Saturday, April 27, 2024
HomeGagasanIsyarat Partai Golkar dalam Pilpres 2029

Isyarat Partai Golkar dalam Pilpres 2029

Dibalik kemenangan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang di atas angka prediktif seluruh lembaga survei, terdapat hasil yang bakal mengguncang jagat politik nasional selama lima tahun ke depan. Yakni, penurunan suara PDI Perjuangan dari sekitar 19% menjadi 17%. Artinya, 2% dari seluruh total pemilih. Penurunan itu –bisa berjumlah 3 juta pemilih, jika pakai asumsi jumlah pemilih dalam Pemilu 2019 — tidak terlepas dari upaya yang ditempuh PDI Perjuangan sedari awal pengumuman Calon Presiden RI Ganjar Pranowo, sehari sebelum lebaran, ketika hampir seluruh pemudik sudah berada di kampung halaman.

Kehadiran petinggi PDI Perjuangan, termasuk pesawat kepresidenan yang membawa Joko Widodo dari Salatiga, di Istana Batutulis, pada tanggal 21 April 2023 itu, sama sekali tak diduga dan tak diketahui oleh petinggi partai politik lain.

Saya yang hari itu bersua dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar di rumah dinas, setengah sebelas lewat, masih sempat berpolemik, apakah Ganjar Pranowo akan tetap didukung PDI Perjuangan. Keraguan itu saya sampaikan kepada Airlangga Hartarto. Jawaban yang saya terima, ‘Tidak mungkin. Ganjar tetap dimajukan.’ Yang sama sekali tak ada dalam pembicaraan kami berdua, pengumuman Ganjar dilakukan dua jam kemudian. Informasi saya dapatkan di perjalanan.

Sebagai ‘dukun politik’, saya tak mencium sama sekali rencana pengumuman itu. Yang lebih hebat, Ketua Umum DPP Partai Golkar bahkan tak mem-bully saya dengan kata-kata: ‘Dua jam lagi diumumkan, kemana saja Pak IJP?’

Hari itu, saya melihat mobil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar ada di halaman. Saya jelas tidak menanyakan itu kepada Ketua Umum, ataupun kepada ajudan yang sedang bertugas. Selama mengenal Airlangga Hartarto, satu etika yang dijaga adalah sama sekali tak ada orang yang ‘bertabrakan’ sebagai tamu beliau. Sesekalinya saya melihat dan bersua dengan tamu yang hadir sebelum saya, adalah sehari sebelum Idul Fitri 2022. Ketika dari dalam mobil saya ditegur oleh Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita dan Drs. Abdul Latief, dua senior Partai Golkar. Yang salaman dengan saya, Agus Gumiwang Kartasasmita. Maklum, era COVID 19.

Bahwa mobil Sekjen DPP Partai Golkar berada di rumah dinas Airlangga Hartarto sehari sebelum Idus Fitri menunjukan betapa persoalan pemilu legislatif sangat diperhatikan oleh Partai Golkar. Sebab, sejmlah penugasan menyusul fungsionaris. Partai Golkar akan mengusung Prabowo Subianto, tentu sudah lama saya ketahui. Namun, disertai catatan kunci, betapa yang bakal menjadi Calon Wakil Presiden adalah Airlangga Hartarto. Bagi saya, dan banyak kalangan di internal, paket Prabowo Subianto – Airlangga Hartarto adalah harga mati. Sangat pantas banyak yang kecewa, manakala yang muncul adalah Gibran Rakabuming Raka, dalam saat yang sangat singkat. Hampir tak ada waktu untuk berpikir, selain menghadapi anak-anak panah beracun dari muka, belakang, kiri, dan kanan terkait pasangan ini.

Namun, kala mengecek agenda keseluruhan Ketua Umum DPP Partai Golkar, termasuk yang saya ikut hadiri, begitu juga tim media yang dibentuk, saya sadar betapa Partai Golkar dalam pemilu 2024 sama sekali tidak disiapkan berkompetisi untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam arti, memaksakan kehadiran salah satu tokoh – yang dalam hal ini tentu saja Airlangga Hartarto – sebagai salah satu dari dua; Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden. Sedikit sekali kegiatan yang terkait upaya itu, antara lain pemasangan wajah Airlangga Hartarto dalam baliho atau papan reklame anggota legislatif Partai Golkar, terutama anggota DPR RI.

Tentu, apa yang dilakukan itu berbeda dengan apa yang diucapkan oleh petinggi-petinggi partai. Sebagai politisi, tentu paham perbedaan antara ‘PERNYATAAN’ dengan ‘KENYATAAN’. Dan bagi mereka yang medioker, sesuatu yang paling banyak dihadapkan kepada politisi adalah apa yang mereka nyatakan lewat ucapan, bukan apa kenyataan yang berjalan. Satu pernyataan saja, bisa berbalas lebih dari satu pernyataan kontra, dalam upaya mencari diferensiasi dalam politik. Padahal politisi yang menyampaikan pernyataan, sama sekali sudah berganti pernyataan yang tak berkaitan sama sekali, ketika menjalankan apa yang sudah menjadi bagian demi bagian dari kenyataan yang dibangun, dituju dan diraih.
“ ””” “
Kenyataan itulah yang kini terpampang di dalam rilis quick count yang disampaikan sejumlah lembaga yang kredibel. Bahwa Partai Golkar menjadi Runner Up dalam Pemilu Legisatif – nasional – 2024. Sejumlah pihak yang sedang mengambil amcang-ancang membuat ‘ledakan’ di dalam tubuh Partai Golkar dengan kalimat ‘Baru Pertama Kali Partai Golkar TERPURUK KE NOMOR TIGA’ tentu kecele. Ketiga-kalinya Partai Golkar tak mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden – 2014, 2019, dan 2024 – ternyata masih BERHASIL menyabet posisi Juara Dua.

Hasil pemilu 2019 memperlihatkan jarak yang jauh antara Partai Golkar dengan PDI Perjuangan, yakni 7% — dengan catatan raihan Partai Golkar 12%, berbanding 19% yang direngkuh PDI Perjuangan – maka hasil pemilu 2024 hanya menyisakan perbedaan sebesar 2% saja. Katakanlah hasil yang diperoleh PDI Perjuangan sebesar 17%, maka angka Partai Golkar adalah 15%! Partai Golkar berhasil memperpendek jarak. Jumlah pemilih Partai Golkar bertambah (sekitar 4,5 Juta) di atas jumlah pemilih PDI Perjuangan (sekitar 3 Juta) yang berkurang.

Atau di seputaran angka itu, mengingat belum 100% suara yang masuk dalam pengumuman quick count. Tentu, dibutuhkan analisis lebih dalam dan tajam, bagaimana hal itu bisa terjadi. Hasil yang berbeda dengan banyak jejak survei sejumlah lembaga kredibel.

Apalagi yang bisa dibaca dari kenyataan itu, sekalipun belum ada petinggi Partai Golkar yang memberikan pernyataan?

Partai Golkar – Inshaa Allah – berhasil menembus perolehan hasil yang sesuai dengan target utama, yakni 20% kursi DPR RI! Jadi, selain PDI Perjuangan – yang sendirian saja mencapai angka di atas 20% kursi DPR RI pada 2019–, sudah ada Partai Golkar yang juga meraih angka psikologis itu pada 2024.

Dengan keberhasilan itu, Partai Golkar dipastikan bisa mengajukan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI SENDIRIAN, tanpa perlu melakukan koalisi dengan partai politik lain. Fakta empiris ini – walau akan sangat tak masuk akal Partai Golkar melakukan pilihan jomblo itu tahun 2029 – yang melegakan adalah bukan Partai Golkar lagi yang aktif melakukan lobby, tetapi melainkan partai politik lain yang memerlukan koalisi dua atau lebih partai politik.

Partai Golkar bisa lebih fokus kepada agenda apapun, semisal pemenangan pemilihan kepala daerah yang digelar serentak akhir tahun 2024 ini. Per tanggal 15 Februri 2024 ini, sebetulnya, Partai Golkar sudah menghitung sebagai HARI PERTAMA Program Pemenangan Pilkada 2024. Sungguh, tak ada waktu istirahat.

Bahkan, partai politik yang dipimpin oleh Prabowo Subianto sendiri, Partai Gerindra, masih harus ‘harap-harap cemas’, andai mulai memilikirkan agenda yang masih sangat jauh ini, Pilpres 2029. Apakah Partai Gerindra akan mampu lagi membangun koalisi dengan Partai Golkar, atau malah dengan PDI Perjuangan, guna memastikan maju kembali ke dalam kontestasi politik setinggi level pemilihan presiden dan wakil presiden 2029?

Apalagi, Gibran Rakabumi Raka belum begitu jelas karier politiknya di dalam tubuh PDI Perjuangan. Sekalipun masih tetap menjadi kader PDI Perjuangan, masih terlalu dini untuk bicara betapa Gibran akan mendapat dukungan penuh PDI Perjuangan dalam pemilihan presiden 2029, atau sebaliknya. Kongres PDI Perjuangan bakal menjadi batu uji yang paling menggentarkan bagi Gibran, nyaris tanpa bantuan siapapun, terkecuali dirinya sendiri.

Namun, politik adalah seni dari segala sesuatu yang disebut kemungkinan. Politik berarti siasat dalam bahasa Arab. Jauh lebih nyaman menaruh kemungkinan demi kemungkinan itu dalam alur skenario yang disebut Plan A, Plan B, atau Plan C, dalam manajemen organisasi, ketimbang membuang ke dalam tong sampah. Sebab, jauh lebih sulit membayangkan betapa Gibran akan berhenti atau mengundurkan diri dari PDI Perjuangan, dan bergabung dengan partai lain, ketimbang bertahan di dalamnya.

Partai Golkar, sebagi contoh, memiliki aturan yang ketat dalam memposisikan sesorang sebagai simpatisan, anggota, kader, fungsionaris, pengurus, hingga petinggi partai. Kader Partai Golkar bisa dengan mudah diterima menjadi petinggi di tubuh partai lain, namun tak berarti Partai Golar bisa menggelar karpet kuning guna menerima kader partai lain menjadi pengurus inti, misalnya.

Yang jelas, keberhasilan Partai Golkar meraih kursi 20% dari jumlah total anggota DPR RI ini, bakal memperpanjang nafas dan usia politik Airlangga Hartarto sebagai tokoh sentral yang berhasil. Banyak yang mencibir Partai Golkar, manakala ‘mencalonkan anak kecil’ sebagai Wakil Presiden. Terkecuali bagi fungsionaris Partai Golkar, tetap bisa melihat betapa dengan cara itu, terdapat ruang dan peluang kampanye yang lebih variatif, ketimbang ‘memanggul’ sosok internal dalam seluruh materi kampanye.

Kegagalan total dari PSI yang sudah dipimpin Kaesang adalah beban di punggung seluruh Alat Peraga Kampanye: ‘PSI, Partainya Jokowi.’ Pemasangan foto Jokowi dan Kaesang dalam satu frame, bagi saya sudah bunyi sirine ‘bunuh diri massal’ partai yang materi dan narasi kampanyenya tahun 2019 sangat variatif itu. Kader-kader fungsionaris Partai Golkar beruntung, tak ‘dipaksa’ memanggul objek yang bisa berakibat positif, tetapi lebih banyak membawa dampak negatif itu.

Terkecuali DKI Jakarta yang menjadi pilot project dalam penerapan proses perekrutan anggota baru Partai Golkar secara konsisten, daerah-daerah lain cenderung ‘disuntik’ dengan kehadiran kader-kader yang sama sekali beragam, tak seragam. Metode yang dipakai Partai Golkar DKI Jakarta dalam menentukan daerah pemilihan para fungsionaris, seratus persen berdasarkan kemampuan para fungsionaris dalam mendapatkan anggota-anggota baru di dapil awal. Hampir seluruh partai besar di banyak negara punya anggota partai yang berjumlah puluhan juta.

Di luar DKI Jakarta yang ‘Perang Pengumpulan Kartu Tanda Anggota’ dengan biaya yang tentu sangat besar, terdapat perang antar bintang di bumi. Di masing-masing daerah pemilihan, tak satu bintang ditaruh, tetapi ada yang lain. Konduite dan masa pengabdian sama sekali tak menjadi faktor utama, ketika unsur sebagai calon legislatif dari kalangan muda, misalnya, terpenuhi. Kompetisi diatur dengan rapi, diawasi, juga dengan kesadaran etis yang tinggi antar fungsionaris.

Dan apakah ‘buah’ dari keberhasilan kepemimpinan Airlangga Hartarto ini bakal berujung kepada pengusungan namanya sebagai Calon Presiden – yang SUDAH PASTI adalah BUKAN Calon Wakil Presiden RI – pada tahun 2029 nanti? Kalau politik selinear itu, tak ada lagi yang menarik untuk diikuti. Bagi saya yang sudah enam belas tahun berada di garis depan dan belakang dalam tubuh Partai Golkar, berpikir selinear itu adalah awal dari penurunan gairah dan energi dalam tubuh partai. Tak semudah itu. Bersiap saja menerima kejutan lain. Yang lebih besar lagi, tentu!

Jakarta, 15 Februari 2024

 

INDRA JAYA PILIANG

Korps Armada Selatan (KORSA) Airlangga Hartarto

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular