Jakarta, – Di Tawau Sabah Malaysia Dr. Rahman Sabon Nama merekam ekspresi gugatan kalangan diaspora Indonesia di negeri jiran itu tentang Hari Lahir Pancasila 18 Agustus 1945 diubah menjadi 1 Juni 1945.
Dr. Rahman, Ketua Umum Partai Daulat Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN)—Papol non kontestan Pemilu 2024—melawat ke negara bagian Malaysia itu, Sabah, pada 1-3 Juni 2024 pekan lalu.
Kunjungannya tepat pada 1 Juni rupanya menjadi momen yang berkesan bagi alumnus Lemhanas RI ini. Dia tiba-tiba disambangi sekelompok diaspora Indonesia. “Di luar dugaan, mereka datang bersilaturahmi ke hotel saya menginap,” kata Rahman pada media ini, Selasa (11/6/2024).
Dia mengatakan, diantara diaspora Indonesia itu, ada yang berprofesi guru agama dan umum, pendakwah atau da’i, dan ragam profesi lainnya, termasuk pekerja di industri jasa serta industri lain semisal agroindustri di Sabah Malaysia.
Dalam perbincangan, mereka singgung soal politik, ekonomi, pendidikan dan lainya yang berkembang di Tanah Air. Soal utang luar negeri, pajak, rupiah yang terjungkal terhadap dollar AS, pun mereka tanyakan.
“Tapi yang mereka highlight, justru soal perubahan Hari Lahir Pancasila dari tanggal 18 Agustus menjadi 1 Juni 1945,” tegasnya.
Menurut pandangan dan pemikiran mereka, tutur Rahman, mengubah hari lahir Pancasila yang dalam jejak sejarahnya adalah pada 18 Agustus 1945 merupakan pembelokan sejarah yang substantif, bahkan esensial.
Selain ahistoris, menurut mereka, juga menujungkir balikkan tatanan rumusan Pancasila maupun urut-urutannya yang disepakati kelahirannya jatuh pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa .
“Tak pelak mereka pun merangsek menanyakan saya dengan klaim, saya selaku pimpinan sebuah partai politik (PDKN), yang kandungan fatsun politiknya mengusung aspirasi dan harkat politik Raja dan Sultan Kerajaan Nusantara,” kata Rahman, Buyut- Wareng V Adipati Kapitan Lingga Ratuloli ini.
Rahman pun mengatakan bahwa dirinya menyahuti pertanyaan diaspora Indonesia itu dengan mention awal bahwa rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 dan yang disepakati pendiri bangsa kala itu sebagai hari kelahiranya adalah final. “Haram” kalau diotak-atik, direkayasa, ditukang-tukangi, menjadi tanggal 1 Juni 1945.
“Sebab, makna hakiki Pancasila rumusan 18 Agustus 1945 sebagai falsafah bangsa dan negara yang kita sepakati dan anut akan berubah dan melenceng jauh secara substantif, kata saya kepada teman-teman perantau antarnegara itu (diaspora, red.),” jelas Rahman.
Rahman juga coba mengembalikan ingatan teman-teman itu pada sejarah. Bahwa, pada 18 Agustus, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Pancasila dan UUD 1945 disahkan, dibentuklah pemerintahan yang bersifat presidensial sesuai UUD 1945.
Bung Karno dan Bung Hatta beserta tokoh-tokoh Islam anggota PPKI, di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku M. Hassan dan KH Wahid Hasyim pada 18 Agustus 1945 sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI itulah, disepakati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Kesepakatan itu dengan menghapus tujuh kata pada rumusan Pancasila-Piagam Jakarta pada sila pertama yaitu: Ketuhanan “dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” diganti menjadi: Ketuhanan “Yang Maha Esa”.
Para tokoh pendiri bangsa itu, jelas Rahman, telah berpikir jauh ke depan dalam kerangka kesatuan dan persatuan bangsa serta keharmonisan dalam kemajemukan kehidupan berbangsa bermasyarakat dan bernegara yang diwariskan pada bangsa ini harus dilestarikan bukan dikhianati dengan mengubah seenaknya historikal kelahiran Pancasila.
Sampai di sini, mereka tanya: Presiden Jokowi bertanggung jawab dalam perubahan itu dong? Saya sahut, ya tentu! Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres Nomor 2 Tahun 2016 tentang perubahan itu menjadi 1 Juni 1945. Suatu keputusan kepala negara dan kepala pemerintahan yang antitesis tentang sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Rahman, sirkus politik yang diperan dan dimainkan Presiden Jokowi terkait perubahan Hari Lahir Pancasila merupakan penyimpangan, pemutar-balikan fakta sejarah, bahkan konstitusi negara manakala dikaji mendalam.
“Juga melecehkan kesepakatan nasional para founding father negeri ini sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD’1945 asli,” kata Rahman.
Lebih jauh dia mengatakan, perubahan hari kelahiran falsafah bangsa yang sesuka hati oleh Jokowi, membuat kabur makna dan ruh Pancasila yang urutan pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu “ditendang” ke urutan buntut dengan “Ketuhanan Yang Berbudaya” dalam rumusan 1 Juni 1945. CV
“Ini menerjemahkan telah terjadi penyusupan isme atau paham idiologi lain yang sungguh-sungguh membayakan keutuhan bangsa dan negara kesatuan Republik (NKRI). Ini krusial, bahaya, harus dihentikan,” pungkas analis politik ini sembari mengingatkan bahwa pemberontakan sadisme G30 S/PKI 1965 yang ingin mengubah Pancasila harus jadi pelajaran tak terulang.
(rils/rafel)