Thursday, April 18, 2024
HomeGagasanDari Defisit Menuju Profit JKN 2020

Dari Defisit Menuju Profit JKN 2020

 

Saat Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan, Komisi IX DPR RI sepakat mengusulkan revisi atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan akan berlaku 1 Januari 2020. Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah tidak menaikkan BPJS Kesehatan Kelas III.

“Pokoknya, kami mau tidak ada kenaikan iuran peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) Kelas III. Perpres Nomor 75 Tahun 2019 mau ditunda atau direvisi, ya monggo. Yang penting iuran BPJS khusus Kelas III tidak naik,” tegas Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh saat Raker dengan Menteri Kesehatan, Dirut BPJS, Dewas BPJS dan Kepala DJSN di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019).

Dengan sikap tegas DPR tersebut, lantas Menkes Terawan mengajukan usulan kompromi dengan mengajukan alternatif kedua solusi dari 3 alternatif yang sudah dibuatkan formulasinya.

Apa saja 3 solusi dimaksud, sebagai berikut : *“Alternatif pertama*, usulan subsidi pemerintah atas selisih kenaikan iuran JKN pada peserta PBPU dan BP Kelas III. Tapi, kami masih menunggu kepastian jawaban Menteri Keuangan,” kata Terawan.

*Alternatif kedua*, Terawan melanjutkan, memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres 75/2019. *Alternatif ketiga*, kata Terawan, Kementerian Sosial sedang melakukan perbaikan kualitas data PBI sekaligus mengintegrasikan data PBI dengan Data Terpadu Program Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Ujung dari pembahasan dengan DPR tersebut, disepakati dipilihlah alternatif kedua memanfaatkan profit atas klaim rasio peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang diproyeksikan pada tahun mendatang akan ada profit akibat kenaikan iuran JKN berdasarkan Perpres.

BPJS Kesehatan dan DJSN mengamini solusi yang disampaikan Menkes, dan bagi DPR yang penting jangan naik peserta JKN mandiri kelas III. Titik !.

*Solusi fatamorgana*

Mari kita cermati kondisi empiris yang berlangsung saat ini, dalam penyelenggaraan JKN sejak dimulainya Program JKN 1 Januari 2014. Kita tahu bersama pada tahun 2014 saja sudah defisit Rp. 3,3 triliun , dengan iuran PBI Rp.19.225/POPB ( DJSN menghitung Rp. 27.000/POPB), dan defisit terjun bebas sampai saat ini.

Defisit tidak terbendung karena kenaikan iuran PBI berikutnya 2 tahun kemudian ( 2016) hanya sedikit yaitu Rp.23.000/POPB, sedangkan waktu itu DJSN menghitung idealnya naik Rp. 36.000/POPB. Sudah jelaslah defisit.

Dr. Asih Anggota DJSN menyebutkan bahwa defisit yang terjadi adalah defisit struktural. Defisit yang terjadi secara terstruktur. Pada tahun 2015, DJSN bekerjasama dengan FKM UI ( Tim Prof Budi Hidayat), melakukan penelitian di beberapa Puskesmas dan RS menyimpulkan bahwa rata-rata pembiayaan JKN untuk setiap peserta adalah Rp. 51,000/POPB.

Selanjutnya , pada tahun 2019 DJSN menghitung bahwa rata-rata biaya pelayanan perorang perbulan adalah Rp.60.000.- maka dari kalkulasi aktuaria keluarlah besaran iuran Rp. 42.000/POPB untuk kelas III mandiri, dan kali ini pemerintah tidak ingin terjadi lagi defisit, iuran PBI meningkat tajam Rp. 42.000/POPB, dari semula Rp.23.000/POPB. Dengan jumlah peserta lebih dari 133 juta (PBI APBN dan APBD).

Mungkin Menkes berhitung bahwa kenaikan iuran PBI (APBN/APBD) sebesar Rp. 30,3 triliun ( 133 juta X 12 bulan x Rp. 19.000). dapat menutup defisit bahkan ada profit ( maksudnya surplus), dan surplus tersebut digunakan untuk menutup kekurangan iuran mandiri kelas III sebanyak Rp. 16.500/POPB, dikalikan 12 bulan untuk 19,9 juta peserta mandiri Kelas III. Totalnya adalah Rp. 3,9 triliun.

Ada beberapa persoalan yang dapat timbul dengan kebijakan solusi alternati kedua tersebut yaitu:

1. Kita mengetahui bersama, bahwa utilisasi peserta PBI belumlah maksimal. Masih ada potensi peningkatan utilisasi pemanfaatan pelayanan JKN yang berlipat oleh para fakir miskin dan tidak mampu yang memang menjadi hak mereka. Sehingga iuran yang diperoleh berlipat juga digunakan untuk segmen PBI.

2. Adanya potensi Pemda menurunkan cakupan peserta PBI APBD karena kenaikan iuran PBI, sehingga besaran iuran dari PBI tidak mencapai target.

3. Semakin bertambahnya jumlah peserta mandiri kelas III yang berasal dari peserta PBI APBD yang di exit, dan migrasinya peserta PBPU dan BP kelas II dan I ke kelas III.

4. Poin 2 dan 3, akan berimplikasi terhadap semakin berkurangnya surplus ( profit isitlah Menkes) dana iuran PBI. Itupun kalau hitungan surplusnya akurat, mengingat besarnya utang yang harus di bayar ke faskes. Jika tidak, maka akan muncul lagi hantu defisit generasi terbaru, yang membuat semakin rumitnya penyelesaian defisit.

5. Mengacaukan *Sistem Social Security* yang dimanatkan oleh UU SJSN. Karena UU SJSN jelas menyatakan bahwa kewajiban Pemerintah sebagai Penyelenggara Negara adalah membayarkan iuran “hanya” untuk orang fakir miskin dan tidak mampu, bagi yang tidak miskin dan mampu wajib bayar iuran ( *contribution based*). Sebagai pemberi kerja Pemerintah wajib membayarkan iuran *sharing* dengan pekerja.

6. Apakah sudah diperhitungkan untuk kenaikan biaya pelayanan kesehatan JKN, khususnya *prospectif payment* dengan INA-CBGs di RS, yang saat ini dikeluhkan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan operasional RS dan tenaga medis.

*Kesimpulan*

Dengan 6 persoalan yang akan timbul, dengan solusi ialternatif kedua diatas, secara jujur kita harus mengakui, bahwa solusi tersebut adalah solusi fatamorgana. Solusi yang semu. Ibarat suatu bayangan yang tampak seperti ada tapi sebenarnya tidak ada.

Terkesan bahwa kesepakatan Pemerintah dengan Komisi IX DPR basa-basi, sekedar tidak ada yang kehilangan muka. DPR sudah bersikukuh batalkan kenaikan iuran kelas III mandiri, sedangkan Pemerintah tentu tetap akan mempetahankan kebijakannya yang tertuang dalam Perpres 75/ 2019.

Kondisi tersebut juga semakin mempersulit posisi BPJS Kesehatan dalam melaksanakan tugas, dan kewajibannya yang diamanatkan dalam UU SJSN dan UU BPJS.

BPJS Kesehatan tidak berkutik atas desakan keinginan Menkes dengan paket solusi alternatif kedua, sebab dana PBI sebesar Rp.. 48,7 triliun bersumber dari belanja sektor kesehatan APBN 2020. Seharusnya dana PBI itu menggunakan landasan hukum UU SJSN, sehingga pos anggaran adalah pos anggaran Jaminan Sosial yang di masukkan dalam belanja sektor Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.

CIBUBUR, 15 Desember 2019

CHAZALI H. SITUMORANG

Ketua DJSN 2011-2015 dan Dosen FISIP UNAS Jakarta

RELATED ARTICLES

Most Popular