Friday, March 29, 2024
HomeSains TeknologiKesehatanGuru Besar Unair: Stunting di Indonesia Disebabkan Tidak Sinkronnya Data Pusat dan...

Guru Besar Unair: Stunting di Indonesia Disebabkan Tidak Sinkronnya Data Pusat dan Daerah!

 

ilustrasi. (foto: Abbie Trayler-Smith/Panos Pictures)

 

SURABAYA – Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair) Prof. Dr. Sri Sumarmi, S.KM., M.Si. menyebut bahwa tantangan penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia salah satunya diakibatkan problematika regulasi dan data di tingkat daerah maupun pusat.

Prof. Mamik, sapaan akrabnya, menyebut bahwa ia bersama dosen maupun mahasiswa di FKM Unair telah sering bergerilya dalam upaya penanganan stunting di berbagai daerah. Dalam kegiatan lapangan tersebut, Prof. Mamik menemukan banyak perbedaan yang sangat kontras antara data stunting nasional dengan daerah.

“Ketika daerah membuat perencanaan, yang dibutuhkan tentu datanya harus tahunan. Sementara Riskesdas atau Riset Kesehatan Dasar hanya mengeluarkan data tiap lima tahun sekali,” jelas Prof Mamik dalam Seminar dan Forum Ilmiah Nasional Online bertajuk “Kajian Ilmiah untuk Konvergensi Intervensi Spesifik dan Sensitif untuk Menuju Indonesia Bebas Stunting“, hari ini, Senin (8/11/2021).

Menurut Prof Mamik, fakta tersebut mengganggu proses intervensi penanganan stunting yang membutuhkan data rutin, sementara data rutin dari pemerintah pusat jauh berbeda. Karenanya, Prof. Mamik menyarankan pemerintah daerah untuk memakai data rutin daerah. Namun dengan syarat, proses pengukuran dan analisis harus dilakukan dengan benar dan alat terstandar.

“Masalahnya, banyak daerah atau posyandu yang belum punya alat sesuai standar. Begitu pula dengan praktik pengukurannya yang masih seringkali tidak tepat,” imbuhnya.

Prof. Mamik juga mengkritisi perencanaan penanganan stunting di daerah yang kebanyakan copy paste dari perencanaan tahun sebelumnya.

“Kami pernah menemui itu dan diakui sendiri oleh kepala dinasnya. Mereka hanya tinggal mengganti tahun,” kisahnya.

Karena itu, Prof. Mamik menilai perguruan tinggi dapat hadir untuk membantu pencegahan stunting sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Dari segi pendidikan, Prof. Mamik mendorong perguruan tinggi untuk memperbanyak mata kuliah atau kegiatan yang membahas isu-isu stunting. FKM Unair misalnya memasukkan isu stunting dalam kurikulum melalui mata kuliah Program Gizi dan Evaluasi.

Selain itu, praktik kerja lapangan maupun kuliah kerja nyata juga banyak dilakukan mahasiswa FKM Unair dengan menerapkan ilmu-ilmu pengukuran anak stunting seperti metode antropometri sebagai bentuk pengabdian masyarakat.

“Dosen-dosen FKM Unair juga sering memberikan masukan dan pendampingan. Ada 11 kabupaten yang kita dampingi saat penyusunan regulasi pencegahan stunting. Kita juga memberi pendampingan posyandu bagi 18 kabupaten di Jawa Timur,” paparnya.

Dalam segi penelitian, menurut Prof Mamik, perguruan tinggi dapat berkontribusi pada intervensi spesifik dan intervensi sensitif melalui penelitian berupa riset implementasi.

“Ini artinya, riset dibuat dan ditujukan untuk implementasi nyata bagi masyarakat. Hasil riset itupun nantinya dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan regulasi penanganan stunting. Kita bisa memakai prinsip kolaborasi pentahelix untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia. Prinsip sinergitas ini menekankan kerja sama, komitmen, kepercayaan, serta budget sharing antar institusi,” pungkasnya.

(pkip/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular