Thursday, March 28, 2024
HomeGagasanRevolusi Mental Pada Legislator Daerah

Revolusi Mental Pada Legislator Daerah

indra j piliang cakrawarta

Dalam masa kampanye Pilpres 2014 lalu, Ir. Joko Widodo menulis sebuah artikel di Harian Kompas. Tulisan itu muncul pada 10 Mei 2014 dan menjadikan Revolusi Mental sebagai konsep perubahan paradigma dan mindset bangsa Indonesia terutama pihak penyelenggara pemerintahan mulai pusat hingga daerah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Jika dua tulisan awal saya membahas mengenai apa dan bagaimana Revolusi Mental itu sendiri dan bagaimana ia diterapkan dalam tubuh birokrasi kita maka tulisan ketiga ini mencoba untuk melihat bagaimana wujud atau penerapan Revolusi Mental dalam kerja-kerja yang dilakoni oleh anggota-anggota legislatif daerah?

Dalam pemilu 2014 lalu, terdapat 243.084 calon anggota legislatif yang memperebutkan 20.389 kursi legislator di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata satu kursi diperebutkan dua belas orang. Jumlah yang sebetulnya tak banyak, tetapi seperti hendak mengoyak Indonesia setiap lima kali setahun.

Satu orang calon anggota menghabiskan anggaran sebesar Rp. 834.000.000,- jika anggaran yang dihitung hanya Rp 17 Trilyun APBN yang digunakan untuk itu. Jika dikalikan dengan jumlah anggaran yang dipakai oleh masing-masing partai politik dan perseorangan, katakan saja rata-rata dikalikan dua, maka ada sekitar Rp 1.668.000.000,- uang yang dibelanjakan secara resmi atau tidak resmi oleh masing-masing calon.

Ehem, bahkan, ada yang membelanjakan sampai Rp 70 Milyar guna mendapatkan satu kursi di DPR RI. Orang mengira, bahwa dana itu ditujukan untuk mendapatkan keuntungan secara material setelah menjadi anggota legislatif. Padahal, dari banyak sekali anggota parlemen yang bisa ditemui, rata-rata merasa tidak bisa mengembalikan jumlah dana yang mereka telah belanjakan itu, dengan penghasilan sebagai anggota legislatif. Kenapa? Karena pada prinsipnya, setelah Pemilu, justru yang menghidupi partai politik mayoritas terdiri dari anggota-anggota legislator terpilih ini. Artinya, apabila hanya satu kursi legislator yang didapatkan oleh partai, sementara calon yang diikut-sertakan sebanyak dua-belas orang, otomatis beban sebelas orang lagi akan berpindah kepada yang satu orang selama lima tahun.

Alangkah nelangsanya, apabila selama duduk di legislatif, sang legislator mendapatkan tuduhan yang sama sekali tak enak, dikirimi berbagai tagihan atas nama partai, konstituen ataupun kelompok-kelompok kepentingan yang lain. Pun, apabila menghadapi persaingan yang tak sehat di dalam partai, bisa sewaktu-waktu terlempar dari posisi yang empuk di komisi-komisi basah. Apa dasar dari “lempar-lempar komisi” itu? Bukan keunggulan komparatif masing-masing legislator, bukan kualitas pribadi sebagai “tukang bicara”, apalagi juga bukan sebagai kritikus yang hebat atas kebijakan-kebijakan pemerintah (baik pemerintah itu berasal dari partai sendiri ataupun partai orang lain), melainkan hanya semata-mata salah dalam mengambil posisi perebutan ketua umum partai politik kala pemilihan diadakan.

Dan salah dalam pengertian ini adalah diam, tak mengangguk, tak menggeleng, ataupun suatu ketika terlihat sedang nongkrong di sebuah kafe bersama “Tim Sukses Caketum Yang Lain”. Begitulah, partai yang idealnya makin dewasa, arif dan bijaksana, serta makin antisipatif menghadapi gejolak-gejolak domestik, kawasan dan manca-negara, justru dihinggapi oleh penyakit-penyakit ala nenek sihir dalam kisah Oki dan Nirmala di majalah kanak-kanak. Ironisnya, hampir semua partai tidak berupaya untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ala nenek sihir ini. Perseteruan dan permusuhan bahkan dikoar-koarkan dan dikibar-kibarkan, di satu sisi. Di sisi sebaliknya: amanat penderitaan rakyat, revolusi mental, hingga nawacita dan jubah-jubah relegius digunakan ketika masanya tiba demi kesejatian dan kesucian perjuangan.

Akibat yang kian terasa, kendali politik tak lagi ada di dalam tubuh legislatif sendiri. Pasar politik berpindah ke ruang-ruang maya dan sejak pemilu 2014 digantikan oleh media sosial. Ksatria-ksatria elok rupa malah berbentuk akun-akun anonim yang bahkan tak diketahui siapa pemiliknya. Saking tak ada lagi para ksatria dalam ranah nyata, bahkan ada seorang calon gubernur yang bersedia dibuatkan buku oleh akun anonim dengan nama anonim yang tentu saja seluruh ceritanya tak bisa dirujuk referensinya. Saking tak berdayanya, Pemerintah malahan bersibuk ria bersama Parlemen untuk mengendalikan gunjingan di media sosial dengan merevisi UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bahkan langsung diberlakukan tanpa disosialisasikan. Padahal, jika lebih banyak orang bersikap ksatria dan terbuka atas segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, serta bertanggungjawab atas apa yang ia tuliskan, akan sulit sekali menemukan manusia-manusia yang merasa lebih baik berlindung dibalik keanonimannya itu.

Di sinilah peran penting Revolusi Mental di kalangan legislator daerah. Saya tidak memiliki data, seberapa banyak anggota legislatif daerah yang bisa terpilih untuk kedua-kalinya, atau lebih. Tetapi, masing-masing partai politik sudah melakukan pembatasan, maksimal dalam dua periode dalam kedudukan dan posisi yang sama. Artinya, hanya maksimal sepuluh tahun jejak langkah dan rekam juang masing-masing anggota legislator itu yang secara maksimal bisa dijalankan. Selebihnya, memang ada juga yang bisa terpilih lebih dari itu, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan biasanya menduduki posisi puncak dalam tubuh partai politik yang bersangkutan. Dengan jatah waktu sepuluh tahun itu, sudahkah diukur bentuk-bentuk perjuangan apa saja yang layak dicatat di bidang legislasi, bidang anggaran, hingga bidang pengawasan?

Revolusi Mental kalangan legislator daerah sangat ditentukan kepada sejauh mana keikhlasan masing-masing anggota tentang zaman yang semakin cepat bergerak, waktu yang kian tak bisa dibaikan, serta masalah-masalah yang tak lagi sama dengan waktu-waktu sebelumnya pada waktu kampanye dihelat. Memberikan perhatian kepada generasi baru adalah juga bagian penting dari proses Revolusi Mental itu sendiri.

INDRA J. PILIANG

Direktur Eksekutif The Gerilya Institute

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular