Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanBPJS Kesehatan di Ambang Batas

BPJS Kesehatan di Ambang Batas

 Chazali Husni Situmorang

Akhir-akhir ini teman-teman yang di Kementerian Koordinator Pembanguna Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, berada dalam keadaan “siaga 1”. Para petinggi kedua lembaga tersebut sibuk luar biasa dan bekerja sampai larut malam untuk menghitung dan membuat rumusan dan alternatif mengatasi mismatch atau saya lebih senang menyebutnya “bleeding” atau lebih konkritnya adanya potensi gagal bayar (un-schedule) terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang melaksanakan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam waktu sebulan atau dua bulan ke depan ini.

Menko PMK mungkin sudah lebih dua kali mengadakan rapat koordinasi (rakor) dengan Menteri terkait dilingkup Kemenko PMK, terutama Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Kesehatan (Menkes), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Direksi BPJS Kesehatan. Tetapi menurut informasi yang kita dengar, rakor tersebut belum dapat mencarikan solusi terbaik mengatasi “bleeding” yang sekitar 7–8 triliun rupiah itu. Kita menghitung angka tersebut mendekati angka dana kapitasi yang digelontorkan BPJS Kesesehatan untuk PPK I (Puskesmas dan Klinik JKN).

Kenapa Pemerintah harus repot dengan terjadinya mismatch tersebut. Jawabannya ada di Undang-Undang (UU) tentang BPJS yaitu UU Nomor 24 Tahun 2011), yang kira-kira maknanya “dimana pemerintah berkewajiban untuk menanggung (bertanggung jawab) jika terjadinya kurang bayar terhadap pelayanan JKN pada faskes”. Dengan catatan bukan disebabkan mismanagement atau terjadinya fraud.

Para ahli, pengamat jaminan sosial dan DJSN sudah sejak 3 tahun yang lalu mengingatkan Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bahwa jika besarnya iuran seperti sekarang ini, mismatch tidak dapat dihindari. Dan sudah dua tahun belakangan ini Pemerintah menambal terus dengan mekanisme “penyertaan modal”. Karena angka semakin membengkak, maka “kepanikan” mulai terjadi. Padahal para ahli jaminan sosial dan DJSN sudah sejak 3 tahun “panik” dan saat ini pada fase “pasrah” apa keinginan Pemerintah.

Kenapa rakor Menteri tidak tuntas, dan kenapa tidak dapat diketemukan solusi sebagai jalan keluar dari problem besar tersebut? Saya juga tidak dapat menemukan jawabannya. Paling saya bisa menduga-duga dikaitkan dengan situasi politik, ekonomi dan sosial bangsa ini.

Secara politik apakah politik Pemerintah menjadikan skala prioritas tinggi untuk mengatasi mismatch BPJS Kesehatan? Secara ekonomi apakah Pemerintah berani membuat kebijakan tertentu merevisi APBN untuk menambal mismatch? Secara sosial apakah implikasinya luas jika pembayaran tertunda dan faskes menghentikan atau menarik bayaran kepada peserta JKN.

Hakekat Pemerintah adalah melaksanakan “perintah” yang diamanatkan negara melalui peraturan perundang-undangan. Hakekat perintah adalah eksekusi (membuat keputusan). Mengingat tidak ada lembaga lain yang mendapatkan perintah tersebut, karenanya sudah seharusnya rakor Menteri membuat solusi atau alternatif solusi yang kemudian disampaikan kepada Presiden untuk diambil keputusan final.

Solusi Alternatif

Kita harus jujur mengakui bahwa Pemerintah sudah cukup besar juga mengeluarkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk orang miskin sebagai penerima bantuan iuran (PBI). Jumlahnya sekitar 21 – 22 triliun rupiah, untuk sekitar 96 juta orang miskin. Angka ini adalah jumlah penduduk terbanyak di dunia yang uang iurannya 100% dibayarkan oleh Pemerintah. Kenapa Pemerintah mau? Karena diperintahkan oleh UU SJSN dan UU BPJS. Sayangnya jumlah nominal tersebut belum sesuai dengan nilai keekonomian untuk membayar faskes primer, sekunder dan tersier yang jumlahnya lebih dari 29–30 ribu unit. Ketidakcukupan dan rendahnya tarif iuran bagi penduduk yang mampu itulah yang menyebabkan terjadinya mismatch. Itu yang dilakukan Pemerintah Pusat. Pertanyaannya apa kontribusi Pemerintah Daerah (pemda)? Jawabannya tidak ada. Bahkan dana kapitasi yang dikirimkan Pemerintah Pusat ke Puskesmas untuk pelayanan JKN, masuk kembali ke kas Daerah dan menjadi sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pelayanan kesehatan. Kewajiban mengalokasi APBD kabupaten/kota untuk pelayanan kesehatan sebesar 10% ada yang berasal dari dana kapitasi. Tragis sekali.

Perintah UU BPJS agar Pemerintah menanggulangi mismatch bukanlah dimaknai kewajiban Pemerintah Pusat saja tetapi juga pemda sebagai bagian integral dari Pemerintah Republik Indonesia.

Pada berbagai kesempatan focus group discussion (FGD), saya sudah menyampaikan kepada berbagai pihak (Kemenkeu, manajemen BPJS Kesehatan, Kemenkes), agar Pemda kabupaten/kota harus ikut sharing mengatasi mismatch yang terjadi. Caranya bagaimana? Dengan beberapa teman Kemenkeu saya mengusulkan agar diambilkan saja dari APBN yang dialokasikan untuk APBD kabupaten/kota sebesar dana yang kurang (mismatch), bagi keseluruhan kabupaten/kota dengan memperhatikan proporsi jumlah penduduk dan kekuatan fiskal daerah tersebut. Kalau angka mismatch-nya sebesar 7,5 triliun rupiah, berarti rata-rata setiap kabupaten/kota sekitar Rp 15 miliar. Akan terasa ringan dan azas “gotong royong” sudah menampakkan wujudnya yang nyata.

Caranya bagaimana? Sangat mudah asalkan Kemenkeu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sepakat. Kita mengenal istilah “bintang” pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sektor maupun daerah. Bintang ini tidak sama dengan bintang tentara atau polisi. Kalau bintang tentara/polisi, sangat diidam-idamkan. Tetapi bagi jajaran birokrasi, jika DIPAnya ada mata anggaran/kegiatan diberi tanda bintang, artinya tidak boleh dicairkan dananya.

Dengan payung hukum berupa Keputusan Presiden (Kepres), atau Kemenkeu, atau Kemendagri, mana yang sesuai dengan koridornya, DIPA daerah kabupaten/kota diberi tanda bintang sebesar rata-rata misalnya Rp 15 miliar dan disebutkan dana tersebut tidak dapat dicairkan, karena akan digunakan untuk mengatasi mismatch pembayaran faskes JKN.

Langkah kebijakan ini saya menyebutnya sebagai langkah “sumbu pendek” dan untuk langkah kebijakannya sebagai “sumbu panjang”. Tentunya langkah ini memerlukan tahapan pengkajian yang lebih komprehensif.

Saya tidak tahu persis, tetapi “katanya” solusi alternatif tersebut termasuk yang dibahas dalam rakor Menko PMK, tetapi pihak Kemenkeu keberatan, dengan alasan melanggar UU dan mungkin juga tidak mau ribut dengan para bupati dan walikota. So What?

Upaya BPJS Kesehatan

Bagi Direksi BPJS Kesehatan, dengan situasi yang muter-muter terus dan tidak ada keputusan, apa yang harus dilakukan? Saran saya, mereka bisa menggunakan hak konstitusional Direksi BPJS Kesehatan. Bahwa Direksi BPJS Kesehatan dibawah Presiden dan bertanggung jawab pada Presiden. Apapun ceritanya dalam UU SJSN tidak ada amanat bahwa yang menyelenggrakan SJSN adalah Kementerian tertentu, tetapi amanat itu dibebankan kepada BPJS Kesehatan. Dan lembaga tersebut dibentuk dengan UU sebagai badan hukum publik dengan tugas khusus menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan.

Direktur Utama mengajak semua Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan didampingi Ketua DJSN menghadap Presiden, dan berikan informasi yang lengkap dan akurat tanpa ada yang ditutup-tutupi. Utarakan problem strategisnya. Jika diperlukan disarankan Presiden membawanya dalam Rapat Kabinet terbatas bidang Kesehatan. Dirut BPJS Kesehatan memaparkan masalahnya dan alternatif solusi yang disarankan kepada Presiden. Para Direksi BPJS Kesehatan tidak perlu khawatir ada yang tersinggung, karena berpegang pada komitmen menempatkan kemampuan profesional di atas segalanya. Niatnya untuk kepentingan rakyat keseluruhan dan juga kepentingan Pemerintah dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Apakah akan berhasil? Berusaha dulu, hasilnya kita pasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Allahualam bisshowab.

Cibubur, 28 Juli 2017

 

CHAZALI HUSNI SITUMORANG

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2011-2015

 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular