Hari-hari ini lembaga penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sedang banjir sorotan. Perbincangan publik di dunia nyata dan jagat maya dipenuhi keraguan pada integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Itu keraguan yang wajar karena warga negara tentu sangat mengharapkan Pemilu 2024 bukan saja berjalan langsung, umum, bebas dan rahasia (luber). Namun, juga diharapkan Pemilu bisa berlangsung jujur dan adil (jurdil).
Sorotan bukan pada aspek luber, tapi pada aspek jurdil. Berangkat dari pertanyaan sederhana, mampukah KPU dan Bawaslu menggelar Pemilu yang jurdil? Masyarakat yang punya hak pilih, melek situasi dan sadar politik tentu layak bertanya seperti itu, karena mereka juga mencermati dinamika di lapangan sejak pendaftaran pasangan calon (paslon) capres ke KPU usai munculnya putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal batas usia.
Ketika KPU menerima putusan tersebut dengan alasan taat aturan perundangan, maka sebenarnya masyarakat pun mempertanyakan bagaimana dengan pelanggaran etik berat yang menyertai putusan MK itu? KPU menjawab bahwa putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tertuju pada penegakan kode etik hakim MK. Bukan pada substansi putusan yang final dan mengikat. A contrario, bisa diartikan, KPU tidak menjadikan putusan MKMK itu sebagai bahan pertimbangan menghentikan proses pendaftaran calon presiden (capres) manapun ke KPU.
Situasi kontroversial itu pun memantik kekurangpercayaan masyarakat terhadap independensi KPU dan Bawaslu. Makin jelas bagi masyarakat, bahwa KPU dan Bawaslu tak berkutik menghadapi keinginan rezim untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara ikut ‘cawe-cawe’ dalam menentukan paslon tertentu. Sejak usai pendaftaran paslon capres-cawapres ditutup KPU, sorotan tajam pada lembaga tersebut tak pernah sirna karena sebagian masyarakat beranggapan KPU sudah tak lagi punya kemandirian sikap. Cenderung dikendalikan rezim. Tanpa independensi, maka kerja-kerja KPU dan Bawaslu berikutnya pun kian tergerus integritasnya.
Integritas bukan soal remeh-temeh. Ini soal serius. Integritas punya kaitan antara perilaku individu dalam sebuah lembaga dengan wibawa lembaga terkait. Sehingga kadang-kadang kata ‘integritas’ digunakan secara sinonim dengan ‘moral’. Dan juga kadang-kadang dibedakan bertindak secara moral dari bertindak dengan integritas. Orang yang berintegritas sebenarnya bisa saja berperilaku tak bermoral. Orang seperti itu tak menyadari bahwa dirinya sedang bertindak tidak bermoral. Oleh karena itu, bisa saja terjadi seseorang mengaku punya integritas meskipun ia mungkin menganut pandangan moral yang keliru.
Filsuf Damian Cox, Marguerite La Caze dan Michael Levine, dalam beberapa karya mereka menyebut kata ‘integritas’ dipakai untuk kebajikan. Biasanya, mengacu pada kualitas karakter seseorang. Namun, ada kondisi lain dimana kata ‘integritas’ juga dipakai. Misal, integritas wilayah hutan belantara atau ekosistem, basis data terkomputerisasi, sistem pertahanan, karya seni, dan sebagainya. Maka, saat ditujukan pada obyek, integritas mengacu pada keutuhan, kemurnian suatu hal. Makna ini terkadang juga ditujukan pada perilaku manusia atau lembaga. Sebuah wilayah hutan belantara dianggap memiliki integritas ketika belum dirusak oleh pembangunan atau terdampak pembangunan. Ketika wilayah tersebut tetap utuh sebagai hutan belantara.
Ala kulli hal, keutuhan plus kemurnian Pemilu yang berintegritas hanya bisa dijaga melalui kejujuran dan keadilan. Dua kebajikan yang punya dampak sosial. Jika kemudian dalam prosesnya saja sudah dicemari dengan pelanggaran etika berat MK karena keinginan melanggengkan kekuasaan, maka integritas Pemilu menjadi tergerus dan begitulah kelak sejarah akan mencatatnya. (***)
ROSDIANSYAH
Peneliti Senior, Tinggal di Surabaya