Friday, March 29, 2024
HomeGagasanSyura Bukanlah Demokrasi

Syura Bukanlah Demokrasi

download

Tulisan ini saya buat sebagai tanggapan atas tulisan Dr. Muchtar Effendi Harahap (Dosen FISIP dan Direktur Pasca Sarjana Universitas Jayabaya). Terima kasih atas tulisan anda tentang masalah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 dalam kaitannya dengan sistim Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) dalam memilih Rais Aam.  Sistem AHWA adalah mekanisme yang diterapkan untuk memilih Rais Aam PBNU oleh 9 ulama senior dengan cara musyawarah mufakat. AHWA beranggotakan 9 ulama NU senior yang dipilh dengan kriteria: beraqidah Ahlussunnah wal Jamaah al Nahdliyah, wara’, zuhud, bersikap adil, berilmu (‘alim ), integritas moral, tawadlu’, berpengaruh, dan mampu memimpin.

Dalam sebagian tulisan tersebut Dr. Muchtar Effendi Harahap mengatakan bahwa: “….. Apa yang terjadi pada Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur sesungguhnya sudah terjadi juga di ormas-ormas Islam besar lain, yakni fenomena ‘parpolisasi’ di Indonesia era reformasi. Peran rekruitman parpol bukan saja ke dalam pemerintahan, tetapi telah meluas ke dalam dunia usaha dan masyarakat madani. Metode rekruitmen digunakan ‘transaksional’ yakni memfasilitasi dengan uang/dana dan kemudahan-kemudahan lain yang membutuhkan kapital/modal kepada para pemilik suara dan para pengembira agar memberikan dukungan terhadap pengambilan keputusan pemilihan pengurus ormas tersebut. NU menjadi sangat terbuka karena ada parpol (PKB) yg konstituennya dominan warga NU dan  sedang dalam posisi parpol berkuasa di pemerintahan. Kepentingan Parpol atas penguasaan NU tentu dalam rangka mempertahankan kekuasaan atau meningkatkan. Saat Muktamar NU berlangsung,  Kubu Gus Solah membeberkan,  harga dukungan AHWA Rp 15-25 Juta Per PCNU. Kelompok tertentu di Muktamar menghendaki metode AHWA dalam proses pengambilan keputusan. AHWA bermakna metode musyawarah mufakat, bukan one man one vote. Tapi, menurut Gus Solah, AHWA tidak dikenal di dalam AD/ART NU. Warga NU diperebutkan paling tidak oleh kader PKB, PPP, dan Golkar. Kalau Muhammadyah diperebutkan oleh kader PAN, PPP dan Golkar. Kader-kader parpol juga sudah terlihat ikut memperbutkan kekuasaan kekuasaan atau pengurus di Muhammadyah. Kultur transaksionalisme yang sebelumnya terbebas dari ormas-ormas Islam ini, kemudian  diperkenalkan dan dilembagakan oleh kader parpol yang sudah terkena atau tercemar ketika menjadi pejabat pemerintahan, misalnya DPR/DPRD, Menteri, Gubernur/Walikota/Bupati dan juga di dalam dinamika internal parpol itu sendiri. Di saat penyelenggaraan kongres atau muktamar parpol, perilaku transaksionalisme dapat ditemukan secara terbuka dalam pemilihan pengurus terutama  Ketua Umum. Fenomena parpolisasi ini memproduksi perilaku transaksionalisme dan juga koruptif. Kultur ideologis digusur kultur transaksionalisme, AD/ART disesuaikan kepentingan kelompok transaksionalisme.  Sebuah organisasi berkultur transaksionalisme pasti ‘elitis’ tidak berkerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan kebanyakan anggotanya. Karena sumber masalah kultur transaksionalisme ini adalah parpol, maka fenomena parpolisasi di Indonesia harus diminimalkan atau harus ada upaya deparpolisasi antara lain melalui regulasi.”

Demikian tulis Dr. Muchtar Effendi Harahap. Saya akan menanggapi tulisan diatas dengan memulainya melalaui pembahasan apa itu syura.

SYURA

Rasanya terlalu jauh jika kita kaitkan antara sistem Ahlul Halli Wa Aqdi (AHWA) pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang Jawa Timur ini dengan transaksional guna kepentingan suatu partai atau kekuasaan.

Sebenarnya syura adalah landasan dari AHWA sebagai salah satu konsep dalam Islam yang mengatur tentang kesetiakawanan, kerjasama dan pengaturan berbagai urusan masyarakat, kini kurang menjadi diskursus yang intens dalam masyarakat Islam. Padahal konsep tersebut (syura) diwajibkan Al Qur’an untuk diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu penyebabnya adalah sebagian umat Islam terpolusi oleh suatu persepsi yang keliru yaitu mengidentikkan syura’ dengan demokrasi. Ketika saya belajar agama di Dacca, Pakistan Timur yang sekarang berubah namanya menjadi Bangladesh, saya merasakan suasana pemilihan atau menentukan segala sesuatu berdasarkan syura’ dan implementasinya dalam AHWA.

Saat ini orang banyak mengagungkan one man one vote, padahal disanalah justru letak sumber masalah kesemrawutan dan ketidakadilan. Karena bisa saja sesuatu keputusan yang buruk terjadi hanya karena didukung oleh jumlah pendukung yang notabene memang berakhlak buruk atau tidak punya pengetahuan dan aqidah yang cukup. Syura sebagai kesetiakawanan jamaah, kekuatan serta kemerdekaan individunya, dan hak-hak mereka sebagai manusia. Sangat mengherankan misal atas munculnya beragam pembahasan perihal syura hingga menimbulkan perdebatan yang cukup menegangkan, terutama topik diseputar kewajiban syura berikut keharusan untuk memenuhi setiap ketentuannya yang dalam hal Muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 di Jombang Jawa Timur ini diimplementasikan dalam Ahlul Halli Wal Aqdi.

Topik syura ini senantiasa menjadi perselisihan  sehingga mengundang perdebatan. Padahal, penyebab terjadinya perselisihan itu, menurut saya, adalah karena tidak adanya kesepakatan mengenai definisi syura sebagai sesuatu yang wajib menetapi dan masyurah (memberikan pendapat) serta istisyarah (meminta pendapat) yang fakultatif dipandang dari segi keharusan menetapinya. Pada hakekatnya, sengaja tidak mau mengetahui perbedaan itulah yang menyebabkan mereka menggeneralisasikan dalam memberikan hukum terhadap kedua istilah tersebut, berkaitan dengan harus ditetapi atau tidaknya. Penyama-rataan inilah yang menyebabkan munculnya perselisihan tegang di seputar topik tersebut.

Membedakan Istisyarah yang bersifat fakultatif dan syura (musyawarah) sebagai sesuatu yang harus ditetapi bukan berarti tidak mau memahami hubungan di antara keduanya, karena kedua istilah ini merupakan bagian dari bentuk-bentuk masyurah dan syura dalam arti luas. Dan untuk mempelajarinya dibutuhkan teori yang komprehensif, sehingga akan menghasilkan cabang-cabang hukum istisyarah dan masyurah yang fakultatif serta syura sebagai sesuatu yang harus ditetapi. Pada praktiknya, kedua istilah ini sering kali digunakan dengan makna yang sama. Syura lazim diartikan dalam arti umum yang mencakup segala bentuk pemberian advis (pendapat) dan musyawarah (bertukar pendapat). Oleh sebab itu, kami terpaksa membedakan antara syura dalam artian umum dan luas yang mencakup segala macam musyawarah dan tukar pendapat, kendati tidak harus ditetapi, yang saya istilahkan dengan masyurah atau istisyarah dengan syura dalam arti sempit yang berarti ketentuan yang harus ditetapi sebagai hasil keputusan jamaah, dan kita sebut syura (dalam arti sempit yang terbatas pada ketentuan-ketentuan yang harus ditetapi).

Hukum masyurah dan istisyarah berlaku pula pada nasihat, yaitu masyurah sukarela (yang tidak terikat), juga berlaku pada fatwa sebagai salah satu bentuk istisyarah atau masyurah praktis dan legal. Sebenarnya, luasnya jangkauan teori istisyarah atau masyurah dalam arti universal merupakan faktor utama yang membedakannya dari istilah demokrasi. Maka dalam tulisan ini saya berusaha sedapat mungkin untuk membedakan antara keduanya agar syura tetap memiliki ciri khusus  yang membedakannya dari yang lain. Hal ini, terutama sekali, mengenai kepentingannya yang timbul dari kewajiban menetapkan syariat.  Lebih-lebih perihal bentuknya yang komprehensif dan universal sebagaimana saya isyaratkan sebelumnya.

Asas syura dalam arti universal ialah bahwa eksistensi jamaah, hak-hak, dan pertanggung-jawabannya diambil dari solidaritas seluruh individu sebagai bagian darinya. Pendapat jamaah merupakan pendapat keseluruhan dari mereka; pemikirannya juga sebagai hasil pemikiran mereka; akalnya pun akal mereka. Kehendaknya yang kolektif juga tidak lain merupakan kehendak  seluruh individu atau orang-orang yang mukalaf dari mereka. Kehendak ini dicetuskan oleh suatu ketetapan yang mereka ambil berdasarkan hasil tukar pikiran dan perbincangan di antara mereka, yang dalam hal ini setiap mukalaf dari mereka memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat serta  membantah pendapat orang lain.  Jadi, prinsip syura memiliki pengertian bahwa setiap ketetapan yang ditentukan dalam jamaah harus merupakan bukti dari kehendak Jumhurul-jama’ah atau segenap individunya, dengan syarat bahwa mereka memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam menentang pendapat dan mendiskusikannya dalam penolakannya.

Jamaah bukanlah sesuatu yang terpisah dari individunya, karena setiap individu harus merupakan bagian darinya. Keberadaan seorang anggota di dalam jamaah telah memberikan kepadanya hak yang fitrah dan syar’i dalam rangka ikut serta bermusyawarah dengan penuh kebebasan bersama-sama dengan anggota jamaah yang lain. Termasuk di dalamnya kebebasan mengemukakan pendapat, mendiskusikan pendapat orang lain, dan menolaknya bila ia memiliki pendapat yang berbeda. Namun demikian, disyaratkan bahwa pada akhirnya ia harus mengakui dan menetapi ketetapan jamaah yang oleh jumhurnya (sebagian besar dari mereka) disebut  aghlabiyyah (mayoritas).

Keharusan ber-iltizam (berkomitmen) atas ketetapan jamaah inilah yang membuat jamaah sebagai “sumber kekuasaan hukum”. Jamaahlah yang menentukan pembagian kekuasaan. Jamaah pula yang membuat aturan dan memilih orang-orang yang menempati pos kekuasaan sekaligus mengontrol dan mengoreksi mereka. Karena kemerdekaan jamaah merupakan kemerdekaan individunya, maka setiap ketetapan yang dhasilkannya harus mengikutsertakan individu-individu dalam musyawarah yang bebas.  Dengan begitu, suatu ketetapan tidak akan dianggap sebagai hasil keputusan jamaah –dalam arti sebagai sesuatu yang benar– manakala sebagian dari anggota yang mukalaf dan sehat tidak diikut sertakan dalam musyawarah.  Terlebih lagi jika sebagian besar atau seluruh anggota jamaah tidak diberi hak dalam musyawarah.

Keikutsertaan anggota jamaah untuk mengambil hak-nya dalam tukar pendapat dan syura secara bebas berarti ikut sertanya mereka dalam ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan aturan-aturan jamaah secara keseluruhan, baik peraturan-peraturan yang berkaitan dengan urusan sosial, politik, manajemen, ataupun keuangan.  Oleh sebab itu, hak pribadi dalam masyurah dan syura yang bebas menjadi luas mencakup seluruh urusan jamaah, lembaga, peraturan, dan harta kekayaannya.  Hak pribadi mereka tidak terbatas hanya pada urusan-urusan politik atau pemerintahan sebagaimana anggapan sebagian orang. Hak pribadi dalam masyurah dan syura seperti itu merupakan haknya dalam kebebasan dan hak-hak asasi yang diambil dari fitrahnya sebagai manusia dan dari syariat Allah.  Karena syariat Allah merupakan syariat fitrah sejak Allah memuliakan Nabi Adam a.s. dan seluruh keturunannya dengan akal dan kebebasan memilih.

Al Qur’an sebagai Dasar Utama bagi Prinsip Syura

Sejak masa awal dakwah Islam, ketika kaum muslim di Mekah menjadi pribadi-pribadi yang tertindas dan selalu dalam kejaran musuh, Al Qur’an telah menumbuhkan dari mereka suatu masyarakat yang memiliki rasa kesetiakawanan yang sempurna. Pribadi-pribadi mereka disatukan dengan ikatan persaudaraan dan solidaritas, yaitu iman kepada Allah dan menyembah-Nya –dengan mendirikan shalat– dan gotong royong dengan tukar menukar pendapat dan menetapi Syura, serta bekerja sama dalam infak atau dalam urusan harta dan ekonomi dalam bentuk khusus. Dengan demikian, Syura dijadikan salah satu dari elemen-elemen kesetiakawanan sosial.  Di samping itu, Allah telah memuliakan Syura dengan menjadikannya sebagai nama dari salah satu surah dalam Al Qur’an.

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari reseki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy-Sura: 38)

“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka , mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran: 159)

Dari kedua ayat mulia ini tampak sejauh mana Al Qur’an memperhatikan terhadap penetapan mabda (prinsip) syura.  Allah mewajibkannya sejak dakwah Islam dimulai di Mekah sebagai manhaj (metode) dalam rangka mendirikan masyarakat Islam dan sebagai kaidah bagi sistem sosial dalam Islam. Kemudian Al Qur’an mengulangi pengukuhan mabda itu di Madinah, setelah kaum muslim mempunyai negara yang merdeka.  Pada saat itulah Allah menjadikan Syura sebagai fondasi sistim pemerintahan atau sistem konstitusi.

Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA)

Secara bahasa, Ahlul Halli Wal Aqdi berarti “orang yang berwenang melepaskan dan mengikat”.  Disebut “mengikat” karena keputusannya mengikat orang-orang yang mengangkat ahlul halli; dan disebut “melepaskan” karena mereka yang duduk disitu bisa melepaskan dan tidak memilih orang-orang tertentu yang tidak disepakati.

Tradisi ahlul halli dicontohkan oleh Khalifah Sayidina Umar bin Khattab r.a. ketika akan meninggal. Dia memilih orang-orang terpercaya sebagai wakil dari kaum Muslimin untuk mencari jalan keluar pascameninggalnya Khalifah Umar bin Khattab r.a. Mereka yang terpilih kemudian bermusyawarah, berdebat, dan memutuskan sesuatu yang harus ditaati anggota ahlul halli dan kaum Muslimin. Keputusannya saat itu, diantaranya adalah memilih Sayidina Utsman bin Affan r.a. sebagai pengganti Khalifah Umar bin Khattab r.a.

Tradisi ini semakin dikenal umat Islam setelah para Faqihmemformulasikan dalam bentuk ilmu Fiqih yang dipelajari oleh kaum Muslimin, seperti yang dilakukan Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyah. Al Mawardi memasukkan lembaga ahlul halli wal aqdisebagai institusi tersendiri yang berfungsi semacam legislatif disamping institusi-institusi lain yang membantu khalifah dalam menjalankan pemerintahan. Dalam fikih, institusi ini adalah wujud dari perintah Allah SWT. dalam Al-Qur’an dalam ayat: ”…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran: 159). Anggota Ahlul halli adalah perwakilan dari orang-orang yang berpengaruh dan penting di dalam umat, karena dalam wilayah yang luas dan umat yang banyak tidak mungkin satu orang diwakili satu orang, dan semua menjadi anggotaahlul halli.

Jamiyah Nahdlatul Ulama kemudian menggunakan tradisi ini dalam bentuk badan resmi bernama syuriyah dan berfungsi sebagai ahlul halli. Karena posisi demikian, mestilah ditaati, karena syuriyah menjadi institusi tertinggi, terdiri dari rais aam, yang diangkat oleh muktamar dan para ahlul halli yang dipilih formatur.

Di masa awal Nahdlatul Ulama (NU), ahlul halli sebagai fungsi juga pernah dikemukakan Nahdlatul Ulama ketika mengusulkan Indonesia berparlemen. NU membuat sebuah maklumat yang menyebut badan yang perlu ada itu sebagai ahlul halli wal aqdi:

“Menimbang bahwa pada pertama kalinya parlemen dalam arti yang sebenar-benarnya, yaitu permusyawaratannya Ahcoe’lchilli wal’-aqdi yang dipilih oleh umat Islam memang tuntunan (tata cara) Islam. Dipandang dari jurusan ini, syuriyah dan tanfidziyah menyetujui Indonesia berparlemen dengan arti tersebut.”

Di luar itu, sebagai fungsi, NU juga pernah mempraktekkan konsep ahlul halli bagi lembaga-lembaga kenegaraan Indonesia, yang saat itu dipimpin Presiden Soekarno, karena mendapatkan tantangan legitimasi dari berbagai pemberontakan, termasuk dari Darul Islam. NU memberikan gelar Soekarno sebagai waliyul amri adh-dharuri bis syaukah (pemimpin dalam keadaan darurat yang memiliki kekuasaan sah). Ini dilakukan NU karena didorong salah satunya oleh pandangan keagamaan, yaitu untuk menikahkan seorang perempuan yang tidak memiliki wali nasab, dilakukan oleh hakim. Sementara wali hakim itu, menurut mazhab Syafii, hanya dianggap sah kalau ia diangkat karena memperoleh kuasa dari pemerintah yang telah dianggap sah pula. Dari sudut ini, kemudian NU menganggap badan-badan yang dibentuk pemerintah yang sah berfungsi harus ditaati.

Persoalan yang sering ditanyakan terkait dengan pemilihan tidak langsung atau ahlul halli wal aqdi adalah apakah pemilihan ini menyalahi prinsip-prinsip  kedaulatan pengurus cabang dan wilayah NU? Rais aam syuriyah merupakan “wilayah khusus” dimana warga atau pengurus tanfidziyah sudah sami’na wa-atho’na (mendengar dan mematuhi), bukan lagi persoalan cabang terlibat atau tidak, karena syuriyah punya legitimasi kuat dalam syariah Islam. Pola pemilihan ahlul halli ini dicontohkan oleh khalifah kedua Sayidina Umar bin Khattab r.a.

Faktor kedua,  ketika supremasi ulama tergerogoti, maka persoalan kewenangan cabang dan wilayah dalam memilih dipinggirkan dulu. Ketika tantangan politik eksternal begitu kuat, ada alasan dilakukan melalui ahlul hallli wal aqdi.

Demokrasi itu hanya alat untuk mencapai tujuan. Bisa saja dalam situasi tertentu dilakukan asal secara ideologis tidak terganggu, tetapi ketika ruh dan jantung organisasi terganggu, yang akhirnya jantung organisasi dirampas orang. Ya tidak  bisa begitu.

Belajar dari Syarikat Islam

Organisasi Nahdlatul Ulama tidak bisa dibiarkan terlalu terbuka sehingga sembarang orang bisa menjadi pengurus tanpa pernah terlibat dalam proses didalamnya, sementara tantangan di luar semakin keras. Kelompok Islam transnasional merupakan tantangan baru yang harus diwaspadai infiltrasinya dalam lingkungan NU. Di beberapa daerah, sudah terindikasi penyusupan tersebut dan akhirnya bisa dikeluarkan. Orang makin kabur antara NU dan Islam transnasional. Ada yang sudah permisif  “…tidak apa-apa yang penting sama-sama Islamnya” padahal orientasi politiknya berbeda.

Saya sebagai warga kaum Syarikat Islam  menyatakan bahwa NU harus belajar dari “keruntuhan” Syarikat Islam (SI) yang pada zaman kolonial, merupakan organisasi Islam paling besar dan berjaya. Tapi puluhan tahun kemudian habis karena terlalu terbuka, pernah disatu masa ada kelompok SI hijau dan SI merah yang dimasuki anasir-anasir komunis. Ini tidak ada urusan demokratis dan tidak demokratis, ini urusannya eksistensi NU untuk masa depannya seperti apa, yang 12-13 tahun lagi sudah 100 tahun. Kalau dibiarkan, NU bisa seperti SI. Jadi orang yang mengurus NU merupakan orang yang betul-betul secara ideologi adalah orang NU, jelas, aswajanya seperti apa, pengkaderannya seperti apa.

Maaf, Gus Ir. Sholahudin Wahid yang lulusan ITB itu mungkin bisa saja terlupa atau kurang mendalami Syura dan boleh jadi masih percaya dengan Demokrasi ala barat one man one vote. Beliau mungkin lebih lekat ke insinyuran-nya ketimbang ke-kiyai-annya. Jadi bisa dimaklumi jika beliau kurang bisa menerima sistim AHWA dalam Muktamar NU kali ini.

Buat muktamirin NU, selamat bermuktamar. Semoga sukses.

KH. Muhammad E. Irmansyah

Pembina PERISAI (Pertahanan Ideologi Sarekat Islam) dan Mustasyar Mu’assasah Tathwir Asy Syi’ar Al Islami.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular