JAKARTA – Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras baru berjalan seminggu. Terhitung sejak 1 September 2017 lalu pemerintah memang resmi memberlakukan kebijakan HET khusus untuk komoditas beras. Karena dinilai tidak efektif dan justru menjadikan kebijakan tersebut berada di persimpangan jalan, sejumlah pihak meminta agar pemberlakuan HET dievaluasi.
Menurutnya, kebijakan tersebut memang bertujuan untuk memujudkan ketersediaan pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, mencermati situasi pasar setelah diberlakukan kebijakan HET pangan, justru menimbulkan keresahan di kalangan pedagang beras antar pulau dan pedagang grosir di Pasar Induk Cipinang (PIC). Pasalnya, pasokan beras medium yang merupakan kebutuhan pokok kelas menemgah ke bawah mulai berkurang.
“Kontribusi beras terhadap angka inflasi tinggi karena kuatnya hubungan harga beras dengan komoditas lain maka harga beras tetap menjadi bagian strategis stabilisasi ekonomi. Kebijakan HET cenderung pragmatis dan bingungkan petani produsen. Akibatkan distorsi baru. Akan berdampak pada ketahanan pangan nasional saya kira,” ujar Rahman Sabon Nama kepada redaksi cakrawarta.com, Kamis (7/9/2017).
Lebih lanjut, Rahman Sabon menyatakan bahwa kebijakan HET akan menyulitkan pemerintah karena pasar perberasan Indonesia tidak sama dengan pasar internasional yang dikenal hanya satu jenis yaitu long grain white rice.
“Beras Indonesia dan yang beredar di pasar internasiona perbedaannya di spek. Makanya beras di pasar internasional bisa ditetapkan HET. Kalau di kita tidak. Beda lah,” imbuh pria kelahiran Adonara NTT itu.
Rahman Sabon menambahkan bahwa akibat kebijakan HET tersebut, saat ini para petani mengalmai kesulitan menjual hasil panennya. Ini tentu akan berpengaruh pada ketersedian stock beras dan akibatnya akan menimbulkan gejolak harga di pasar.
Apalagi, menurut Dewan Pakar pimpinan pusat HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) itu, saat ini hampir masuk musim paceklik. Produksi beras dinilainya akan menurun. Hal itu disebabkan produksi pangan tidak semata-mata tergantung pada insentif ekonomi semata. Baginya, sektor pangan adalah masalah industri masal sehingga produksi pangan merupakan kegiatan yang paling rawan terhadap kondisi iklim, cuaca, hama dan gejala badai seperti el-nino. Karenanya kebijakan HET menjadi tidak efektif.
“Beras tidak bisa dipatok dengan kebijakan HET sebab Beras Cianjur tidak bisa disamakan harganya dengan Beras Krawang, Beras Kadilang, Beras Bare Solo, Beras Sulawesi atau dengan beras Jawa Timur sekalipun,” tegasnya.
Untuk stabilisasi harga, Rahman Sabon mengusulkan bahwa Pemerintah cukup menggelontorkan beras melalui Operasi Pasar (OP) sehingga tidak perlu dengan HET.
“Karena itu, sebaiknya berikan peran pada Bulog. Jangan kebiri perannya oleh pihak lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan atau Kementerian BUMN sekalipun,” tandasnya.
(bm/bti)