Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanFahri Hamzah dan Mei 1998 (Bag. III)

Fahri Hamzah dan Mei 1998 (Bag. III)

Sejak Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMU) didirikan, terdapat perubahan-perubahan bentuk atau model organisasi. Para pengurus SMUI selalu berusaha agar organisasi intra kampus yang diakui oleh pemerintah ini mendapatkan tempat di hati mahasiswa, bukan hanya dipandang sebagai lembaga yang elitis. Dari proses pemilihan yang semula hanya melibatkan elite-elite mahasiswa antar fakultas, hingga proses pemilihan yang menggunakan one man one vote, SMUI terus-menerus melakukan upaya perubahan. Tidak heran, kalau dinamika internal di kalangan mahasiswa UI kemudian juga masuk ke dalam tubuh SMUI, termasuk pergulatan ideologi.

Sepanjang ingatan saya, bentuk-bentuk keorganisasian SMUI adalah sebagai berikut, pertama, Ketua Umum SMUI yang dipilih oleh Ketua-Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) se-UI dan Ketua Harian SMUI yang dipilih oleh Ketua-Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Ketua-Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) se-UI. Model ini berlaku selama dua periode, yakni sejak 1992/1993 dan 1993/1994.

Kedua, Ketua Umum SMUI dan Ketua Harian SMUI dipilih secara langsung dalam Pemilihan Raya (Pemira) SMUI oleh seluruh mahasiswa UI (baik S1, S2 ataupun S3) sebagai pemilih. Model ini berlaku satu periode, yakni 1994/1995.

Ketiga, Ketua SMUI – tanpa Ketua Harian – yang dipilih secara langsung dalam Pemira SMUI oleh seluruh mahasiswa UI (baik S1, S2 atau S3) sebagai pemilih. Model ini berlaku satu periode, yakni 1995/1996.

Keempat, Ketua SMUI yang disertai oleh Senator dalam Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) UI dalam satu paket pencalonan (Calon Ketua SMUI disertai dengan Calon Senator BPM UI dalam nomor urut) yang dipilih secara langsung dalam Pemira SMUI oleh seluruh mahasiswa UI (baik S1, S2 atau S3) sebagai pemilih. Model ini berlaku satu periode, yakni 1996/1997.

Kelima, Ketua SMUI tanpa disertai oleh Senator untuk BPM UI yang dipilih secara langsung dalam Pemira SMUI oleh seluruh mahasiswa UI (baik S1, S2 atau S3) sebagai pemilih. Model ini berlaku satu periode, yakni 1997/1998.

Mudah-mudahan ada masukan dari kawan-kawan lain, setelah tulisan ini saya publikasikan, sebagaimana terjadi selama ini untuk masalah-masalah yang mengandalkan ingatan dan catatan harian yang subjektif. Apakah mahasiswa Diploma 3 diberikan hak pilih, sebagaimana dengan proses pemilihan di SM FSUI? Itu antara lain yang saya lupa. Begitu juga menyangkut status ex-officio atas ketua-ketua komisi (departemen) di dalam tubuh SMUI yang mengalami perubahan, antara lain Komisi Penalaran dari UKM KSM UI Eka Prasetya atau Komisi Penerbitan dari UKM Suara Mahasiswa UI. Soal perubahan bentuk organisasi kemahasiswaan di UI sendiri –sejak era 1970an — sudah saya tulis panjang lebar dalam Jurnal Reformasi Edisi II, Juli 1998.

Dalam masing-masing periode, terdapat nama Ketua Umum, Ketua Harian, Ketua SMUI dan atau Senator Mahasiswa UI sebagai berikut:

1. 1992/1993 : Ketua Umum SMUI dijabat oleh Firdaus Artony (Fak Kedokteran UI) dan Ketua Harian SMUI dijabat oleh Chandra M Hamzah (Fak Hukum UI).

2. 1993/1994 : Ketua Umum SMUI dijabat oleh Hadi Juwanda (Fak Kedokteran UI) dan Ketua Harian SMUI dijabat oleh Bagus Hendraning (FISIP UI).

3. 1994/1995 : Ketua Umum SMUI dijabat oleh Eman Sulaeman Nasim (FISIP UI) dan Ketua Harian SMUI dijabat oleh Zulkieflimansyah (FEUI).

4. 1995/1996 : Ketua SMUI dijabat oleh Komaruddin (FISIP UI).

5. 1996/1997 : Ketua SMUI dijabat oleh Selamat Nurdin (FISIP UI) dan Senator BPM UI antara lain Fahri Hamzah (FEUI), Indra J Piliang (FSUI) dan Kun Nurachadijat (FEUI).

6. 1997/1998 : Ketua SMUI dijabat oleh Rama Pratama (FEUI).

***

Yang jelas, selama Selamat Nurdin menjadi Ketua SMUI, kedudukan Fahri Hamzah sangat kuat. Bagaimanapun, Fahri adalah Campaign Manager (CM) dari Selamat Nurdin. Bukan saja Fahri muncul sebagai Senator Mahasiswa UI – bersama saya dan Kun –, tetapi juga dibantu oleh perannya sebagai aktor berpengaruh dalam kepengurusan Zulkiefliemansyah (94/95) dan Komaruddin (95/96). Artinya, Fahri menjadi sosok penting dalam tiga rezim SMUI. Peranan Fahri dalam masing-masing kepengurusan juga vital, berbeda dengan saya yang hanya menjadi pemain figuran dalam rezim Chandra M Hamzah (92/93), Bagus Hendraning (93/94) dan Zulkieflimansyah (94/95). Dalam era Komaruddin, saya lebih banyak memainkan peran oposisi, antara lain dengan “membesarkan” UKM KSM UI Eka Prasetya dan UKM Suara Mahasiswa UI.

Sekalipun menjadi Senator BPM UI yang mewakili suara pemilih Busept dalam Pemira SMUI 1996/1997, saya sama sekali jarang aktif. Tugas akademis sudah menanti, yakni menyelesaikan skripsi saya dengan judul: “Koreksi Demi Koreksi: Pergerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Malari Hingga Penolakan NKK/BKK (1974-1980)”. Belum lagi saya perlu cuti satu semester untuk menyembuhkan penyakit paru-paru basah (bronkitis) yang saya derita. Agar penyakit bronkitis itu benar-benar sembuh, saya pulang kampung selama tiga bulan untuk berobat tradisional pada Tuanku Alim. Saya juga mengambil cuti akademik untuk menunggu sahabat saya Agung Pribadi yang takut ditinggal sendirian menempuh masa akhir kuliahnya.

Jadi, saya jarang menghadiri acara-acara kemahasiswaan. Peran saya lebih banyak di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) yang saya dirikan dan sebagai Sekretaris Jenderal Pertama Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) periode 1995-1997. Saya dipilih sebagai Sekjen IKAHIMSI dalam Musyawarah Nasional (Munas) Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (Forkomasa) di Universitas Riau pada tahun 1995. Aktivitas akademis sebagai Sekjen IKAHIMSI inilah yang saya jalankan, termasuk menghadiri sejumlah pertemuan antara Ikatan Organisasi Mahasiswa Sejenis (IOMS) yang mendapatkan pengakuan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud. Saya juga mulai menulis di tabloid dan koran, selain dalam pers kampus seperti Koran Warta UI dan Majalah Suara Mahasiswa UI. Kebetulan, saya dipercaya Rektorat UI sebagai sebagai Redaktur Pelaksana SKK Warta UI.

Masalahnya, Selamat Nurdin kurang berhasil dalam memadukan seluruh kekuatan mahasiswa UI. “Perang ideologis” dalam Pemira SMUI 1996 telanjur menjadi tiga kekuatan yang terpisah. Senator BPM UI yang menjadi representasi dari kandidat-kandidat yang bersaing juga tak memiliki rujukan sebagai Legislator Mahasiswa UI. Kewenangan yang dimiliki BPM UI tidak begitu jelas. Justru peranan Ketua-Ketua SMF dan Ketua-Ketua BPMF kembali menguat. Sejumlah agenda penting mahasiswa UI digulirkan oleh SMF dan BPMF ini, dengan komandan Tirta Mursitama (FISIP UI) dan Yaswin Iben Sina (FSUI). Lambat laun, kelompok ini semakin mengental pada saat krisis nilai tukar mata uang melanda, yakni sejak Juli 1997. Itu sebulan sebelum saya menamatkan studi dengan gelar Sarjana Sastra pada Agustus 1997.

***

Sekalipun secara politik kampus saya sudah bukan lagi bagian dari ikhwan fillah – lalu menyebut diri sebagai ikhwan khilaf, terutama karena saya sudah terang-terangan punya seorang kekasih – saya tetap membangun komunikasi dengan Zulkieflimansyah, Mustafa Kamal, Fahri Hamzah dan ikhwan-ikhwan lainnya. Sebagai Redaktur Pelaksana SKK Warta UI, saya punya kesempatan untuk mengambil jarak dari seluruh persoalan politik kemahasiswaan dan masuk kepada bingkai akademis antar jurusan dan antar fakultas. Saya berkesempatan mewawancarai sejumlah dekan fakultas dan tokoh-tokoh kampus lainnya, guna diterbitkan dalam SKK Warta UI.

Seingat saya, sejumlah kawan juga pernah menempuh jalan yang saya lakukan, seperti Eman Sulaeman Nasim (Konsultan Senior Media dan Public Relation), Heru Sutadi (Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute), bahkan Fahri Hamzah sendiri yang pernah menjadi jurnalis SKK Warta UI. Pada masa Fahri Hamzah, SKK Warta UI sempat dibekukan oleh Rektorat UI, sebelum kemudian hidup kembali setelah saya diberi kepercayaan. Sebagai Redaktur Pelaksana SKK Warta UI, saya berkantor di Lantai 7 Rektorat UI dan benar-benar menjadi “Anak Rektorat”. Artinya, karier saya lebih tinggi dari Fahri Hamzah khusus sebagai penulis dan jurnalis di SKK Warta UI.

Krisis ekonomi yang menyertai wisuda saya, membuat urusan kampus tak lagi menjadi perhatian utama. Yang saya lakukan adalah melamar pekerjaan, terutama sebagai wartawan. Ternyata, dari sekitar 19 surat lamaran yang saya buat, tak satupun yang diterima. Jangankan menerima reporter-reporter baru, surat-surat kabar malahan merumahkan karyawan-karyawannya.

Untunglah, saya masih memiliki sejumlah pekerjaan dari keahlian saya di bidang dokumentasi, wawancara dan penulisan. Walau begitu, saya masih indekos di sekitar kampus, yakni di Jalan Margonda Raya. Interaksi dengan para aktivis mahasiswa UI terus terjalin selama masa itu.

Krisis ekonomi ternyata makin mempercepat radikalisasi gerakan mahasiswa, terutama di daerah. Sejumlah kampus bergolak, termasuk dengan korban yang mulai jatuh. Kelompok yang semula mengkritisi SMUI, kemudian berhimpun dalam Keluarga Besar (KB) UI. Semula, gerakan ini dimulai dengan agenda-agenda pertemuan antara Ketua-Ketua SMF, Ketua-Ketua BPMF dan Ketua-Ketua UKM yang ada di UI. Saya ingat betul kejadiannya, yakni dalam konferensi pers yang diadakan di Pusgiwa UI. Juru bicara yang ditunjuk adalah Ketua SM FISIP UI, Tirta Mursitama. Wartawan-wartawan yang meliput juga mahasiswa-mahasiswa UI tingkat akhir yang masih berkeliaran di kampus.

“Apakah dengan pernyataan itu dapat diartikan bahwa forum ini meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri?” tanya Achmad Noerhoeri, kawan saya sebagai sesama pengurus majalah Suara Mahasiswa UI yang waktu itu sudah bekerja di the Jakarta Post.

“Sepertinya begitu,” jawab Tirta sambil memandang ragu ke kawan-kawannya yang lain.

Saya tertawa menyaksikan adegan itu. Achmad Noerhoeri adalah jurnalis jempolan. Bersama Noerhoeri, Budi Arie Setiadi dan Ihsan Abdussalam, saya pernah memawancarai Hendro Priyono yang waktu itu menjadi Panglima Kodam V Jaya DKI Jakarta di markasnya, sekitar tahun 1994. Achmad juga mewawancarai Megawati Soekarnoputri dan tokoh-tokoh lain yang masuk sampul majalah Suara Mahasiswa UI.

Keesokan harinya, pernyataan para pimpinan mahasiswa se-UI itu muncul di the Jakarta Post. Dan setelah itu, KB UI dikukuhkan dengan aksi-aksi demonstrasi di UI Salemba dan UI Depok. Beragam tokoh hadir dalam aksi, baik mahasiswa, dosen ataupun guru besar. Di luar itu, pihak kampus sendiri mengadakan semacam seminar yang menampung pemikiran-pemikiran dari civitas akademika UI guna disumbangkan kepada pemerintah. Saya hadir dalam seminar-seminar itu, termasuk menjadi pembicara bersama mantan-mantan aktivis mahasiswa lain atau aktivis mahasiswa yang masih menjabat.

Semula, saya tak ingin ikut-ikutan. Hanya saja, setelah terjadi bentrokan antara KBUI dengan tentara di depan kampus Universitas Gunadarma, saya didatangi oleh Yunadi Ramlan dan JJ Rizal, dua orang yunior saya di Jurusan Ilmu Sejarah FSUI. Mereka menceritakan betapa aksi-aksi mahasiswa bisa semakin radikal dan brutal yang ujung-ujungnya bisa mengorbankan mahasiswa UI. Sebelumnya, Rachmat Yananda (Sastra Indonesia FSUI) — yang saya kenal pertama kali pada aksi malam hari di depan Gedung MPR DPR pada tahun 1994 dalam menolak pembreidelan Majalah Tempo, Majalah Editor dan Tabloid Detik – juga meminta saya bergabung dengan KBUI. Saya akhirnya memutuskan untuk bergabung, terutama dengan tugas membuat jurnal dan tabloid khusus yang diedarkan kepada kalangan mahasiswa, yakni Jurnal Reformasi dan Tabloid Moment.

Dalam kesempatan sholat Jumat di Mesjid UI, saya bersama Luthfi Ihsana Nur berinisiatif menemui Rama Pratama, Ketua SMUI. Saya juga berbicara dengan Mustafa Kamal dan Fahri Hamzah.

“Kalau SMUI tidak turun dalam aksi mahasiswa sekarang, maka kalangan ikhwan sama sekali tak akan mencatatkan diri dalam sejarah perubahan bangsa ini,” ujar saya.

Rama – bagaimanapun – adalah Campaign Manager saya di FEUI dalam Pemira SMUI 1995. Elemen-elemen konservatif dalam kelompok tarbiyah memang tak menghendaki SMUI untuk ikut turun ke jalanan. Setahu saya, terdapat dua pendapat dalam kelompok tarbiyah, yakni kelompok yang merestui SMUI ikut turun ke jalan dan kelompok yang sama sekali melarangnya. Saya menduga, kelompok konservatif atau status quo dalam tubuh ikhwan itu terhubung dengan Wakil Presiden BJ Habibie yang notabene adalah Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Mereka lebih mapan, baik secara ekonomi, maupun politik. Sementara yang ingin bergabung dengan gerakan mahasiswa adalah kalangan ikwan yang lebih muda. Apapun itu, saya yang merasa (pernah) menjadi bagian dari mereka tentu tak sampai hati, jika gerakan ikhwan kampus ini tak mengambil bagian dalam (cikal bakal) sejarah besar negeri ini.

Sejak saya kalah dalam Pemira SMUI 1995, Rama “dipaksa” mengaji lagi di Mesjid Arief Rachman Hakim (ARH) Kompleks UI Salemba. Syukurlah, upaya Rama untuk “membersihkan diri” itu berhasil baik, yakni tak dianggap sebagai bagian dari Afdeling B. Saya sendiri pernah diminta oleh Zulkieflimansyah untuk “kembali masuk barisan” dengan Zul langsung yang menjadi mentor, namun saya menolak halus dengan alasan banyak kegiatan dan organisasi. Hampir sama dengan Pemira SMUI 1995, tetapi dengan warna yang sama-sama kental tanpa ada pengaruh dari Afdeling B, terjadi all ikhwan final dalam Pemira SMUI 1997. Rama Pratama dihadapi oleh Fitra Arsil (FHUI). Fitra adalah vokalis generasi baru dibawah Zul dan Fahri yang bergabung dengan kepengurusan Komaruddin dan Selamat Nurdin. Firta dianggap lebih tebal garis tarbiyahnya, dibandingkan dengan Rama yang saya kenal betul kepribadiannya dan kisah-kisahnya selama di SMA 8 Jakarta yang dihuni anak-anak pintar kelas menengah atas itu. Rama menang. Saya sendiri mendorong junior-junior saya untuk memilih Rama, dengan menyebut yang bertarung bukan Ikhwan versus Ikhwan, melainkan Minang vs Minang. Kebetulan, Rama dan Fitra adalah sesama anak Minang.

***

Kemana perginya Fahri, pada saat aktivis intra kampus UI sedang bergolak itu? Apakah ia masuk kelompok konservatif yang tak ingin SMUI turun ke jalan? Ataukah sebaliknya? Ternyata Fahri melakukan semacam pengembaraan antar kampus, yakni melakukan konsolidasi di kalangan Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Pada saat awal kepengurusan Zulkieflimansyah, saya sempat mengambil peranan itu, tapi hanya terbatas di lingkungan kampus Jakarta. Namun, saya keburu bosan menjalankan peran itu, sehingga lebih banyak bermain di lingkungan kampus. Bagi saya, jauh lebih baik berinteraksi dan mengeksplorasi beragam kelompok kemahasiswaan di UI, ketimbang membangun satu jaringan ideologi antar kampus.

Entah bagaimana ceritanya, LDK bersepakat untuk melahirkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dengan Fahri Hamzah sebagai Ketua Umumnya yang pertama. Reaksi saya betul-betul keras atas kelahiran KAMMI ini. Dalam sesi “Pergerakan Mahasiswa Kontemporer” yang diadakan oleh Panitia Latihan Kader (LK) I HMI Cabang Depok di Cibubur, saya dipanel dengan Mustafa Kamal. Terjadi debat sengit antara saya dengan Kamal menyangkut keberadaan KAMMI. Saya membandingkan KAMMI dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang lahir dari Angkatan 1966. Bagi saya, KAMI adalah kelompok elit yang sama sekali tak berakar dalam gerakan mahasiswa 1966, hanya semata-mata sebagai stepping stone (batu loncatan) bagi elite mahasiswa untuk masuk jalur kekuasaan pascamahasiswa. Padahal yang bergerak bukanlah elite-elite itu, melainkan mahasiswa yang sama sekali tak memiliki gairah politik praktis, hanya ghirah sebagai kaum muslim untuk agama dan bangsanya.

“Siapa yang berani menyenggol jilbab akhwat-akhwat yang turun ke jalanan? Mereka yang bakal berada di depan, berhadapan dengan aparat, sebagaimana juga mereka yang selama ini paling banyak begadang dan bekerja selama acara liqo di manapun. Satu saja jilbab itu jatuh tersentuh aparat, bakalan ummat Islam di luar mahasiswa akan tersulut emosinya untuk ikut dalam barisan,” ucap saya berapi-api.

Kamal kelimpungan menjawab atau membantah argumen-argumen saya. Saya juga tidak sempat berjumpa dengan Fahri Hamzah, sehingga apa yang saya sampaikan barangkali tak sampai utuh ke telinganya. Yang jelas, saya mendengar bahwa “Darah Indra halal ditumpahkan” sehubungan dengan sikap saya terhadap kehadiran KAMMI. Fahri memang berhasil menggalang lautan akhwat untuk memasuki area aksi di luar pagar kampus, berbalikan dengan SMUI yang hanya berani bergerak dari satu fakultas ke fakultas yang lain setelah KBUI terlibat bentrok dengan aparat. Guna menjelaskan lagi apa yang saya pikirkan, saya menulis dalam Jurnal Reformasi seputar “Reformasi dan Gerakan Mahasiswa 1998” itu. Beberapa kawan lain juga menulis, seperti Andi Rachman (Sosiologi FISIP UI), JJ Rizal (FSUI), Dendi Ramdani (FEUI), Zuliansyah Putra (FISIP UI) dan Padang Wicaksono (FEUI). Kebetulan mereka yang menggawangi Jurnal Reformasi dan Tabloid Moment adalah penghuni kost-kostan Graha 2000 di Gang Kober.

Terlepas dari perdebatan demi perdebatan atau “klaim demi klaim” antar komponen gerakan mahasiswa kampus UI itu, saya dan Fahri tetap menjadi satu shaf ketika sholat berjamaah di Mesjid ARH Salemba. Sekeras apapun perdebatan di atas meja diskusi atau dalam bentuk tulisan, kami pastilah bertukar canda ketika bertemu muka. Tak ada sama sekali mimik marah atau benci, apalagi sampai tak bertegur sapa. Dan saya memanfaatkan setiap momen pertemuan itu untuk berdialog seperlunya dengan Fahri, lalu menulis kutipannya di dalam catatan harian saya. Salah satunya, terkait dengan kedatangan Presiden Soeharto dari Kairo, Mesir. Fahri mengatakan bahwa telah terjadi tembak-menembak di Lapangan Halim Perdana Kusuma antara pasukan Prabowo Subianto dengan pasukan Wiranto. Persis, setelah Fahri mengatakan itu, saya bersama rombongan (Rahmat Yananda, Fahri Alamudi, Qodir, Dendi Ramdani, Padang Wicaksono dan lain-lain) berselisih jalan dengan rombongan Paspampres yang sedang mengawal Wapres BJ Habibie balik dari Jalan Cendana menuju Patra Kuningan.

“Anjiiiing!” begitu teriak Qodir ketika mendengar bunyi nguing-nguing, persis di atas Jembatan 66 setelah lampu merah Jalan Imam Bonjol. Sementara, bekas-bekas puing akibat kerusuhan 13 – 14 Mei 1998 terlihat di kiri-kanan. Qodir menduga, sirine itu hanya bunyi dari orang-orang kaya yang sedang dikawal menuju rumahnya.

Pas terlihat ada rombongan di belakang kami, Dito Sang Pengemudi Gagah segera tancap gas sekencang-kencangnya. Kami yang di dalam mobil kecut juga hatinya, salah-salah bisa diberondong, apalagi kondisi Jakarta berada dalam level Siaga 1. Jam malam juga masih berlaku. Hanya karena perut lapar, kami memutuskan untuk keluar dari kampus UI Salemba malam itu dan berangkat ke Jalan Margonda Raya, Depok, dengan mengambil jalan protokol.

Dan hingga Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden RI, digantikan oleh Presiden BJ Habibie, saya dan Fahri sudah memiliki shaf sendiri-sendiri dalam arus pergerakan mahasiswa dan pascamahasiswa itu. Hanya sekali atau dua kali saya ikut berbaur dengan kelompok besar yang di dalamnya ada Fahri, Mustafa Kamal dan lain-lain, termasuk dalam pendudukan Gedung MPR DPR RI. Sayang, saya tidak ada di Gedung MPR DPR ketika rombongan Ahmad Sumargono, Toto Tasmara dan Fadli Zon memasuki gedung itu dengan membawa bandana “Reformasi Konstitusional” pada 22 Mei 1998, termasuk membersihkan sisa-sisa kelompok mahasiswa yang masih betah di sana. Saya sudah berada di depan layar televisi, sibuk memikirkan pekerjaan apa yang hendak saya masuki, setelah tugas agent of intellectual changes saya jalankan.

(Selesai)

 

INDRA J PILIANG
Ketua Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute

RELATED ARTICLES

Most Popular