Saturday, April 20, 2024
HomeGagasan40 Tahun Kepergian Bung Hatta: Sudut Pandang Ahmad Husein

40 Tahun Kepergian Bung Hatta: Sudut Pandang Ahmad Husein

foto: istimewa

 

Tanggal 14 Maret 2020 mendatang, keluarga besar Bung Hatta sudah tentu memperingati 40 tahun kepergian Sang Proklamator asal tanah Minang itu. Mari kita coba ulas bagaimana kesederhaan dan kebersahajaan beliau sebagai salah satu founding father Indonesia. Kebetulan saya mendapatkan kiriman video dari Dr. Aris Poninan, dosen saya di Pasacasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) mengingatkan kita akan kebesaran jiwa proklamator kita itu. Mengapa kebesaran jiwa? Karena sewaktu Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin, Bung Hatta sebagai wakil presiden hanya dianggap sebuah simbol saja. Tidak berperan sama sekali. Untuk itulah kemudian, Bung Hatta mengundurkan diri. Berbagai pihak membujuk beliau untuk kembali, Bung Hatta tetap keras kepada pendiriannya dan tidak mau kembali menjadi wakil presiden lagi.

Sebagai generasi yang lahir tahun 50an, sudah tentu saya mengetahui kisah Bung Hatta dari ilmu sejarah. Tetapi, saya masih sempat bertemu pelaku sejarah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Ahmad Husein dan ia berbicara juga tentang Bung Hatta.

Dua kali saya bertemu dengan pimpinan PRRI, Ahmad Husein tersebut di rumahnya di Jakarta. Pertemuan dua kali itu dalam keadaan sakit di rumahnya di Jakarta.

Waktu itu, Ahmad Husein tidak lagi setegar dulu, tidak lagi bersuara keras. Tetapi duduk di kursi roda. Saya hanya menanyakan kepada beliau, “Apakah Bapak pemberontak?” Dia menjawab, “Tidak!”

Meski suaranya sudah tak lagi setegar dulu, tetapi istrinya yang selalu setia mendampinginya selama ini ikut mengamini. Juga tentang surat Bung Hatta kepada suaminya, Ahmad Husein.

Malam tadi, saya mencoba menerawang kembali, mengingat pertemuan dengan seorang tokoh Sumatera Barat itu yang pernah menggegerkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Juga ingin mengulas perjuangan Ahmad Husein selama ini.

Sudah tentu, saya menundukan kepala sambil berdoa pada 28 November 1998. Itulah hari wafat salah seorang putera terbaik bangsa, Ahmad Husein. Ia dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang, Sumatera Barat.

Nama Ahmad Husein sudah tidak kita dengar lagi tahun-tahun belakangan ini. Ahmad Husein dianggap identik sebagai “pemberontak.” Buat saya, ia tetap seorang militer yang menyaksikan di sekitar Bung Karno banyak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Itulah pertemuan terakhir dengan Ahmad Husein sebelum meninggalkan alam fana ini. Dia terduduk sopan di kursi rodanya. Di sebuah perumahan yang halamannya cukup luas. Tenang, sepi, dan hanya ditemani istri yang selalu setia mendampinginya. Menurut sang istri tidak ada yang bisa dikatakan lagi tentang perjuangan Bapak. Dia tidak mampu membela dirinya bahwa “Bapak bukanlah pemberontak.” Ya, memang dia pasrah, duduk dengan tenang di kursi rodanya, seirama ketenangan lingkungan rumahnya yang juga sepi dari hiruk pikuk keramaian ibu kota.

Nama Ahmad Husein tidak dapat dilepaskan dari sebuah gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang di masa Presiden Soekarno dianggap sebagai “pemerintah tandingan,” pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang Sumatera Barat. Dialah salah seorang pejuang yang berani mengultimatum Pemerintah Pusat agar mau memenuhi beberapa tuntutan daerah. Peristiwa ini merupakan peristiwa paling serius dan terbesar, baik dalam skala waktunya, maupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Ahmad Husein sendiri lahir di Kota Padang, 1 April 1925. Perjalanan hidupnya penuh onak dan duri. Sejak kecil hidup dalam alam perjuangan, masuk hutan, keluar hutan. Bahkan dengan seringnya masuk hutan, anak perempuannya mengalami cacat, karena istri waktu itu sedang hamil, juga ikut masuk dan keluar hutan.

Karier Ahmad Husein berlatar belakang militer. Ketika zaman proklamasi sampai tahun 1950, menjabat Komando Resimen TNI Harimau Kuranji di Padang. Tahun 1956-1958, Panglima Komando Daerah Militer/Penguasa Perang Daerah Sumatera Tengah merangkap Kepala Pemerintahan Sumatera Tengah dan Ketua Dewan Banteng, sebelum berstatus sebagai tahanan politik pada tahun 1961-1965.

Sejarah PRRI berawal dari penyataan “Piagam Perjuangan,” sebuah ultimatum Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Perjuangan yang dibacakan Kolonel Simbolon pada tanggal 10 Februari 1958. Piagam tersebut berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno agar “bersedia kembali kepada kedudukannya yang konstitusional” dan menghapuskan segala tindakan yang melanggar Undang-Undang Dasar serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan.

Tuntutan tersebut dirinci sebanyak lima butir:

Pertama, supaya Kabinet Djuanda dibubarkan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Kedua, agar dibentuk Zaken Kabinet Nasional di bawah suatu panitia pimpinan Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX.

Ketiga, agar kabinet baru diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilihan umum yang akan datang.

Keempat, agar Presiden Soekarno/Pj.Presiden membatasi diri menurut konstitusi.

Kelima, apabila tuntutan di atas tidak dipenuhi dalam tempo 5 x 24 jam, maka Dewan Perjuangan akan mengambil langkah kebijakan sendiri.

Ketika “Piagam Perjuangan,” tersebut dibacakan melalui RRI Padang, Presiden Soekarno tidak berada di Indonesia, melainkan sedang di Tokyo, Jepang. Meskipun demikian, Kabinet Djuanda buru-buru mengadakan Sidang Darurat. Setelah Perdana Menteri Djuanda berunding dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Madya Suryadarma dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Madya Subyakto, dia dengan tegas menolak “ultimatum” Dewan Perjuangan.

Sementara itu, Presiden Soekarno setelah menjalani cuti istirahat selama lima minggu, tanggal 16 Februari 1958 kembali ke Jakarta dari Tokyo, Jepang. Dia langsung memerintahkan aksi militer untuk menjawab tantangan PRRI. Juga diperintahkan untuk menagkap Ahmad Husein, termasuk Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Barlian, Kolonel A.Kawilarang, Letnan Kolonel H.N.Ventje Samuel dan Kolonel J.F.Warouw.

Sebaliknya di pihak Ahmad Husein tidak mau menyerah. Dia pun mengumumkan berdirinya “Pemerintah Tandingan,” yaitu apa yang dinamakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan ibu kota di Padang, Sumatera Tengah (sekarang Sumatera Barat). Sjarifuddin Prawiranegara, salah seorang puncuk pimpinan Masyumi, diangkat sebagai Perdana Menteri. Para menteri dalam susunan kabinet tandingan ini terdapat nama Letnan Kolonel Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Burhanuddin Harahap, Menteri Pertahanan dan Kehakiman, kemudian kedudukan Menteri Perdagangan dan Perhubungan dijabat Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo.

Akhirnya perang antara daerah dan pusat meletus sejak bulan Maret 1958 hingga Agustus 1961. Perang pusat dan daerah terlama dan dibayang-bayangi kekuatan laut dari Angkatan laut Amerika Serikat yang berpangkalan di Singapura. Sebetulnya Djuanda terus terang melukiskan keputusan pemerintah untuk melakukan aksi militer merupakan pilihan paling sulit.

Pada waktu itulah Bung Hatta berada dalam dilema ketika Ahmad Husein ingin mengembalikan posisi Dwi Tunggal. Sebelum perang meletus, Bung Hatta menyurati dan mengimbau Ahmad Husein secara pribadi agar tidak melakukan sikap keras, tetapi tetap saja ditolak. Hal ini sudah tentu tidak kentara ketika beliau menceritakan pengalaman hidupnya di atas kursi roda, saat sakit, saat-saat terasing dari dunia ramai. Hanya istrinya yang selalu setia di sampingnya, kadang-kadang ikut mengulang pembicaraan suaminya agar lebih jelas.

“Sejak kecil, saya dianggap anak yang tidak macam-macam. Pendiam dan sangat hati-hati,” ujar Ahmad Husein mengawali pembicaraannya. “Saya lahir dalam suasana perjuangan. Kedua orang tua saya berasal dari Sumatera Barat. Ayah saya Abdul Kahar, memiliki rumah obat (apotik), di samping bekerja di sebuah rumah sakit tentara di kota Padang. Kelak keahlian ayah saya mengalir kepada saya. Saat keluar dari rumah tahanan militer, yang pertama kali saya lakukan adalah membuat limun. Resep itu saya peroleh dari ayah.”

“Tentang ibu,” lanjut Ahmad Husein, “Ibu saya bernama Sa’adijah. Orangnya sangat sederhana. Kasih sayang yang diberikan kepada kami bersaudara sangat membekas sampai sekarang. Sejak kecil kami selalu diajarkan bertingkah laku mengikuti adat istiadat masyarakat Minangkabau. Adat Bersendi Syarak dan Syarak Bersendi Kitabullah. Agama merupakan dasar utama pendidikan kami. Sampai hari ini merupakan landasan hidup saya.”

Oleh karena itulah, kadangkala apa yang diinginkan Ahmad Husein itu sebetulnya perlu dicermati, karena memiliki latar belakang tersendiri. “Saya ingin Bung Karno waktu itu jangan terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI),” tegas Ahmad Husein. “Ketika Bung Hatta secara resmi mundur sebagai Wakil Presiden RI tanggal 1 Desember 1956, maka Presiden RI tersebut kehilangan teman untuk berdialog. Makanya kami ingin mengembalikan Dwi Tunggal antara Soekarno-Hatta. Mereka sudah cocok untuk mengantarkan bangsa ini mengarungi cita-citanya. Makanya saya ingin sekali mengembalikan Dwi Tunggal itu.”

Ternyata keinginan Ahmad Husein untuk menyatukan kembali Dwi Tunggal ditolak Bung Hatta. Dalam suratnya tertanggal 4 Maret 1957 Hatta menulis (ejaan mengalami perubahan, tanpa mengubah arti):

Jakarta, 4 Maret 1957

Merdeka!

Sampai sekarang saya berdiam diri, karena pengambilan kekuasaan oleh Dewan Banteng di Sumatra Tengah dengan tuntutan saya kembali menjadi wakil presiden, supaya dengan itu dwi tunggal utuh kembali menempatkan saya dalam keadaan yang sulit. Saya meletakkan jabatan sebagai wakil presiden atas keyakinan, bahwa sebagai orang biasa, saya akan lebih/banyak dapat membantu usaha-usaha pembangunan serta memperbaiki moral politik daripada duduk sebagai wakil presiden konstitusional.

Keadaan di Sumatra Tengah sekarang, saya pandang sebagai suatu fait accompli sementara, yang perlu disalurkan kembali ke jalan yang normal. Saya berharap, supaya saudara menjaga keutuhan dan persatuan untuk kepentingan negara seluruhnya. Pusatkanlah usaha pada pembangunan dan ajak rakyat ikut serta membangun secara gotong royong untuk keselamatan bersama. Jagalah supaya jangan ada (ada kalimat tidak jelas) yang memancing di air keruh, yang ingin menjadikan kita berpecah belah. Betapa juga persengketaan sementara dengan pusat, cita-cita dan tujuan kita tetap: “Indonesia satu, tidak berpecah belah.”

Saya akan berusaha, supaya pemerintahan otonomi yang luas dan tepat bagi daerah-daerah terlaksana dalam waktu singkat.

Wassalam

(Tandatangan Bung Hatta)

Di dalam surat Bung Hatta itu terdapat istilah Dewan Banteng. Dewan ini dibentuk Ahmad Husein di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Latar belakang dibentuknya dewan ini menurut Ahmad Husein bersumber pada pengalaman pahit selama sebelas tahun dalam melaksanakan apa yang dinamakan demokrasi.

“Tidak dapat disangkal bahwa sistem sentralisme mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat, stagnasi dalam segala lapangan pengembangan daerah, sehingga mengakibatkan seakan-akan seluruh rakyat menjadi apatis dan kehilangan inisiatif, apalagi adanya unsur-unsur dan golongan-golongan yang hendak memaksakan kemauan mereka yang tidak sesuai dengan alam pikiran rakyat Indonesia yang demokrasi dan bersendikan ke-Tuhanan,” demikian Ahmad Husein menjelaskan latar berlakang berdirinya Dewan Banteng.

Tak lama kemudian, pada 22 Desember 1956, kolonel M. Simbolon mengkuti langkah Ahmad Husein dengan membentuk Dewan Gajah di Medan.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan dan Penulis Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular