Friday, April 19, 2024
HomeGagasanCawapres Yang Susah Take-off

Cawapres Yang Susah Take-off

 

Tim Joko Widodo (Jokowi) bingung. Kok calon wakil presidennya (cawapres)nya nggak ngangkat-ngangkat? Di Banten, yang seharusnya dia kuat malah jeblok. Si Cawapres sendiri mengakui itu. Dia berjanji akan mengumpulkan para ulama dan para jawara.

Memang, selama ini, kelihatan bahwa Jokowi berkampanye sendirian. Dia kemana-mana sendirian. Berbeda dengan cawapres-nya Prabowo Subianto yang jalan ke pasar-pasar. Cawapresnya Jokowi tidak kelihatan dimanapun.

Membaca laporan Tempo minggu ini, entah mengapa saya melihat Prabowo-Sandi mendapat celah. Sandi melakukan persis apa yang dilakukan oleh Jokowi dulu. Dia memang tidak menyebutnya blusukan. Tapi dia aktif menyambangi pasar-pasar dan jalan kemana-mana. Dia kelihatan berjalan kaki.

Sandi semakin hari semakin baik. Dia tidak banyak melakukan kesalahan omong (gaffes) dan tingkahnya tidak aneh-aneh. Dia tampak dipoles dengan baik dan setiap hari belajar. Kalau dia tidak jadi 2019, dia tentu akan menjadi sesuatu di 2024 nanti.

Sebaliknya apa yang dilakukan Jokowi? Berparade dengan sepeda motor gede — yang memperlihatkan dia out-of-touch dengan rakyat biasa. Mungkin kedudukan sebagai Presiden menghalangi dia untuk terjun langsung. Keamanan tentu sangat diperhatikan. Yang jelas, Jokowi 2014 sangat berbeda dengan Jokowi 2019. Dia Presiden. Dia berkuasa.

Sepintas saya melihat pendukung Jokowi juga tidak punya antusiasisme seperti dulu. Mereka yang fanatik mendukung Jokowi lebih memperlihatkan diri sebagai apparatchik ketimbang sebagai relawan yang antusias. Labelnya masih “relawan” tapi mereka tidak lebih dari apparatchik.

Koalisi pendukung Jokowi juga tampaknya mengecil. Tahun 2014, Jokowi mendapat dukungan mutlak dari kaum minoritas. Pada 2019, saya kira, segmen ini lebih tidak antusias. Banyak yang menyuarakan untuk tidak memilih (golput).

Mereka pasti tidak akan memilih Prabowo-Sandi. Tapi mereka tidak memilih Jokowi juga. Kalau ini terjadi, entahlah. Tahun 2014, Jokowi hanya menang 6% dari Prabowo. Enam persen itu membuat pemilih minoritas menjadi sentral!

Dan kemudian muncul masalah cawapres. Dari sejak awal saya melihat bahwa KH. Ma’ruf Amin tidak akan menambah apa-apa untuk Jokowi. Serangan dari Islam Kanan tetap. Melihat dari Reuni kemarin, dukungan dari 212 juga tidak didapat. Memang Reuni 212 tidak sebesar pada 2016. Namun, tidak dapat dipungkiri jaringan dan mesin penggerak mereka masih jalan.

Sekarang Jokowi terengah-engah merengkuh pemilih millenials. Prabowo punya Sandi, yang mungkin dalam beberapa minggu ke depan bisa membuat terobosan yang lebih baik yang membuat pemilih muda melirik dia. Sandi punya segalanya untuk menarik pemilih pemula dan millenials.

Ada satu foto di dalam laporan Tempo yang menurut saya sangat mewakili kondisi kampanye Tim Jokowi saat ini. Itu adalah foto KH. Ma’ruf Amin duduk di kursi besar. Orang-orang duduk bersimpuh mengelilingi dia. Takzim seperti mendengarkan titah.

Ini jelas tidak akan bekerja dengan baik untuk elektorat pada umumnya. Kultur ini mungkin bisa dipakai di Nahdlatul Ulama (NU). Tapi itu pun saya ragu karena di NU pun sikap ini tidak terlalu populer lagi. Generasi muda NU sudah sangat egaliter.

Jika KH. Ma’ruf Amin tidak bisa mengangkat elektabilitas di Banten dan di Jawa Barat, lalu dimana dia bisa berguna? Sangat berbeda dengan Jusuf Kalla, yang sangat menguasai Indonesia bagian timur.

Jika pun Jokowi menang nanti, itu lebih karena faktor dia sendiri. Tapi melihat keadaan sekarang, saya kira dia harus tidak terlalu optimis. Lampu kuning sudah menyala.

PS: Saya tidak bermaksud mengiklankan Tempo. Opini ini adalah pendapat pribadi saya. Tidak ada kaitannya dengan Tempo.

MADE SUPRIATMA

Mantan wartawan, sekarang tinggal di Amerika Serikat

RELATED ARTICLES

Most Popular