Walau kalibernya masih jauh dari retorika seorang Ratna, tuduhan yang diberikan begitu tajam dan kejam. Betul, ada “perlawanan” dari para pendukung Jokowi, yakni keaslian tahi lalat di wajah Ratna. Atau penjelasan ala dunia kedokteran klinis yang dilakukan oleh Dokter Tompi di media sosial. Hanya saja, pembelaan seperti itu seperti menampar angin.

Terus terang, selama proses itu, saya sama sekali tak memerhatikan status-status di media sosial. Yang saya pantau hanya sejumlah WhatsApp Group yang plural. Serta, setiap sebentar membuka media-media online terkait berita terbaru yang menyangkut 5W dan 1H. Sanad yang tanpa perawi atau orang yang meriwayatkan kalimat, tentu sulit dimasukkan sebagai informasi sahih.

***

Status Ketiga: “2-3 ekor nyamuk mati sekali tepok oleh emak-emak, sudah biasa. Tapi kalau 2-3 ekor naga sekali tepok oleh nenek-nenek? #SatuMerahPutih.”

Status itu selesai diketik pada pukul 09.23 pagi, saat hari berganti menjadi Rabu, 3 Oktober 2018. Sejak malam hingga pagi, beredar informasi tandingan dari aparat negara. Apa yang disebut sebagai negara yang diam ternyata tak seperti itu. Presiden Jokowi yang diam, bukan berarti tidak mengambil tindakan. Tak semua perintah perlu diucap.

Yang dilakukan aparat negara adalah mencari kebenaran tentang infomasi. Gentingnya situasi tergambar dalam laporan pihak kepolisian yang lengkap. Sebagaimana foto Kak Ratna, laporan kepada Presiden Jokowi itu juga masuk lewat pintu media sosial. Laporan yang menjangkau setiap pemegang gadget.

Arus opini berbalik. Dalam status ini, saya mulai terang benderang dalam memberikan amsal politik. Walau, sampai kini proses penyidikan polisi masih berjalan dengan memanggil saksi-saksi. Status ini juga menjadi anti klimaks dari seluruh keingin-tahuan saya.

Dengan tiga status itu saya bertanya: seberapa cepat surutnya gejolak politik yang semula dianggap dashyat? Seberapa panjang usia kehebohannya?

Jakarta, 10 Oktober 2018

INDRA J. PILIANG

Penulis dan Pegiat Komunitas Alumni Satu Merah Panggung

RELATED ARTICLES

Most Popular