Friday, March 29, 2024
HomeGagasanApakah Ketegangan di Myanmar Berpengaruh ke Konflik AS dan RRC?

Apakah Ketegangan di Myanmar Berpengaruh ke Konflik AS dan RRC?

(foto: istimewa)

 

Minggu ini, Republik Persatuan Myanmar menjadi perhatian pengamat internasional. Negara itu merupakan negara berdaulat di Asia Tenggara.

Myanmar terletak di perbatasan India dan Bangladesh di sebelah barat, Thailand dan Laos di sebelah timur. Sedangkan di sebelah utara dan timur laut dengan Republik Rakyat China (RRC).

Ikut campurnya RRC di Myanmar dengan mendukung pemerintahan militer, itu semata-mata kecemasan China, karena ketidakstabilan di dalam negeri Myanmar sudah tentu berpengaruh pula ke China sebagai negara tetangga.

Selama ini, negara seluas 676.578 km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988. Pemerintahan militer di Myanmar ini yang selalu didukung RRC.

Sebaliknya, pemerintah Amerika Serikat (AS) selalu mendukung tegaknya demokrasi di Myanmar. Itu sebabnya penyelenggaraan Pemilu (Pemilihan Umum) di Myanmar selalu didukung AS demi mendukung demokrasi. Sejak pemerintah militer Myanmar memberi peluang Aung San Suu Kyi bergerak, meski pihak meliter yang tetap menguasai negara itu, AS bersikap sudah tidak lagi menerapkan sanksi kepada Myanmar.

Kali ini peristiwa lama terulang kembali. Menangnya pihak opisisi Myanmar yang dipimpin Aung San Suu Kyi tetap saja tidak diakui pihak milter.

Mengapa Aung San Suu Kyi selalu dikatakan sebagai pemimpin oposisi, meski telah berkali-kali partainya, Partai Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) selalu menang dalam Pemilu, termasuk Pemilu paling akhir baru-baru ini ? Itu dikarenakan pengaruh pemimpin militer yang sudah mengakar kuat di Myanmar, juga tidak memberikan kekuasaan penuh kepada Suu Kyi.

Saksikan kehadiran Aung San Suu Kyi di Belanda sewaktu membela pihak militer. Ia hanya disebut hanya sebagai penasihat negara Myanmar. Bahkan kehadirannya sebetulnya menjadi buah bibir seluruh dunia. Suu Kyi selama ini dikenal sebagai seorang pemberani dalam menegakan Hak-Hak Azasi Manusia bahkan juga di negaranya sendiri, Myanmar, dikritisi masyarakat internasional. Jelas-jelas, ia adalah penerima Nobel Perdamaian, terapi kenapa ia datang ke Mahkamah Internasional hanya untuk memimpin tim pembela pemerintah Myanmar. Selama tiga hari, ia ikut sidang dalam gugatan kejahatan genosida di Negara Bagian Rakhine.

Di ruang sidang, wajah Suu Kyi terlihat dingin ketika mendengarkan pembukaan dari jaksa penuntut Aboubaccar Tambadou. Menteri keadilan Gambia itu mewakili negaranya dan anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menggugat rezim Myanmar. Mereka meminta otoritas menghentikan kekejaman kepada kaum Rohingya.

Sekarang entah apa yang dipikirkannya dalam tahanan rumah. Adakah pemerintah Myanmar mengingat jasa-jasanya ketika membela pemerintah Myanmar?

Di AS, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengancam akan kembali menjatuhkan sanksi kepada Myanmar setelah militer di negara itu mengambil alih kekuasaan.

Tentara Myanmar telah menahan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin sipil lainnya, dan menuduh partai Suu Kyi melakukan kecurangan atas kemenangan besar dalam pemilihan umum yang diselenggarakan baru-baru ini.

Dalam sebuah pernyataan, Biden mengatakan “kekerasan tidak boleh dibiarkan mengesampingkan keinginan rakyat atau berupaya untuk menghapus hasil pemilihan yang kredibel”.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Inggris juga mengutuk kudeta tersebut.

Sejauh ini, AS telah mencabut sanksi selama dekade terakhir seiring dengan transisi Myanmar menuju negara demokrasi. Tetapi, keinginan AS di masa Joe Biden, pemerintah militer Myanmar tidak berubah, sehingga Biden mengatakan, pemberlakuan kembali sanksi kepada Myanmar akan segera ditinjau, seraya menambahkan: “Amerika Serikat akan membela demokrasi di mana pun ia diserang.”

Pemilu di Myanmar sering membuat gejolak di berbagai negara. AS saja yang boleh dikatakan sebagai negara menjunjung tinggi sistem demokrasi, pun tidak luput dari kerusuhan, seperti kerusuhan di Capitol Hill baru-baru ini.

Akhirnya pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan beberapa tokoh senior lain dari partai yang berkuasa telah ditahan dalam penggerebekan dini hari. Itulah kata juru bicara Partai Aung San Suu Kyi, NLD, pada hari Senin, 1 Februari 2021.

Pemilu di Myanmar telah meningkatkan ketegangan selama beberapa hari sebelumnya antara pemerintah sipil dan militer yang berkuasa. Ketegangan itu memicu terjadinya kudeta pasca pemilu, yang menurut militer diwarnai kecurangan. Ternyata, mimpi buruk kudeta militer tersebut terjadi juga.

Hasil perhitungan resmi Pemilu Myanmar kukuhkan kemenangan Partai Suu Kyi, tetapi pemerintah militer mengabaikannya.

Juru bicara partai Suu Kyi, Myo Nyunt mengatakan kepada Reuters bahwa Suu Kyi, Presiden Win Myint dan beberapa pemimpin lain telah “dibawa” pada dini hari.

“Saya ingin memberitahu rakyat agar tidak menanggapi dengan gegabah dan saya ingin mereka beraksi sesuai hukum,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia memperkirakan dirinya akan ditangkap.

Reuters kemudian tidak bisa lagi menghubunginya, karena sambungan telepon ke Naypyitaw, ibukota, tidak bisa dilakukan pada Senin dini hari, 1 Februari 2021. Sebetulnya Parlemen Myanmar akan memulai sesi pada hari Senin, 1 Februari 2021, setelah pemilu bulan November di mana NLD menang telak. Ya, dengan penangkapan Suu Kyi pada hari itu lebih awal, Sidang Parlemen pun batal dilaksanakan.

Para wartawan pun berusaha mencari informasi, tetapi seorang juru bicara militer pun tidak menjawab telepon untuk dimintai komentar.

TV MRTV yang dikelola pemerintah mengatakan lewat Facebook bahwa mereka tidak bisa siaran karena alasan teknis.

Seorang anggota parlemen dari NLD, yang tidak bersedia disebut identitasnya, mengatakan seorang tokoh lain yang ditahan adalah Han Thar Myint, anggota komite eksekutif pusat partai.

Suu Kyi, sekarang telah berusia 75 tahun. Ia berkuasa pasca kemenangan telak partai NLD dalam pemilu 2015, setelah sebelumnya ditahan puluhan tahun dalam perjuangan bagi demokrasi yang menjadikannya sebagai ikon internasional.

Reputasi internasional pemenang Hadiah Nobel Perdamaian ini terpuruk setelah ratusan ribu warga Rohingya lari menyelamatkan diri dari negara bagian Rakhine pada 2017. Tetapi meski demikian, Suu Kyi tetap populer di dalam negeri. Entahlah nanti, karena usia lanjut.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Wartawan Senior

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular