Saturday, May 11, 2024
HomeGagasanDebat dan Demokrasi Kita

Debat dan Demokrasi Kita

 

Terdapat kekeliruan pemahaman tentang penilaian akhir atas debat, terutama debat politik. Kekeliruan yang membuat debat menghebat justru setelah para pendukung saling memberikan penilaian. Pendapat umum yang terbentuk adalah kalah dan menang dalam debat sangat tergantung kepada kemampuan peserta debat untuk “menjatuhkan” lawan debatnya, baik dalam penyajian data, fakta ataupun logika retorika yang dimainkan. Semakin terpojok pihak lawan, semakin berhasil peserta debat yang didukung. Segala macam analisa, carut-marut, hingga pendapat diungkap, terutama dalam melihat kelemahan lawan. Satu kesalahan kecil bakal digaungkan kembali, guna membangun asumsi tentang tolol atau bodohnya lawan.

Padahal debat bukan seperti itu. Debat berbeda dengan panggung para pengacara di arena pengadilan, dalam membela terdakwa. Debat sama sekali bukan arena gulat atau sumo, yakni teknik menjatuhkan atau menjauhkan lawan dari garis pertarungan. Apalagi debat tak sebangun dengan ajang adu tinju, dalam arti saling jual beli pukulan guna mendapatkan angka.

Jadi, apa yang benar?

Dalam pemahaman saya sebagai orang yang sering berdebat sejak masa sekolah, apalagi tidur di surau waktu kecil hingga remaja, serta terlibat dalam gelanggang ota di lapau-lapau kampung halaman, debat justru bukan unjuk kecerdasan atau pengetahuan. Penilaian tertinggi terhadap pemenang debat adalah kemampuan untuk mempertahankan argumen, sesuai dengan tema atau topik yang diperdebatkan. Semakin orang itu kuat, gigih dan trengginas dalam mempertahankan argumennya, posisinya, pilihannya, sampai kepercayaannya, semakin ia dekat dengan sabuk juara debat.

Bagi yang terbiasa berdebat, apalagi dalam lembaga akademis seperti kampus, tentu paham apa yang saya maksud. Biasanya, dewan juri memberikan soal yang justru tak dikuasai oleh peserta debat. Misalnya, seseorang yang dikenal alim atau relegius, bakal diminta untuk mengajukan pendapat tentang kebenaran ateisme. Pun sebaliknya, bagi yang ateis, dipersilakan mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki guna membuktikan keberadaan Allah SWT.

Nah, ketika perdebatan terjadi antara dua orang atau dua pasang peserta, mau tidak mau, terjadi saling menyimak. Seorang pendebat bukan hanya memiliki kemampuan untuk melihat kelemahan argumen lawan, tetapi justru dengan mentalitas sebagai pembelajar. Seorang pendebat jangankan memiliki nafsu untuk menjatuhkan lawan, malahan bagaimana agar seluruh pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan talenta lawan dikeluarkan dalam posisi terbaik. Seorang pendebat memiliki empati yang jauh menembus psike atau ruang batin lawan.

Kenapa?

Pendebat yang juara adalah seseorang yang mampu menggunakan cara berpikir lawan, cara bertindak lawan, bahkan cara melamun lawan, lalu pada satu titik membuat lawan menjadi paham tentang kesalahan dirinya sendiri. Seorang pendebat lebih mirip Butet Kartaredjasa dalam menirukan cengkok seorang tokoh, sekaligus mengeluarkan kalimat-kalimat baru daru mulutnya yang belum pernah dikatakan sang tokoh, lalu orang yang mendengar percaya bahwa seperti itulah sang tokoh tersebut.

Empati tentu jauh lebih menembus alam pikiran lawan, ketimbang hanya simpati. Semakin seseorang menempatkan diri sebagai murid yang sedang berguru kepada lawan, semakin cepat ia menangkap inkonsistensi yang dimiliki lawan. Debat adalah sejenis permainan pikiran, dimana orang saling memberi, saling mengasihi, dan saling melengkapi. Pada satu titik perdebatan, bisa saja terjadi konvergensi yang justru memperkuat pribadi masing-masing.

Apabila perdebatan seperti ini yang dilakukan, siapapun tak bakal takut dengan pem-bully-an atau perundungan di dalam media sosial. Begitu juga tweetwar di media twitter. Semakin banyak jenis pendebat seperti ini, bakan mempercepat bangsa ini dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Dalam berdebat, mereka bakal saling memberikan senjata kepada lawan. Ketika lawan kesulitan memanjat sebuah ranting pohon logika yang licin, pendebat di seberang bakal memberikan paku-paku tempat tangan dan kaki pikiran bisa menggapai. Seorang pendebat yang baik tidak bakal berteriak “huuuuu” guna menjatuhkan mental lawan. Dengan teknis berdebat seperti ini, orang yang pintar semakin pintar, orang yang bodoh tak ada lagi.

Dalam demokrasi mikroliberal yang kita alami dewasa ini, terutama dengan kemunculan hoaks yang seperti bebek antri keluar kandang setiap hari, justru debat-debat yang sehat dan bermutu inilah yang diperlukan. Bukan debat-debat yang hanya menjadi ajang mutilasi diri dan pribadi seseorang, sebagaimana banyak melanda tokoh-tokoh yang sering datang dalam acara televisi. Tokoh-tokoh yang melalui dua dunia, ketika tak sedang di atas panggung, yakni hater and lover.

Dalam riwayat saya sendiri, beberapa kali sanggup menang dan kalah dalam memperebutkan satu posisi. Saya pernah menang menjadi Sekjen Pertama Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia. Saya juga pernah menang satu suara dalam memperebutkan Ketua Studi Klub Sejarah Universitas Indonesia. Saya juga menang dalam memperebutkan Ketua Ikatan Alumni SMA 2 Pariaman. Dan dalam setiap kemenangan itu, tentu ada sesi perdebatan yang dilalui, terutama dalam panggung pemaparan visi dan misi.

Pun saya pernah kalah dalam perebutan posisi Ketua Umum Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Indonesia. Saya juga kalah dalam perebutan Ketua Harian Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Dalam pemilihan Walikota Pariaman 2013-2018, saya juga kalah dalam suara, sekalipun tentu menang dalam debat. Untunglah, ketika dipercaya sebagai Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, saya tidak terlebih dahulu melalui proses debat. Sistem yang dipakai adalah penunjukan langsung oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bang Aburizal Bakrie. Namun, ketika bertanya kepada Bang Ical tentang pemilihan saya, jawaban yang keluar: “Karena elu suka berdebat dan keras kepala.”

Debat itu air yang mengalir. Debat bukan api yang membakar.

Sudahkah benar definisi tuan-tuan dan puan-puan selama ini? Semoga benar apa yang saya tulis. Pertama sekali, tulisan ini saya akan kirimkan kepada Achmad Noerhoeri Soekarsono, Ketua Umum UI Debating Club pertama. Achmad bersama Patsy Widakuswara seingat saya adalah dua bintang UI Debating Club itu. Sampai kini, saya sering terpana dengan cara Achmad berdiskusi tentang segala hal. Ia membawa pulpen kemana-mena, bertanya. Ia pernah menjadi jurnalis the Jakarta Post, Reuters, Bloomberg, sampai bekerja dengan Sydney Jones di International Crisis Group.

Setiap kali Achmad mencatat dengan pulpennya, saya langsung nervous. Sebab, catatan yang ia bikin dalam penerawangan saya bukan berisi informasi atau analisa yang baru ia ketahui dari saya, melainkan celaan: “IJP koq makin stupid aja?” Makanya, setiap kali Achmad mengirimkan laporan yang ia tulis dalam bahasa Inggris dulu, saya segera lipat. Saya tidak ingin membaca, pada bagian mana ia mencantumkan catatan kaki yang berisi nama saya dan tanggal wawancara.

Patsy? Ah, dia sudah menjadi warga dunia bersama Nadia Madjid dan Eva Mazrieva di negeri Paman Sam. Tiga nama perempuan ini bisa menambah daftar Pak Jokowi: mereka adalah anak-anak UI yang jauh lebih berani dari anak-anak laki-laki seperti Budi Arie Setiadi (Muni) dan Ikravany Hilman. Muni dan Ikra hanya jago di kandang, mereka bertiga sudah jauh melalanglang buana. Ya, tentu bukan hanya Muni dan Ikra yang kecut lidahnya menaklukkan dunia asing, pun ada nama saya dalam posisi paling atas…

Sungguh!!!

 

INDRA J. PILIANG

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara

RELATED ARTICLES

Most Popular