Friday, April 19, 2024
HomeBerita AllTjahjo Kumolo: Pemda Harus Punya Peta Rawan Bencana

Tjahjo Kumolo: Pemda Harus Punya Peta Rawan Bencana

images

JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo meminta kepala daerah untuk memiliki peta rawan bencana. Perintah itu sebagai tindak lanjut dari bencana kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Dalam acara Rakornas Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Daerah, Mendagri meminta adanya peta rawan bencana dalam rangka menghadapi ancaman nasional berupa bencana alam, pada periode mendatang.

“Gubernur, bupati harus menganggarkan untuk deteksi dini kerawanan bencana. Sehingga kalau ada sedikit bencana di daerah bisa menutup, juga supaya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bisa langsung masuk supaya penanganan dapat cepat terkendali,” ujar Tjahjo di Hotel Grand Sahid tempat acara Rakornas berlangsung, Kamis (22/10).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga sudah mengamanatkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memiliki pemetaan rawan bencana itu. Sementara menurut Tjahjo, tugas Kementeriannya adalah memastikan payung hukum bagi pejabat di daerah supaya bisa mencairkan dana untuk deteksi dini. Belajar dari permasalahan pembakaran lahan gambut dan hutan yang kini masih berlangsung, deteksi dini bencana sangatlah penting.

Namun, kenyataan di lapangan, Pemda cenderung tak bisa bergerak luwes menganggarkan untuk hal-hal diluar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka sebagai pejabat daerah. Untuk itulah, Mendagri berusaha memasukkan pendeteksian dini bencana sebagai kewajiban Gubernur dan Bupati. Melalui rakornas, Tjahjo berusaha memformulasikan bagaimana kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah terlaksana.

“Ini sedang dibahas, supaya daerah itu bisa mengeluarkan apa dari Dana Alokasi Khusus (DAK), apa masuk dana hibah. Pokoknya daerah harus bisa melaporkan deteksi dini cepat supaya BNPB bisa bergerak,” imbuh mantan Sekjen PDIP itu.

Sedangkan menurut Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan, Agung Mulyana menjelaskan bahwa selama ini pemerintah belum konsisten dalam menetapkan tata cara pengeluaran, khususnya dalam biaya tak terduga. Sehingga, pejabat daerah sering ketakutan, apalagi dibuktikan dengan banyaknya tersangka dari daerah yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Banyak biaya tak terduga yang mengakibatkan banyak tersangka,” ujar Agung saat diwawancara di kesempatan yang sama.

Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan Kemendagri, bagaimana mengatur pengeluaran biaya tak terduga dalam menanggulangi bencana. Sementara “sabda alam” itu tak dapat diduga-duga datangnya, terlebih mendekati bulan Desember yang artinya musim hujan. Indonesia sendiri ibu kotanya seringkali dilanda banjir tahunan.

Agung juga menjelaskan dana-dana yang sudah digelontorkan untuk menangani bencana tanpa ada deteksi dini. Menurutnya, biaya untuk penanganan jauh lebih besar daripada biaya pencegahan yang bisa menghindarkan masyarakat dari bencana. Sebagai contoh, erupsi Gunung Sinabung memakan biaya sebesar Rp 1,7 triliun. Sedangkan bencana banjir DKI Jakarta memakan biaya Rp 5 triliun.

“Kejadian bencana meningkat signifikan selama 10 tahun terakhir dan menelan biaya Rp 124 triliun lebih,” pungkas Agung.

(msa/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular