Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan apresiasi tunjangan atau honororium atau gaji kepada para negarawan yang bergabung dalam BPIP ( Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), dengan jumlah yang besar berdasarkanPeraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP.
Para negarawan yang mendapatkan hak keuangan dan fasilitas dari negara tersebut adalah Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, KH. Said Aqil Siradj, KH. Ma’ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru, Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya.
Kenapa mereka ini disebut negarawan. Karena mereka mendapatkan tempat terhormat sebagai Ketua dan anggota Dewan Pengarah BPIP. Suatu Badan yang mendapatkan tugas dari Presiden, memberikan pemikiran-pemikiran yang jernih tentang memelihara, mengawal, dan mengamalkan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara. Disamping itu, mereka sudah selesai dengan urusan dan keentingan pribadi masing-masing. Maqomnya sudah tinggi. Tidsk lagi terlalu banyak terlibat persoalan-persoalan finansial dan materi kehidupan. Demikian juga kehidupan dan pemikiran mereka sudah bicara soal nilai-nillai ideologi Pancsila, dan bagaimana membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila.
Pada tataran dibawahnya, ada para kader-kader negarawan, yaitu Kepala BPIP Yudi Latief dan jajaran timnya. Figur Yudi Latif dengan pemikiran-pemikirannya sudah menunjuk arah dan obsesi untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara sebagai bentuk final dalam bangunan NKRI. Mereka ini adalah calon-calon negarawan nantinya, jika urusan dengan persoalan dan kepentingan pribadi selesai.
Presiden Jokowi yang menghargai para negarawan, diwujudkan dengan memberikan tunjangan keuangan dan fasilitas dengan menggunakan uang negara secara resmi melalui Perpes 42/2018. Dikutip dari setneg.go.id, Perpres yang diteken Jokowi pada 23 Mei 2018 Pjp. Dewan Pengarah BPIP sebesar Rp 112.548.000. Jabatan tersebut diemban oleh Megawati Soekarnoputri.
Sementara itu, untuk anggota Dewan Pengarah BPIP mendapat upah Rp 100.811.000. Ada delapan anggota BPIP. Mereka adalah Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma’ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya.
Sedangkan, Yudi Latif sebagai kepala BPIP digaji sebesar Rp 76.500.000 dan wakilnya mendapat Rp 63.750.000. Tingkat penerimaan Rp 51.000.000 dan staf khusus diberikan gaji Rp 36.500.000.
Terbitnya Perpres tersebut, merupakan suatu payung hukum yang menjamin bahwa kebijakan publik yang dilakukan Presiden Jokowi legal dan resmi. Sumber anggarannya jelas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari pos mana tentu hanya pihak Sekretariat Negara (Setneg) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengetahui. Yang rakyat pasti mengerti sumber APBN yang terbesar dari pajak rakyat Indonesia dan hutang luar negeri maupun dalam negeri.
Terkait soal ini, apa pendapat Sri Mulyani Indrawati (SMI) sang Menteri Keuangan (Menkeu). Dikutip dari Tempo.co, SMI mengatakan bahwa hak keuangan yang diterima para pengarah dan anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP sama dengan pejabat negara lainnya. “Hak keuangan sama dengan seluruh pejabat negara yaitu (gaji pokok) hanya Rp 5 juta. Disebut tunjangan jabatan itu Rp 13 juta,” kata Sri Mulyani di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, (28/5/2018).
SMI mengatakan, yang membedakan dengan pejabat negara lainnya ialah besaran tunjangan jabatannya. BPIP, kata SMI, menerima besaran tunjangan paling kecil, yaitu hanya Rp 13 juta. Sedangkan lembaga lain, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif besarannya berkisar hingga puluhan juta.
Menurut SMI, sejak BPIP dibentuk, gaji, tunjangan, dan operasional para pengarah dan anggotanya belum pernah dibayarkan. Padahal, kata SMI, mereka bekerja sudah hampir setahun.
Dari penjelasan Menkeu tersebut, dapat disimpulkan bahwa angka tunjangan yang ditetapkan dalam Perpres melampui jauh dari standar hak keuangan yang seharusnya diterima para negarawan tersebut.
Jika pihak Kemenkeu melihat ada yang tidak sinkron, dikhawatirkan memberikan dampak yang tidak baik bagi negarawan kita tersebut yaitu adanya tuntutan ganti rugi jika di audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) karena ada kelebihan bayar tunjangan yang diterima seharusnya.
Nikmat Yang Membawa Sengsara
Sudah banyak pihak berkomentar soal ini. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota DPR, politisi, dengan berbagai argumentasi yang sebenarnya tidak enak jika dibaca dan didengar oleh para tokoh negarawan yang telah sepuh tersebut. Tapi itulah buah demokrasi Pancasila yang kita sudah sepakati bersama. Sampai dimana ujungnya, saya menduga Presiden tidak atau sungkan untuk mencabut Perpres tersebut. Kuncinya ada di tangan para negarawan yang mendapatkan hak keuangan dan fasilitas tersebut. Jika mereka menolak. Persoalan selesai. Rakyat akan menghargai dan akan memberikan tempat terhormat di hati rakyatnya sebagai negarawan sejati. Tetapi apakah segampang itu. Ya disitulah barangkali kunci persoalan.
Kalau istilah sengsara membawa nikmat sudah lazim kita dengar dan menjadi judul novel. Tetapi nikmat yang membawa sengsara tentu sesuatu yang baru. Dalam siatuasi keuangan yang sulit sekarang ini, mendapatkan tunjangan yang begitu besar tentu sangat menggiurkan. Suatu kenikmatan yang diberikan pemerintah melalui tangan Presiden Jokowi kepada para tokoh negarawan kita tersebut.
Tetapi Presiden Jokowi dan atau tangan-tangan yang bekerja di belakang meja membuat draft Perpres tersebut, dana sebesar itu melampui standar keuangan yang disampaikan Menteri Keuangan (SMI), bisa menjadi blunder dan membawa “sengsara” bagi Bapak Presiden dan para tokoh negarawan penerima tunjangan.
Tekanan psikologis, opini-opini miring, bahkan ada lembaga masyarakat yang akan menggugatnya ke Mahkamah Agung, apalagi ditahun politik ini, sangat tidak menguntungkan bagi siapapun. Tidak ada artinya uang yang diterima tersebut, dibandingkan dengan ongkos politik, dan ongkos sosial yang ditimbulkannya.
Semoga Bapak Presiden Jokowi para tokoh negarawan, dapat mmeberikan sikap terbaik, untuk kepentingan bangsa dan negara. Mari kita bercermin negara tetangga kita Malaysia, saudara serumpun. Perdana Menteri Tun Mahathir Muhamad meneteskan air mata mendapatkan laporan dari Menteri Keuangannya saat mengetahui begitu besarnya hutang Malaysia yang ditinggalkan Najib. Dan berencana akan memotong sejumlah tertentu dari gaji para menterinya dan dukungan rakyatnya menyisihkan dari penghasilannnya untuk membayar hutang.
Cibubur, 29 Mei 2018
Dr. CHAZALI H. SITUMORANG
Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen Administrasi Negara FISIP Universitas Nasional (UNAS)