Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanAnies dan Totalitas Aktivis Otentik (2 dari 2)

Anies dan Totalitas Aktivis Otentik (2 dari 2)

Indra J Piliang cakrawarta

Tidak banyak yang saya ingat tentang Anies. Saya bertemu lagi dengannya dalam acara Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21 di Universitas Indonesia (UI). Anies jadi salah satu pembicara, sebagai mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM. Saya menjadi Ketua Panitia Pelaksana (Organizing Committee). Anies adalah generasi pertama di kampus yang menjadi pimpinan organisasi mahasiswa. Ia seangkatan dengan Chandra M Hamzah dari UI. Bagi aktivis mahasiswa baru seperti saya, nama-nama itu merupakan teladan, jadi bahan diskusi tak kunjung putus di kalangan mahasiswa yang menyandang gelar aktivis.

Ikonik

Anies adalah ikon bagi aktivis intra kampus. Dari UI ada Eep Saefullah Fatah dan Chandra M Hamzah. Dari ITB sama sekali tidak ada. Dari IPB, Arief Satria (sekarang Dekan di IPB, doktor soal kelautan lulusan Jepang). Ada semacam “kesepakatan” bahwa Anies yang paling menonjol. Jadi, kalau ada konvensi aktivis mahasiswa 1990-an tentang Capres yang paling ideal dari generasinya, saya kira Anies akan menang telak. Anies sudah memenangkan itu dalam survei kualitatif yang dilakukan Kompas bulan April 2008. Ia terpilih sebagai capres dari kalangan kampus. Sementara saya, menurut versi Kompas itu, hanya berada di urutan ke-6 dari Capres yang berasal dari kalangan masyarakat sipil, dikalahkan Chalid Muhammad (JATAM, WALHI) dan Binni Buchori (Prakarsa Indonesia).

Pertemuan saya dengan Anies tidak sebanyak pertemuan saya dengan Anas Urbaningrum. Misalnya dalam acara ISAFIS (Indonesian Student Association for International Studies) pada sebuah diskusi tahun 1995. Waktu itu, Anies menjadi penanggap bersama Rizal Mallarangeng. Pembicara utamanya adalah William Liddle, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat (AS). Fadli Zon menjadi moderator dalam acara itu. Saya bahkan masih ingat warna baju yang dikenakan Anies dan Liddle, karena memang menyimpan fotonya. Sebagai penulis catatan harian, saya menggunakan foto untuk mengingat-ingat nama orang.

Dalam kesempatan berikutnya, saya bertemu Anies dalam forum-forum KAHMI Pro. Kami pernah melakukan semacam “Kongres”, yakni para alumni HMI mengajukan paper. “Kongres” versi KAHMI PRO itu kami helat untuk menyikapi fenomena pecahnya KAHMI. Kami dari kalangan yang lebih muda dan PRO (profesional), merasa perlu bersuara. Anies dan Arif Satria adalah dua penggagas “Kongres” pertama dan terakhir itu. Anies memang tidak seperti koleganya terdahulu. Ia jarang berkomentar, termasuk menulis, kecuali untuk jurnal luar negeri. Ia lebih menyukai forum-forum terbatas, seperti seminar, focus group discussion atau diskusi panel, ketimbang melayani banyak tape recorder wartawan di depan mulut. Ia pendidik. Ia guru.

Karena itu pula saya merasa tidak keberatan ketika mendapat “tugas” sebagai salah seorang pelobi untuk Anies Baswedan, ketika didaulat oleh sejumlah kawan menjadi Rektor Universitas Paramadina. Waktu itu, Anies perlu mendapatkan suara dari para anggota Dewan Pendiri Yayasan Paramadina yang mendirikan Universitas Paramadina. Saya kebagian melobi tiga orang anggota, yakni Erry Riyana Hardjapamengkas, Clara Juwono dan Faisal Basri. Tugas itu saya laksanakan dengam baik. Saya berbicara kepada ketiga orang sosok yang dekat dengan saya itu. Apa mereka memberikan suaranya kepada Anies, bukan lagi “kewajiban” saya untuk mengetahui. Yang jelas, Anies terpilih, mengalahkan rekan kami yang lain, Yudi Latif, PhD.

Anies menawarkan Universitas Paramadina, ketika saya mencari tempat acara, setelah memutuskan terjun ke politik praktis. Saya melakukan pamitan ke kalangan akademisi, masyarakat sipil, sekaligus media massa, di depan 200-an undangan di Aula Universitas Paramadina. Waktu itu saya memang ada di “puncak” profesi sebagai analis. Hampir setiap hari saya menulis di koran, muncul di televisi, memberikan seminar, diskusi, pelatihan, terlibat dalam pelbagai komunitas masyarakat sipil, sampai menjadi tenaga ahli di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Kementerian Dalam Negeri. Ketika memutuskan terjun ke politik praktis, saya tentu bersiap menghadapi segala macam dinamika arus bawah politik, termasuk di lingkungan partai politik yang saya pilih: Partai Golkar.

Dalam forum-forum seperti itulah saya ketemu Anies. Forum bertukar ilmu pengetahuan, analisa, ide dan gagasan. Forum demi forum itu beranjak dari satu tempat ke tempat lain, termasuk di kantor Wakil Presiden. Ketika diskusi soal Jusuf Kalla Institute, saya juga bertemu Anies sebagai satu sosok yang dimintai pertimbangan. JK Institute tidak jadi berdiri, melainkan JK On Leadership yang digelar di pelbagai kampus. Saya ikut beberapa kali, sebelum larut dengan kehidupan kepartaian.

Media Sosial

Lewat twitter, saya ikuti aktivitas dan cuitan @AniesBaswedan. Ia bergerak dengan para mahasiswa kampus yang mengajar selama satu tahun di pelosok-pelosok terpencil negeri ini dalam program Indonesia Mengajar. Kegiatan itu memperlihatkan perhatian yang tinggi dari Anies kepada mahasiswa-mahasiswa binaannya, sekaligus anak-anak sekolah dasar. Saya ikut sedih, ketika Anies sedih, mengetahui salah seorang “guru” yang berstatus mahasiswa itu (atau sarjana? Saya kurang tahu detil), meninggal dunia. Lewat kegiatannya itulah, lalu statusnya sebagai Rektor Universitas Paramadina, Anies kian dikenal sebagai pendidik. Padahal, setahu saya, disertasi Anies bukan soal pendidikan, melainkan tentang desentralisasi.

Dalam status sebagai pendidik itu pula Anies datang dalam acara DPP MKGR yang kami helat di Hotel Bidakara. Anies hadir sebagai panelis bersama Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh. Kebetulan, saya menjadi Moderator dari acara yang diprakarsai Ketua Umum DPP MKGR Priyo Budi Santoso itu. MKGR, bersama KOSGORO dan SOKSI, adalah tiga ormas pendidik Partai Golkar. Kebetulan, saya menjadi Deputi Sekretaris Jenderal DPP MKGR. Foto saya bersama Anies dalam sosok yang riang sering muncul di media sosial. Anies pakai dasi, saya menggunakan batik. Satu sosok lagi adalah Bejo Rudiantoro, Sekjen DPP MKGR yang memberikan plakat. Itulah forum yang langsung menghadap-hadapkan pemikiran Muhammad Nuh dan Anies Baswedan dalam mendiskusikan masalah pendidikan nasional. Gaung Anies sebagai pendidik terasa sekali dalam acara itu.

Saya tahu kemudian, Anies masuk menjadi peserta Konvensi Bakal Capres Partai Demokrat. Waktu pengenalan Bakal Capres Partai Demokrat di hadapan kader-kader di Sentul, saya mention dan goda akun @AniesBaswedan. Saya tanya, apa perasaannya ketika diperkenalkan Pak SBY. Anies menjawab, perasaannya biasa-biasa saja, sama dengan kehidupan yang lain. Kalem. Padahal, di mata saya, Anas lebih kalem dari Anies. Dalam berbicara, Anies terasa lebih “meledak”, dibandingkan Anas yang mencoba mencari kalimat humor. Untuk mengetahui seberapa “meledak”nya Anies, ya, hadiri saja diskusi-diskusi tertutup dengannya. Dia tak sekalem bahasa dan kalimat-kalimat yang dia tulis di akun twitter atau tulisannya.

Anies memiliki semua syarat menjadi pemimpin. Kakeknya adalah anggota Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di dalam darahnya mengalir sosok kepahlawanan, semangat kemerdekaan, sekaligus jiwa kaum terpelajar. Ia bisa berpidato dengan sangat runtut dan jernih. Ia menulis dengan baik dan nalar. Ia juga sudah menunjukkan kontribusinya bagi penyelesaian beberapa masalah di negeri ini, baik sejak mahasiswa, sebagai akademisi, maupun setelah menjadi rektor. Masalahnya, totalitas apa yang ingin ia rengkuh?

Saya sudah memberikan pesan keras di twitter. Saya tantang Anies untuk segera memiliki kartu anggota Partai Demokrat. Dengan kartu keanggotaan itu, Anies bisa memberikan kontribusi nyata bagi sebuah organisasi politik yang selama satu dekade mencengangkan Indonesia. Ia bisa kembali membuka lembaran demi lembaran disertasinya soal desentralisasi, sebagai satu masalah besar di Indonesia. Status sebagai pendidik bisa saja diteruskan di lapangan politik praktis, karena jauh lebih banyak pemilih yang berpendidikan dasar dan menengah, ketimbang yang menempuh jenjang pendidikan tinggi.

Anies, saya rasa, sudah saatnya total di dunia politik praktis. Apalagi di tengah carut-marut dan stigma negatif yang kini melanda politisi dan partai politik. Namun, sampai bergabung sebagai Juru Bicara Joko Widodo dalam Pilpres 2014, Anies tak juga menjadi anggota partai politik. Saya yang juga memutuskan bergabung sebagai relawan, dengan meninggalkan usungan Partai Golkar, tak banyak berkomunikasi dengan Anies. Saya hanya sempat menyarankan agar Jokowi melakukan ziarah ke makam Bung Hatta, sebagai simbol keberpihakan kepada ekonomi kerakyatan. Anies membalas pesan singkat saya itu sebagai ide yang brilian, tetapi tak ada berita kehadiran Jokowi di makam Bung Hatta.

Dan rupanya, saat yang saya tunggu untuk bergabung dengan Anies datang, justru setelah ia diberhentikan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Sandiaga Sahuddin Uno. Tanpa berpikir panjang, saya menyatakan diri sebagai buzzer Anies dan Sandi di media sosial, bahkan sebelum saya bertemu dengan keduanya. Bagi saya, Anies adalah sosok yang otentik dalam pergerakan politik nasional dalam dua dekade ini, sekalipun merambah ruang-ruang publik lainnya sebagai pendidik dan inspirator anak-anak muda. Begitulah.

INDRA J PILIANG

Direktur Sang Gerilya Institute

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular