Saturday, April 20, 2024
HomeGagasan1 Mei 1963: Mengenang Masuknya Papua ke Wilayah NKRI

1 Mei 1963: Mengenang Masuknya Papua ke Wilayah NKRI

Tentang sejarah nama Papua sekarang ini diawali dari nama Irian Barat oleh Presiden Pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno. Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973, nama Irian Barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya. Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua.

Tanggal 1 Mei selama ini hanya dikenal Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap tahun. Tetapi yang perlu diingat pula, tanggal 1 Mei, sejak tahun 1963 di Indonesia adalah hari bersejarah tetapi sering dilupakan.

Pada 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan  pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia. Hari bersejarah itu menjadi tanda berakhirnya penjajahan Belanda di Tanah Air.

Meski bangsa Indonesia mengakui bahwa 1 Mei 1963 adalah hari Pembebasan Papua dari kolonial Belanda, tetapi dunia internasional mengakui secara sah bahwa Papua adalah bagian Negara Indonesia, yaitu setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir tahun 1969 wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada awal tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera.

Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni sebagai berikut:

-Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 Maret 1969. Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.

-Tahap kedua, diadakan pemilihan Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969.

-Tahap ketiga, dilaksanakan Pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.

Pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.

Persoalan Papua bukan berhenti tahun 1963 itu, karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang merupakan gerakan separatis, didirikan tahun 1965 menentangnya. OPM memang bertujuan bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat lepas dari Pemerintah Indonesia.

Istilah (Kelompok Kriminal Bersenjata) KKB merupakan istilah yang pas untuk mengatakan bahwa mereka kelompok bersenjata dan berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi setiap kelompok bersenjata di NKRI harus ditumpas habis. Setelah kemerdekaan banyak sekali kelompok bersenjata, seperti Pemerintahan Revolusioner RI di Sumatera Barat, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan gerakan separatis lainnya.

Ketika saya kuliah di Universitas Cenderawasih di Abepura, Jayapura, tahun 1975-1980, setelah tahun 1979 meraih Sarjana Muda Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih, Abepura, Papua, OPM banyak berkeliaran di kampus. Karena saya terlibat di dalam organisasi ekstra Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jayapura, Pangdam Cenderawasih waktu itu, CI Santoso, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) sering menanggil saya untuk berdiskusi tentang OPM. Jadi saya paham betul tentang sepak terjang OPM di Papua, khususnya di kampus Universitas Cenderawasih.

OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah bagian Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya. Warna kulit dan spesifik tubuh mereka, tidak sama dengan penduduk Indonesia lainnya. Fakta sejarah menunjukkan, Papua bersatu ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia, di mana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia.

Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.

Pada tanggal 1 Juli 1971, Nicolas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Namun, pemerintahan ini berumur pendek karena ternyata segera ditumpas oleh militer Indonesia di bawah perintah Presiden Soeharto.

Tahun 1982, Dewan Revolusioner OPM didirikan di mana tujuan dewan tersebut adalah untuk menggalang dukungan masyarakat international untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Gerakan Non-Blok (GNB), Forum Pasifik Selatan, dan Association of South East Asia Nation (ASEAN).

Latar belakang pemberontakan biasanya diawali dari ketidakpuasan masyarakat daerah atas kebijakan pemerintah yang dirasa kurang adil. Ketimpangan ekonomi, benar menjadi salah satu faktor.

Memang tidak mudah buat Presiden Soekano mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri maupun berbagai usaha Belanda untuk kembali menjajah. Presiden Soekarno pun tidak luput dari usaha pembunuhan.

Sebelum proklamasi, terjadi perdebatan tentang wilayah mana saja yang bisa dikategorikan sebagai Indonesia. Sejak saat ini sudah terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin di satu pihak dengan Hatta di pihak lain. Mengapa demikian?

Ketika saya menghadiri sebuah diskusi bersama seorang peneliti tentang Asia Tenggara, Dr. Stepene Douvert di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ia memberikan sumber peta dari Muhammad Yamin bertahun 1959. Kemudian dapat dilihat di sini peta Indonesia 11 Juli 1945  yang dicita-citakan Soekarno dan Yamin. Keduanya memasukkan Malaysia, Timor Timur, Kalimantan hingga Papua Barat sebagai wilayah RI. Berbeda dengan Mohammad Hatta. Ia tidak memasukan wilayah Malaysia Barat, Kalimantan sebelah utara, Timor Timur dan Papua bagian Barat dalam peta Indonesia.

Jadi sejak Juli 1945, sebelum Indonesia merdeka, perbedaan pandangan antara Soekarno, Yamin dan Hatta sudah terlihat dalam menentukan pulau-pulau mana yang termasuk bagian Indonesia dan mana yang tidak. Tetapi bersyukurlah setelah Proklamasi tidak memunculkan perpecahan mereka dalam bidang politik. Yang terjadi, Soekarno-Hatta menjadi dwi tunggal yang tidak mungkin dipisahkan. Memang harus juga diakui, pada akhirnya dwi tunggal itu terpecah juga dengan pernyataan Wakil Presiden Bung Hatta yang mengundurkan diri.

Di masa pemerintahan Soeharto muncul pertanyaan, yaitu dengan melihat peta impian Indonesia menurut Soekarno dan Yamin yang memasukan Timor Timur menjadi bahagian Indonesia, lalu Soeharto kemudian memujudkan impian Soekarno dan Yamin itu?

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Wartawan dan Sejarawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular