Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanHari Ini Saya Diingatkan Kembali tentang Bung Karno

Hari Ini Saya Diingatkan Kembali tentang Bung Karno

foto: istimewa

 

Hari ini, Minggu, 8 Maret 2020, saya menyaksikan sebuah video yang diunggah Rusdhy Hoesein di facebook (FB)nya tentang Bung Karno. Itu terjadi di saat-saat jelang masa suramnya, di tahun 1963.

Video itu menggambarkan, bahwa Bung Karno di masa pemerintahannya, tidak hanya terpaku kepada pembangunan monumen-monumen, tetapi juga membuat jalan tol. Pada waktu itu sudah ada investasi asing yang cukup besar di bidang infrastruktur yaitu jalan raya Jakarta by pass, bantuan dari Amerika Serikat. Selama ini kalau kita berbicara tentang Presiden Soekarno selalu yang ditampilkan semboyannya “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.” Ternyata tidak juga demikian.

Waktu itu yang menjadi Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia adalah Howard P. Jones. Hal ini mengingatkan saya tentang buku yang saya tulis: “Butir-Butir Padi B.M. Diah Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman” (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992). Di awal halaman buku tertulis perkataan Duta Besar AS itu tentang B.M. Diah.

Saya waktu itu menyaksikan sendiri B.M. Diah menerjemahkan kalimat dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

“Kata pemuda berarti youth, namun sebagai biasanya dipakai pada waktu itu, ia berarti pemuda revolusioner, militan dan terorganisasi baik, yang menjadi penggunting segi-segi tajam gerakan revolusioner. Kelompok yang serupa itu -di antaranya terdiri dari Chairul Saleh, Adam Malik, Soekarni, B.M. Diah dan banyak yang lain, yang nama-namanya suatu hari akan membuat sejarah Indonesia adalah yang terkemuka- kemudian menjadi terkenal sebagai generasi 45- dan lebih satu dasa warsa melaksanakan pengaruh yang luar biasa).

Ucapan Howard P. Jones tersebut dari buku yang ditulisnya, berjudul: Indonesia, the Possible Dream,” diterbitkan dibawah pengawasan Yayasan Harvard, tahun 1971, halaman 96.

Kembali menyaksikan Bung Karno yang gagah itu, tidak masuk akal jika beberapa tahun kemudian, ia terkulai lemah di tempat tidur. Itu pun dalam tahanan rumah pemerintahan Presiden Soeharto.

“Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku  seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah sesuatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’

“Aku membaca setiap malam,” tambah Bung Karno.” Berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Ungkapan Bung Besar, Presiden RI Pertama Soekarno itu dicurahkannya kepada Cindy Adams dan selanjutnya dibukukan dengan judul:”Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.” Sekaligus pertanda betapa masalah politik di saat-saat itu menggerogoti jiwanya. Sepertinya Bung Karno tidak mampu menghadapi gelombang cacian dan makian dari bangsanya sendiri. Inilah awal senja kehidupan Bung Karno, berteman dengan sepi.

Menjelang kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden RI, Lembert J. Giebels, mantan anggota Majelis Rendah Parlemen Belanda, menulis dalam bukunya:”Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di sekitar Kejatuhan Bung Karno,” terjemahan dari judul aslinya “De Stille Genocide. De fatale gebeurtenissen rond de val de Indonesische President Soekarno.”

Lembert menulis,”Dikelilingi oleh diplomat, jurnalis dan anggota staf Istana, Soekarno berlaku seakan-akan ia masih tetap seorang kepala negara yang maha kuasa. Namun gambar-gambar televisi mengungkapkan bahwa Soekarno menyadari bahwa ia hanya memainkan peran sebagai Presiden. Pemirsa bisa melihat bagaimana Presiden secara demonstratif menandatangani surat-surat di pangkuan sekretarisnya, dengan gelisah menghela asap rokoknya yang telah ia cabut dari kantong baju salah seorang yang berdiri dalam lingkaran itu…Dengan sebuah gerakan tangan tidak sabar Presiden menyuruh pergi Menteri Luar Negeri Adam Malik, tanpa memandangnya. Sesudah itu ia menanggalkan baju seragamnya dan sambil di sana membetulkan lukisan yang miring dan meniup debu yang tidak ada dari bajunya, dengan baju kemeja dan bretel yang tergantung lepas, ia tampak menghilang dari layar televisi.”

Beban psychologis, itulah sebenarnya yang dialami Soekarno di saat-saat kejatuhannya. Dia berjalan sendiri tanpa ada orang-orang yang ikut membantunya.

Hari Minggu siang, tanggal 21 Juni 1970 tersiar berita Presiden Pertama RI, Ir.Soekarno meninggal dunia. Bambang Widjanarko melukiskan bahwa suasana waktu itu bagaikan mendengar guntur menggelegar di tengah siang hari yang terang, masyarakat sangat terkejut dibuatnya. Hening sejenak bagaikan arwah sendiri meninggalkan raga, tak terasa air mata mengalir pelan yang akhirnya menderas lebat membasahi muka. Tidak rasa malu karena menangis, tak sedikit pula yang sampai menjerit histeris… seluruh kegiatan sejenak terhenti, disusul dengan kasak kusuk pembicaraan di kantor, di rumah, di jalan, di toko, di pasar, di mana pun manusia Indonesia berada.

Bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpinnya yang menonjol, Ibu pertiwi telah kehilangan seorang puteranya.

Bung Karno meninggal karena kesehatannya semakin hari semakin menurun. Sejak awal 1965, penyakitnya sudah hampir menggerogoti tubuhnya. Hal ini terungkap dari pernyataan Amarzan Loebis, wartawan senior yang sangat aktif meliput peristiwa di lingkungan Istana waktu itu:

“Tetapi sesungguhnyalah, terutama sejak awal 1965, kesehatannya (Soekarno) tak lagi bagus. Pada awal September tahun itu, ketika saya menyertai serombongan penghadap yang ikut sarapan pagi di beranda Istana Negara, kami menyaksikan berbagai suntikan, pil, kapsul dan madu Arab bolak-balik disodorkan oleh tim kesehatan kepresidenan yang mendampingi Bung karno. Pada acara-acara malam pun, setelah acara resmi, Bung Karno lebih sering melepas sepatu dan tampaklah kakinya yang membengkak,” ujar Amarzan Loebis.

Inilah gambaran selintas saat-saat sepi Bung Karno. Majalah Tempo, “edisi 26 Oktober 2003, hal. 71 memberi perhatian besar terhadap Bung Karno: “…Kesunyian seorang Bung Karno. Perintahnya tak dituruti, pidatonya hanya menjadi kembang api; membuncah lalu hilang bersama malam. Hampir dua tahun suara Bung Karno nyaris tak terdengar. Ia seperti tokoh dalam novel Gabriel Garcia Marquez: lelaki yang melewati waktunya dalam 100 tahun kesendirian.”

Pandanganku lepas menatap ke arah taman rumah, mengenang. Membayangkan sketsa-sketsa sejarah itu. Imajinasi akan hari-hari terakhir Bung Besar….

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis dan Sejarawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular