Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanJamal Paradoks: Sebuah Renungan Tentang Orang Miskin

Jamal Paradoks: Sebuah Renungan Tentang Orang Miskin

359770_bom-bunuh-diri-sarinah_663_382

Dalam beberapa waktu ini, Jamal, bapak tua asal Madura, penjual sate di Bilangan Sarinah, Jakarta menjadi tokoh terkenal setelah kasus Bom Sarinah. Hal ini terjadi karena meskipun teroris datang dan meledakkan diri di situ, di dekat Jamal, namun dirinya tetap saja menjual satenya. Jamal tidak takut dengan teroris.

Berbeda dengan di Turki dan Paris beberapa waktu ini, serangan teroris membuat semua orang lari tunggang langgang, kabur. Menyelamatkan nyawanya. Fenomena Jamal ini akhirnya membuatnya menjadi figur penuh pujian di media, televisi bahkan media sosial. Berbagai TV mengangkat berita dan melakukan wawancara langsung. Gerakan rakyat juga memakai hashtag #kamitidaktakut (#wearenotaffraid, merujuk pertama digunakan di Paris, paska bom November 2015) juga mengaitkan sosok Jamal ini, dalam pembahasan media.

Tentu puji-puji itu datangnya dari masyarakat kita. Sedangkan masyarakat internasional yang secara luas menonton TV, bingung atas fenomena ini.

Apakah peristiwa Jamal itu normal? Sesuaikah dengan standar kemanusian: jangan lari kalau ada teroris? Untuk itu kita perlu lihat sedikit lebih jauh. Apa motif Jamal tidak kabur meski ada teroris?

Dari wawancara yang dilakukan oleh beberapa stasiun TV akhirnya kita dapat mengetahui alasan Jamal. Dirinya tidak mau lari karena takut gerobaknya rubuh terdorong massa yang berhamburan panik. Kalau gerobaknya rubuh, maka Jamal akan mengalami kerugian fatal, di mana dia sangat tergantung penghasilannya dari gerobak sate tersebut. Heni, istri Jamal, menurut The Jakarta Post juga mengatakan awalnya takut, tapi mereka lebih takut lagi jika jualannya gagal, karena masih banyak.

Melihat pengakuan Jamal ini, maka kita bisa langsung menyimpulkan: secara relatif Jamal lebih takut kehilangan gerobak satenya dibandingkan dengan teroris.

Pertanyaannya mengapa Jamal lebih menghargai gerobak sate, alat produksinya sebagai kaum marhaen? Bertahan hidup di Jakarta, khususnya di masa rezim anti PKL (Pedagang Kaki Lima) saat ini, bagi Jamal yang seorang PKL, tentu sangat tersiksa. Rezim yang memanjakan gerai-gerai modern dan bisnis properti bukan hanya tidak menyisakan ruang bagi kaki lima seperti Jamal, lebih sadis lagi, ruang-ruang sisa buat PKL pun semakin sempit. Trotoar-trotoar, bahu jalan, taman, pelataran toko dan lokasi lainnya telah “dibersihkan”.

Konflik PKL dengan aparatur pamong praja (Satpol PP) berkali-kali memakan korban luka parah. Jadi wajarlah kesadaran Jamal dalam menafsirkan realitas kira-kira seperti ini: gerobak sate Jamal yang berdiri dalam luasan hanya 2 meter persegi itu adalah puncak eksistensi Jamal dalam hidup. Sebuah monumen. Jamal telah merelakan seluruh hidupnya bertarung dengan kejamnya kota dan aparatnya dalam masa yang panjang untuk bisa mendapatkan ruang bagi pangkalan gerobaknya. Musuh hidup bagi Jamal bukanlah teroris atau siapapun. Musuh dalam kesadaran Jamal hanyalah kekuatan yang akan menggusur gerobaknya.

Jadi “Jamal Paradoks” ini adalah sebuah fenomena dimana orang mengapresiasi Jamal adalah seorang pemberani, karena tidak takut teroris. Padahal, Jamal, sebaliknya, bertahan di Gerobak Satenya karena sangat ketakutan gerobak satenya hancur. Jamal bukanlah Hero, Jamal adalah korban kesulitan hidup. Sebuah jaman tanpa kemanusiaan.

Kebingungan masyarakat Barat atas fenomena Jamal berakar dari tingginya harga manusia di negara maju tersebut. Hidup mewah dan jaminan sosial yang mapan. Sebaliknya, di negara miskin, setiap individu hidup sebagai individual. Survival for the fittest. Tanpa asuransi sosial. Tanpa jaminan sosial. Bagi masyarakat Marhaen seperti Jamal, yang alat produksinya hanya satu-satunya Gerobak Sate, hidup sebenarnya juga sebuah kematian.

Dr. SYAHGANDA NAINGGOLAN

Pengamat Sosial

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular