Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanBM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (4)

BM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (4)

BM Diah Cakrawarta

Udara Moskow, bulan Desember 1992 itu sangat dingin. Salju mulai turun. Selain memakai baju, celana dan kaus kaki berlapis , saya juga memakai jaket BM Diah yang dipinjamkan kepada saya sebelum berangkat. Masa depan Moskow tidak ada yang tahu pada waktu itu yang jelas negara-negara bagian Uni Soviet mulai memisahkan diri dari Kremlin.

Sebelum saya ke Uni Soviet, sekarang Rusia, saya menulis di Harian “Sriwijaya Post, ” Palembang, Kamis, 22 Agustus 1991. Judul tulisan saya, “Antara Gorbachev, Lenin, dan Pembaruan Uni Soviet.” Saya menjelaskan bahwa Uni Soviet bukanlah negara kecil. Peradaban Timur telah bercokol di sana selama bertahun-tahun. Kaya akan sumber alam, penghasil gandum terbesar di dunia, produsen baja, bahan baku dan bahan bakar serta mampu menampilkan diri sejajar dengan negara-negara Barat dalam bidang ruang angkasa.

Saya juga menyinggung nama Gorbachev dan menegaskan bahwa dia adalah penganut Lenin yang setia.Pada dasarnya Gorbachev telah berani mencoba “Perestroika” dan merumuskan prinsip dasar-dasarnya. Meskipun pada akhirnya, rakyatnya tidak memahami apa yang dilakukannya. Ia pun mengundurkan diri sebagai presiden pada Desember 1991. Banyak yang mengatakan bahwa ia mengundurkan diri karena masalah kesehatan.

Jadi pada waktu saya ingin berangkat ke Moskow, Desember 1992, BM Diah sendiri di Jakarta hanya mengatakan singkat kepada saya,”Gorbachev tidak ada di Kremlin.” Sejak mengumumkan dirinya mundur karena alasan kesehatan pada 19 Agustus 1991, kekuasaan di Kremlin dipegang oleh Wakil Presiden Gennady Yanayev. Suatu kebetulan kepergian saya ke Moskow kali ini, genap setahun , Mikhail Gorbachev mengundurkan diri.

Wakil Presiden Uni Soviet Gennady Yanayev, pun tidak lama memegang jabatan itu, karena pada tanggal 12 Juni 1991 Boris Yeltsin Nikolayevich terpilih berdasarkan suara sebagai Presiden Rusia Soviet Federasi Republik Sosialis (RSFSR).

Yeltsin muncul di bawah perestroika reformasi sebagai salah satu lawan politik yang paling kuat Gorbachev. Pada tanggal 29 Mei 1990, ia terpilih sebagai ketua Rusia Soviet Agung. Setelah pengunduran diri Mikhail Gorbachev dan final pembubaran Uni Soviet pada tanggal 25 Desember 1991, setelah itu RSFSR menjadi negara berdaulat Federasi Rusia, Yeltsin tetap di kantor sebagai presiden.

Jadi, kepergian saya ke Uni Soviet, istilah sudah berganti dengan Rusia di bawah Yeltsin. Bukan lagi Uni Soviet ketika Mikhail Gorbachev berkuasa. Pada akhirnya nasib Yeltsin tidak jauh berbeda dengan Mikhail Gorbachev. Pada tanggal 31 Desember 1999, di bawah tekanan internal yang besar, Yeltsin mengumumkan pengunduran dirinya, meninggalkan kursi kepresidenan dan menyerahkan pimpinan Rusia ke tangan Perdana Menteri Vladimir Putin yang sebelumnya telah dipilih.

Terpulihnya Putin sangat tepat bagi Rusia. Mikhail Gorbachev ketika bertemu dengan Putin pada bulan Agustus 2000 memastikan dia tidak akan merusak Demokrasi Rusia. Begitu pula Boris Yeltsin menyatakan Putin kepada seluruh rakyat Rusia dengan berkata bahwa “Dia dapat mengulangi kejayaan Rusia yang baru pada abad 21”. Sergei Stepashin, pejabat yang digantikannya mengatakan bahwa dia seorang yang jujur. Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton mengatakan, dia mampu untuk menjadikan Rusia sebagai negara yang berprospek dan kuat.

Terlepas dari itu semua, Putin memang bermaksud mengembalikan kejayaan Rusia yang masih dirindukan rakyat Rusia pada masa Uni Soviet. Dia mengganti lagu kebangsaan Rusia pada masa Yeltsin, “Patriotiskaya Pesn”, atau lagu patriotik yang tanpa lirik dengan menggunakan lagu kebangsaan Uni Soviet “Gimn Sovetskogo Soyuza” Hymne Uni Soviet dengan mengganti liriknya menjadi “Gimn Rossiyskaya Federatsiya” atau Hymne Federasi Rusia” dengan memakai aransemen musik pada masa Uni Soviet.

Tiga malam, saya di Moskow dan menginap di rumah koresponden Harian Merdeka, Svet Zakharov, warga negara Rusia yang fasih berbahasa Indonesia, sungguh sangat membantu. Kadang kala anak perempuannya, Olga, sering membantu memberi masukan-masukan tentang Rusia. Meski ia tidak bisa berbahasa Indonesia seperti ayahnya, Svet Zakharov, tetapi sangat mahir berbahasa Inggris.

Hari Minggu, 13 Desember 1992, saya diantar Svet Zakharov ke Bandara Moskwa. Udara dingin disertai salju yang turun tidak mematahkan semangat saya menuju Baghdad, ibu kota Irak. Tetapi dikarenakan adanya embargo udara yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saya harus terlebih dulu menuju Jordania, satu-satunya jalan menuju Irak waktu itu. Tidak hanya saya, pejabat tinggi dari negara mana pun, jika ingin ke Irak tidak bisa langsung menuju Bandara Baghdad, harus melalui Jordania. Akan halnya Moskow, saya akan kembali lagi setelah dari Baghdad. Itulah rute perjalanan saya yang telah ditetapkan.

(bersambung)

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis, Sejarawan dan Penulis Senior

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular