Friday, March 29, 2024
HomeGagasanAkre dan Pelajaran Dendam

Akre dan Pelajaran Dendam

foto: altaf qadri (AP)

 

Kalah dalam mempertahankan Yerusalem dari tangan pasukan lawannya, Richard Si Hati Singa tak mau menanggung malu lebih dalam ketika kesempatan memenangi pertempuran di depan mata. Akre tinggal menanti jatuh lantaran lawannya, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi, belum berhasil menundukkannya.

Melalui pertempuran dan blokade berbulan-bulan, hingga mencapai 1,5 tahun, kegagalanlah yang dituai Shalahuddin. Ia harus menerima kenyataan pahit: benteng Muslimin direbut pasukan Salib. Perjuangan mempertahankan wilayah Akre tidak bisa mengikuti kesuksesan saat merebut pertahanan Salibis di bumi al-Quds. Akhirnya, Juli 1191, Akre berhasil diambil alih pasukan Richard yang dibantu Philip Augustus dari Prancis.

Shalahuddin sejatinya tidak ingin Akre diserahkan begitu saja. Pantang baginya menyerahkan kota tersebut. Apa boleh buat, kuatnya blokade pasukan Salib membuatnya tidak berdaya untuk melakukan langkah pencegahan efektif.

Mengingat perlakuan baik dirinya, juga kaum Muslimin, saat penaklukan Yerusalem atau al-Quds, ditambah sikap menghargai kedudukan Richard, Shalahuddin masih berharap adanya sikap serupa pada penduduk Akre. Jangan sampai karena berbeda keyakinan dengan pasukan Salib, ataukah dukungan pada Muslimin, rakyat Akre yang tidak berdosa sama sekali mengalami tragedi. Shalahuddin bukan tidak paham perangai para tentara Salib, namun tampaknya ia masih memberikan ruang menyangka baik.

Seperti dituliskan oleh Kelly DeVries, dan kawan- kawan dalam Battles of the Crusades 1097-1444: from Dorylaeum to Varna halaman 118, “Mungkin Saladin yakin bahwa pasukan Salib akan menghormati nyawa penduduk biasa, pion tak berdosa dalam peperangan ini, dan akan memperlakukan mereka dengan belas kasihan yang sama seperti yang telah ditunjukkannya kepada orang-orang yang tidak bisa memberikan tebusan setelah dia merebut Yerusalem pada tahun 1187.”

Tapi apa yang terjadi?

Richard tidak membiarkan mereka, rakyat Akre, pergi begitu saja dengan selamat sebagaimana Shalahuddin memperlakukan pasukan Salib pada kekalahan peperangan Salibis di Yerusalem. “Sebaliknya,” tulis Kelly DeVries “pada tanggal 20 Agustus, dia (Richard) memenggal mereka—pria, wanita, dan anak-anak—2.600 orang jumlahnya menurut perhitungannya.”

“Orang Inggris berusaha membenarkan tindakan ini dengan mengklaim bahwa raja Inggris hanya membalas ketidakmauan Saladin untuk mengembalikan potongan Salib Asli. Selain itu, orang-orang ini tidak segera menyerah setelah dikepung, suatu pelanggaran hukum perang,” tulis DeVries. “Para penulis kronik lainnya tidak terpengaruh: Tindakan Richard sangat keji, suatu kejahatan perang yang biadab sekaligus pengecut.”

Alasan untuk membenarkan tindakan biadab selalu ada. Argumen untuk mengabsahkan tindakan brutal mudah dibuat. Tak peduli akurasi fakta dan kejernihan logika yang dibangun. Intinya: ingin membenarkan tindakan yang amat mengerikan tapi dilabeli hal-hal menarik dan rasional. Kali kesekian kabar mengerikan terberitakan dari Asia Selatan, negeri yang pernah menjadi simbol kerukunan Muslimin dengan pemeluk Hindu dan Budha—selain juga Kristen. Tapi, pekan akhir Februari ini, mengutip laman Republika, sedikitnya 30 orang Muslimin meninggal. Ratusan lagi cedera. Kabar masjid-masjid dan persekusi umat Islam di negeri asal Taj Mahal itu tersiar ke mana-mana. Dan dunia seakan malas untuk bersuara lantang.

India yang menikmati industri pariwisata dari keberadaan Taj Mahal yang notabene warisan dinasti Islam Mughal masa lampau, rupanya memilih ingin menuruti provokasi partai nasionalis setempat. Seakan jutaan saudara sebangsa mereka bukan lagi siapa-siapa, bahkan hanya karena Islam maka identitas keindiaan coba ditutupi.

Kebaikan Muslimin di satu sisi, dan prasangka sebagian warga Hindu radikal ingatkan pada lakon Richard. Ingatan pada keberadaan Islam di bumi mereka berpijak gagal hadirkan sikap arif lagi jernih. Seakan tindakan pemeluk Islam masa lalu adalah teror yang harus dirawat abadi hingga kini. Dus, wajiblah sebuah pembalasan dendam pada para pengikut Nabi Muhammad itu.

Bagi seorang Richard, tidak ada lagi ingatan pada jasa baik Shalahuddin yang pernah mengobatinya dalam luka pertempuran. Tidak ada respek dan menjaga kehormatan dan integritas diri untuk melakukan pembalasan serupa, yakni dengan tidak menurutkan hawa nafsu membantai. Bila lakon masa Shalahuddin ada Richard, hari ini kita dapati nama seperti Narendra Damodardas Modi dan koleganya di Hindu Bharatiya Janata (BJP). Sungguh sayang bila pemerintah India dan para politikus ultranasionalis di sana menjadikan isu agama sebagai komoditas elektoral dengan mengorbankan harmoni yang berlangsung—kendati tak seideal di negeri kita.

 

YUSUF MAULANA

Penulis dan Pemerhati Isu Sosial Politik

RELATED ARTICLES

Most Popular