Simbol-simbol PKI dan usaha-usaha rekonsiliasi anak bangsa dengan keluarga terkait PKI mulai bermunculan. Yang terbaru adalah simbol palu arit yang terpampang di salah satu sudut di kota Jember yang telah diamankan oleh aparat. Demikian juga di kota Pamekasan (Madura) dalam suatu acara karnaval dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan RI Ke-70. Pemakaian baju berlambang palu arit oleh sebagian selebritis dan anak muda juga beberapa kali terjadi. Ironisnya, Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Luhut Binsar Panjaitan dengan entengnya menanggapi maraknya gambar Palu arit dengan perkataannya: “Kemunculan simbol palu arit bukan hal yang aneh” (Selasa, 18/8/2015).
Tak hanya itu, dunia perfilman juga mulai disesaki dengan kemunculan film-film yang “toleran” terhadap paham komunis, seperti film berjudul “Senyap” (2014). Film tersebut menggambarkan PKI sebagai korban dan TNI serta rakyat berada di pihak yang salah. Sebelum simbol dan film, terlebih dulu terbit buku berjudul: “AKU BANGGA JADI ANAK PKI” (2002), yang sempat menimbulkan kontroversi karena diberi kata pengantar mendiang Gus Dur. Buku ini karangan politikus PDIP, Ribka Tjiptaning Proletariati yang saat ini menjadi anggota DPR RI Komisi IX. Padahal pada 2002), Hamzah Haz selaku Wakil Presiden saat itu, meminta kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menyita buku ini, karena dianggap menyebarkan komunisme ke masyarakat.
Selanjutnya adanya upaya sistematis penghapusan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang peraturan pelarangan paham komunis. Tak cukup itu saja, sejarah pengkhianatan PKI dalam kurikulum sekolah mulai dieliminasi. Di sekolah SD yang tadinya ada sejarah G 30 S/PKI sekarang raib sehingga anak-anak kita tidak mengenal PKI itu seperti apa. Juga penghentian pemutaran film G30S/PKI dari TVRI membuat masyarakat jadi lupa akan masa lalu PKI.
Cukup mengejutkan, di era Jokowi ini usaha-usaha membangkitkan PKI dan ide-ide komunis dilakukan semakin masif dan gencar. Kerja sama bilateral antara Indonesia dan China semakin kuat. Bantuan ekonomi kepada Indonesia oleh China cukup banyak. Ribuan orang China (akan/telah) didatangkan ke Indonesia dengan sangat mudah.
Begitu hebatnya infiltrasi komunisme melalui para pemimpin dan pejabat bangsa Indonesia. Sadar atau tidak sadar mereka telah “berkomplot” dengan asing (komunis) yang rentan mencederai ideologi bangsa. Wacana rekonsiliasi terhadap sesama anak bangsa dengan keluarga PKI yang semakin gencar disuarakan kian memperkeruh situasi. Diskursus rekonsiliasi itu ternyata tidak hanya datang dari elit-elit negara, akan tetapi juga datang dari elit ormas Nahdlatul Ulama (NU) yang dipelopori oleh Said Agil Siradj. Saat ini dia getol menyuarakan pentingnya rekonsiliasi sesama anak bangsa bersama keluarga PKI. Nampaknya dia meniru langkah Gus dur.
Dalam perkataannya di salah satu media TV yang membahas komunisme, ketum PBNU ini mengatakan: “Yang sudah ya sudah. Sekarang Mari kita rekonsiliasi bersama anak bangsa”. Bangsa dan umat Islam Indonesia akan diajak untuk melupakan PKI. Sejarah gelap dan aksi PKI pada tahun 1948 dan 1965 terhadap bangsa dan umat Islam Indonesia sudah sangat jelas. Sejarah adalah pelajaran berharga.
Kita mestilah waspada terhadap upaya-upaya penghidupan (kembali) paham komunis yang mulai ditiupkan oleh sebagian “antek”nya. Bisa jadi mereka itu tidak menyadari bahwa luka sejarah yang pernah diperbuat PKI. Kita juga patut mencurigai nasionalisme sebagian tokoh yang acapkali mendengungkan wacana rekonsiliasi. Mereka tidak boleh diberikan peluang sedikitpun untuk merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita juga mesti gencar melawan segala penciptaan opini publik yang mengesankan seolah-olah PKI adalah korban dan TNI serta umat (Islam) adalah pihak yang harus disalahkan. Ini membahayakan.
Bahaya laten komunisme harus terus diwaspadai oleh bangsa dan umat Islam Indonesia. Jangan lengah terhadap setiap gerakan-gerakan dalam upaya membangkitkan komunisme di Indonesia, sekalipun itu dilakukan oleh tokoh elit dan pimpinan bangsa Indonesia sendiri yang seolah ‘menggadaikan idealisme” mereka demi kepentingan ‘asing”. Ghirah dan nasionalisme kita tidak boleh luntur dalam upaya menjaga keutuhan negara dan bangsa karena upaya merongrongnya tak pernah padam bahkan menguat pasca reformasi. InsyaAllah, Indonesia akan selamat dengan berbekal kewaspadaan dan semangat tinggi tersebut. Aamiin.
MUNIR SOKHEH
Pengajar di Pesantren Darul Ihya’, Bangil, Jawa Timur