Friday, March 29, 2024
HomeEkonomikaAlumni Unair di Jakarta Berbagi Inspirasi dengan Guru Besar Termuda se-Indonesia

Alumni Unair di Jakarta Berbagi Inspirasi dengan Guru Besar Termuda se-Indonesia

Alumni Unair di Jakarta yang tergabung dalam Airlangga Network saat Diskusi Kopi dan Ruang Berbagi, Jakarta, Senin (21/10/2019) malam. (foto: Jojo Raharjo)

 

JAKARTA – Namanya Badri Munir Sukoco. Kalau mau lengkap ya ditambah ‘profesor’ di depan serta atribusi gelar S.E., MBA., Ph.D di belakang. Dua tahun silam, 16 September 2017, pria kelahiran Lumajang 11 September 1978 ini dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis ke-22. Kala itu, Badri menyampaikan orasi ilmiah tentang Revolusi Industri 4.0 dan dampaknya pada perguruan tinggi.

Guru Besar Unair PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) ke-171 ini menggambarkan bahwa universitas harus bisa melalakukan reskilled pekerja dalam disertasi karya ilmiahnya yang berjudul ‘Orkestrasi Kapabilitas Dinamis untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa’.

Reskilled pekerja agar tidak gagap dan menyiapkan angkatan kerja baru dengan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan saat ini maupun pekerjaan di masa depan yang saat ini belum eksis,” kata Prof. Badri yang merupakan profesor ke-463 dimiliki Unair sejak berdiri.

Di kampus berjuluk ‘Garuda Mukti’ itu, Badri juga menjabat sebagai Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan Unair. Tak salah, ia menaruh perhatian besar pada pemeringkatan kampus tercinta di kancah internasional.

Baru-baru ini, lembaga pemeringkatan perguruan tinggi, Quacquarelli Symonds mengumumkan pemeringkatan perguruan tinggi Asia yang disebut Asian University Ranking (QS AUR). Pada ‘klasemen’ terbaru ini, Unair menempati peringkat ke-171, naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya pada posisi ke-190.

Badri mengungkapkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi Unair untuk terus meningkatkan kualitas.

“Paper per faculty, staf PhD, inbound student masih belum banyak meningkat. Ini masih menjadi pekerjaan rumah institusi,” kata Badri.

Senin, 21 Oktober 2019, kala ibu kota tengah berselimut galau menebak-nebak kabinet baru Jokowi, Badri datang ke Jakarta. Di hadapan sekelompok anak muda yang menyebut diri sebagai ‘Airlangga Network’, lulusan magister dan doktoral dari National Cheng Kung University Taiwan ini mengungkapkan isi hatinya.

“Kita harus serius melakukan rekonfigurasi kebijakan jika benar-benar ingin keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah,” tegasnya.

Membandingkan dengan Tiongkok, yang begitu getol menggenjot perekonomian maupun pembangunan sumber daya manusianya, Badri menyebut fakta betapa kita sangat jauh tertinggal. Misalkan, diukur dalam publikasi tulisan ilmiah.

“Di seluruh dunia ada 250 ribu publikasi terkait artificial intelligence, dengan 95 ribu di antaranya dari Tiongkok. Puluhan ribu di antaranya telah dipatenkan secara langsung. Kalau dibandingkan, total publikasi ilmiah Indonesia selama sepuluh tahun terakhir hanya 99 ribu penerbitan, itupun paling banyak dengan topik-topik sosial,” urai Badri.

Badri memaparkan, bak organisasi berskala super, sebuah negara setidaknya harus seizing, rekonfigurasi ekonomi. “Rekonfigurasi yang paling nyata adalah berpindah dari low value added economy ke high value added economy,” tegasnya.

Ia berharap di masa datang, ada pemimpin Indonesia yang tak hanya membuat ekonomi Indonesia lebih efisien dengan membangun infrastruktur jalan, memangkas biaya perizinan, tapi juga melakukan sensing, seizing dan reconfiguring, alias rekonfigurasi ekonomi.

“Kalau tidak begitu, maka postur ekonomi kita pada 2045 akan tetap sama. Apa yang dicita-citakan Pak Jokowi di pidato pelantikan presiden periode kedua bisa sulit tercapai,” katanya.

Badri berharap agar pemerintah dapat segera memutuskan arah prioritas sektor unggulan ekonomi Indonesia ke depan dan secara serius meningkatkan alokasi. Sebagaimana Tiongkok memberi prioritas pada 10 bidang yang jadi keunggulannya, antara teknologi informasi, peralatan penerbangan, perlengkapan rel kereta api, artificial intelligence, peralatan medis, energy saving (baterei), energi terbarukan, dan lain-lain.

Diskusi ekonomi pasca pidato pelantikan Jokowi sebagai presiden periode kedua ini bertema ‘Mampukah Indonesia Keluar Dari Perangkap Negara Berpendapatan Kelas Menengah?’ digelar di Diskusi Kopi dan Ruang Berbagi, Jakarta.

Acara ini digelat oleh ‘Airlangga Network’, sekelompok anak muda lulusan Universitas Airlangga dari berbagai bidang yang bertekad memberi kontribusi peningkatan sumber daya manusia Indonesia menjadi lebih baik.

“Kami sejalan dengan misi pemerintah yang ingin fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Harapannya para alumni Unair juga dapat berkiprah untuk memberi nilai tambah pembangunan sosial ekonomi dan human capital anak muda Indonesia,” kata Wahyu Muryadi, mantan pemimpin redaksi Majalah Tempo yang juga alumni Fakultas Ekonomi Unair.

Perbincangan santai di kawasan Bangka-Kemang, Jakarta Selatan ini juga dihadiri dan didukung beberapa alumnus lain, antara lain Sekjen AJI dan Kepala Pemberitaan CNN Indonesia TV Revolusi Riza, Peneliti Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, mantan tenaga ahli Kantor Staf Presiden bidang komunikasi Jojo Raharjo, Komisaris Kimia Farma Chrisma Aryani Albandjar, presenter TVRI Riga Danniswara, pendiri Haltebus.com AM Fikri, dan socio entrepreneur, founder Perkumpulan Kader Bangsa, Dimas Oky Nugroho dan Project Manager Akar Rumput Strategis Consulting Bagus Balghi.

(jojo raharjo/bti)

RELATED ARTICLES

Most Popular