Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan kiritik tajam kepada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Tak kurang 7 kritik dilontarkan secara lugas dan terbuka dalam forum webinar (Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) pada hari Senin 19 Juli 2021.
Berbeda dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga Ketua Umum IAEI memberikan apresiasi dan rekomendasi perbaikan BPKH dalam pembukannya dengan cara santun dan akademik.
Rasanya kritik tajam yang dilontarkan Menag kurang lazim dan kurang pas disampaikan dalam forum akademik yang prestisius tersebut. Entah apa yang ada dalam benak 500 peserta webinar, umumnya dosen ahli ekonomi Islam, ketika mendengar kalimat-kalimat tajam sang Menag.
BPKH sejatinya adalah anak kandung Kementerian Agama (Kemenag). BPKH dilahirkan oleh Kementerian Agama pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), serta disahkan dan dibentuk oleh Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pada tahun 2017.
Menag Yakut selama ini dikenal membela mati-matian keberadaan BPKH, khuususnya ketika diserang oleh para pengamat dengan pasang badan menyebut, “Dana Haji aman-aman saja”. Tidak heran jika ada dugaan Menag menghajar BPKH, karena setelah audit BPK dana haji dinyatakan aman, mau ditarik kembali ke Kemenag.
Saya dan beberapa pengamat setelah membaca laporan keuangan BPKH hasil audit BPK dan juga diskusi dengan paracalon jamaah haji juga yakin dana haji aman, syariah, likuid dan tidak rugi. Keinginan saya sejak dulu adalah memperkuat BPKH, bukan memperlemah BPKH.
Komentar-komentar pendek saya di media sosial adalah tak ingin Dana Haji digunakan untuk kepentingan di luar haji, misalnya pembangunan infrastruktur.
Namun pernyataan Menag telah membuat saya dan juga banyak orang kembali terperanjat. Tentunya setelah menyimak 7 poin kritikan itu. Coba, perhatikan intinya,
1. BPKH lahir karena ada Penyelenggaraan Haji, bukan sebaliknya.
Memang demikian, Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2014 mengenai Keuangan Haji yang melahirkan BPKH adalah turunan dari UU Nomor 13 tahun 2008 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sebaliknya, penyelenggaraan ibadah Haji tidak bisa dilaksanakan tanpa dana haji.
2. Hasil nilai manfaat BPKH lebih rendah dibanding pada waktu Kemenag mengelola Dana Haji?
Apa betul? Coba cek angkanya. Saya koq tidak yakin kalau hasil nilai manfaat BPKH lebih rendah dibandingkan dengan waktu di Kemenag? Memang waktu tahun 200an, suku bunga atau imbal hasil investasi masih tinggi dibandingkan sekarang. Namun waktu di Kemenag, Dana Haji hanya disimpan di Bank Syariah dan Sebagian Sukuk Dana haji Indonesia (SDHI). Sekarang dana haji ada di Bank Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Reksadana Syariah, Pembiayaan Syariah dan Investasi Luar Negeri. Dengan dana yang lebih banyak dan variasi investasi yang ada. Logisnya, nilai manfaat dana haji lebih tinggi saat ini.
3. Pertanyaan mengenai rendahnya imbal hasil BPKH.
Kalau imbal hasil 4,5% (neto) masih dianggap rendah tentu jawabannya bisa diduga bahwa investasi lansgung dengan imbal hasil tinggi saat ini berisiko rugi.
Mau investasi properti? Hotel? Investasi pabrik? Infrastruktur? Saham? Silahkan jika nekad.
Investasi di Arab Saudi tentu menguntungkan, tetapi dalam 2 tahun terakhir ini ada Covid, siapa berani? Untung BPKH tidak jadi investai di penerbangan, hotel atau catering di Arab Saudi. Bisa-bisa mereka masuk penjara karena rugi.
4. Pengurus BPKH ingkar janji pada waktu fit and proper di DPR.
Sebaiknya DPR yang menanyakan, bukan Menag jika terkait dengan janji calon pengurus pada waktu fit and proper.
5. Jika belum bisa berinvestasi di Arab Saudi sebaiknya investasi di proyek nasional di dalam negeri.
Mungkin Menag bisa menyampaikan proyek nasional mana yang beliua maksudkan, apakah proyek infrastruktrur? Apakah proyek strategis nasional lainnya. Saya yakin pasti BPKH sdh menjajagi semua kemungkinan investasi di sektor tersebut.
6. Menag mencurigai BPKH mendorong tumbuhnya dana talangan haji.
Pertanyaan saya, bukannya Kemenag yang meregulasi dana talangan? Jika regulasi Kemenag tegas, maka dana talangan haji bisa dihindari. Observasi saya sejak BPKH hadir, Bank Syariah Haji tidak boleh memberikan dana talangan haji.
7. Terakhir, kata Menag, kesimpulannya keberadaan BPKH perlu dieavaluasi.
Aneh juga kesimpulan ini. Kenapa jika Kemenag akan mengevaluasi kinerja BPKH harus lapor ke publik lewat webinar. Bukannya sesuai UU, Menag mendapatkan laporan dari BPKH dan melakukan evaluasi secara regular?
Itulah kira-kira ringkasan 7 kritik Menag kepada BPKH yang rawan untuk dijawab balik dengan data yang valid. Saran saya sebelum melakukan kritik perlu ada data dan analisis yang mutakhir dan rekomendasi yang faktual. Kalau saya melihat 7 kritik tersebut dibahas bilateral antara Kemenag dengan BPKH.
Kurang elok juga, jika BPKH langsung melakukan sanggahan terhadap 7 kritikan dari Menag tersebut. Bakal dengan mudah digoreng oleh pihak ketiga yang sama sekali tidak mengikuti dengan jeli apa yang terjadi selama ini.
Dalam beberapa kegiatan resmi dan kunjungan daerah, saya melihat Menag dan Kepala BPKH Anggito Abimanyu cukup akrab dan saling bersilaturahmi. Saya pun mengenal dengan baik kedua tokoh ini. Keduanya sangat santun. Tetapi dalam berdebat, keduanya juga sangat ahli dan hebat. Sulit bagi siapapun untuk mampu berhadapan dengan mereka.
Saya menyarakankan, tentu evaluasi yang masih berupa asumsi, bisa disampaikan dalam kesempatan informal seperti itu juga.
Setelah viral pembatalan haji, pengadaan vaksin, perjalanan Luar Negeri Menteri, rangkap jabatan Rektor UI, kayaknya media akan kembali disuguhi drama Menag mengambil alih BPKH. Mudah-mudahan tidak terjadi, cukuplah kita fokus pada masalah penanganan Covid dan pemulihan ekonomi. Cukup Menag memanggil Kepala BPKH, membuat kesimpulan bersama, lalu menyampaikan kepada public isi dari kesimpulan itu. Kalau perlu, Sembilan kesimpulan, bukan hanya tujuh.
INDRA J PILIANG
Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara