Friday, April 19, 2024
HomeGagasan"Wes Wayahe"

“Wes Wayahe”

(foto: istimewa)

 

“Wis Wayahe”. Kalimat ini bergema di Pesantren Al-Anwar, Sarang saat Prabowo Subianto sowan ke KH. Maemoen Zubair September tahun lalu. Hampir semua santri dari lantai satu hingga lantai tiga menggemakan suara “Wis Wayahe”… Bercampur gema shalawat dari lidah ribuan santri. Suara ini mengiringi perjalanan Prabowo dari “ndalem” KH. Maemoen Zubair ke “ndalem” KH. Najih Maemoen Zubair, sang putra yang terang-terangan mendukung dan mengkampanyekan Prabowo for President.

Santri berani teriakkan “Wis Wayahe”, tentu setelah para santri yakin Sang Kiyai mendukung penuh Prabowo jadi presiden. Dukungan ini dibaca para santri dari isi ceramah dan doa Mbah Moen. Terang dan jelas. Doakan Prabowo jadi presiden. Publik bisa melihatnya di kanal YouTube.

Ceramah dan doanya natural. Tanpa diminta, apalagi “diintervensi”. Tak ada ralat doa. Tak ada selfie di kamar. Sebab, yang di kamar hanya ada KH. Maemoen Zubair dan Prabowo. Tak ada kamera dan tukang foto. Kedua tokoh ini juga tak suka selfie. Keikhlasan menjadi rahasia hubungan mereka dengan Tuhan.

Di “ndalem” Mbah Moen, Prabowo dapat perlakuan cukup istimewa, bila dibandingkan politisi yang lain. Terutama jika dikait-kaitkan dengan isu Pilpres kali ini. Setiap kali melangkah, tangan mulia Mbah Moen menggandeng erat Prabowo. Gandengan penuh energi. Diajak ke kamar khusus, lalu diminta untuk naik mobil putih. “Mobil saya ini seperti mobil presiden”, kata Mbah Moen. Gak tahu apa maksud Kiai sepuh ini. Hanya Allah, beliau dan Prabowo yang tahu.

Saat Prabowo digenggam tangannya oleh Mbah Moen dan diajak ke kamar di tengah keramaian para ulama dan tamu di ruang depan, Gus Najih, putra Mbah Moen berbisik kepada salah satu santri: Prabowo menang. Insya Allah. Si santri kaget. Buru-buru Gus Najih melanjutkan: “2014 Jokowi yang diajak ke kamar, dan 2019 ini Prabowo yang diajak ke kamar”. Lagi-lagi, Gus Najih mengakhiri statement-nya dengan kalimat:”InsyaAllah”.

Runut peristiwa yang unik, kendati tetap natural inilah yang meyakinkan di benak santri Al-Anwar saat itu bahwa Mbah Moen dukung Prabowo. Maka lahirlah teriakan ‘Wis Wayahe”. Opo iku “Wis Wayahe”?

Setelah ditelusuri maksud dan arti “Wis Wayahe” ternyata artinya adalah “sudah saatnya Prabowo jadi Presiden”. Oh… Ternyata… Maka tak terlalu mengejutkan ketika 1 Pebruari 2019 lalu Mbah Moen berungkali dalam doanya menyebut nama Prabowo jadi presiden, meski di sampingnya ada Pak Jokowi. Presiden yang berstatus petahana di Pilpres 2019.

Video tentang doa Mbah Moen ini sempat viral di medsos dan jadi perbincangan publik. Media, baik elektronik, cetak maupun online seolah sedang dapat berkah. Tema doa Mbah Moen tinggi ratingnya. Di tengah polemik doa Mbah Moen, Gus Najih membuat closing dalam salah satu pidatonya: “Ayah saya tidak keliru dalam berdoa. Beliau memang sering berdoa untuk Pak Prabowo”. Kelar! Karena yang membuat statement adalah sang putra tertua kedua dari Mbah Moen. Polemik berhenti. Dan memang sudah saatnya untuk berhenti.

Kata “Wis Wayahe” terus populer di kalangan masyarakat Jawa. Kata ini semacam bentuk antusiasme bahwa 2019 terjadi pergantian presiden. Jokowi lengser, Prabowo menggantikannya. Terjadi suksesi melalui pemilu yang sah.

Artinya, di Pilpres 2019 ini Jokowi kalah, begitulah kesimpulan akhir dari narasi “Wis Wayahe” dari para santrinya Mbah Maemoen Zubair. Bagaimana menjelaskan optimisme itu?

Meski pemilu belum digelar, antusiasme dan harapan santri Sarang yang diungkapkan dengan kata “Wis Wayahe” sepertinya punya peluang besar. Ada tiga teori yang setidaknya bisa menjelaskan antusiasme para santri itu.

Pertama, militansi idelogis biasanya memenangkan pertempuran melawan kekuatan logistik. Pendukung pasangan calon 02 militan. Iuran dan saweran untuk kebutuhan logistik kampanye. Tidak hanya orang dewasa, mahasiswa dan wanita kecil seperti Gendis ikut saweran. Sementara pasangan calon 01 banjir logistik, baik untuk suatu acara atau dalam bentuk bagi-bagi sembako yang akhir-akhir ini masif menyerbu warga, dari jalan raya hingga ke gang-gang rumah warga.

Kedua, meminjam teori Ibnu Khaldun, ketika penguasa “dianggap rakyat” telah melampaui batas kewajaran norma dan mengabaikan aturan, maka prilaku politiknya cenderung berpeluang menggerus simpati dan dukungan rakyat. Saat itulah besar peluangnya terjadi suksesi (pergantian).

Ketiga, adanya silent majority. Dalam survei disebut dengan “undecided voters” yang jumlahnya cukup besar. Apalagi, dari sejumlah survei, termasuk yang dilakukan oleh Kompas, sebagaimana yang diungkapkan Sofyan Wanandi Senin (18/3/3019) malam, elektabilitas petahana dibawah 50 persen. Ini bentuk nyata hukuman rakyat kepada petahana, kata Eep Syaefullah Fatah, CEO PolMark dan mantan penasehat politik Jokowi di 2014.

Jelas, ini indikasi bahwa kekecewaan dan kemarahan rakyat tak lagi bisa dikendalikan. Dalam sistem demokrasi, kemarahan itu akan tertumpahkan di TPS 17 April 2019. Pilgub DKI 2017 adalah representasi terbaik untuk menggambarkan silent majority. Ahok kalah telak, kendati survei selalu memanjakannya dengan angka-angka yang bombastis. Lebay!

Tiga teori ini bisa jadi referensi yang representatif untuk mengurai analisis semangat “Wis Wayahe” dalam konteks pilpres 2019. Akankah teriakan santri Al-Anwar Sarang ini akan jadi kenyataan? Kalau lihat hasil survei, peluang takdirnya makin membesar. Kabarnya, elektabilitas Prabowo-Sandi sudah menyalib dan memimpin di depan. Kita tunggu saja finalnya tanggal 17 April nanti.

Jakarta, 19 Maret 2019

 

Dr. TONY ROSYID

Pengamat Politik

RELATED ARTICLES

Most Popular