Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPro Kontra Maulid Nabi: Merasakan Bukan Membincangkan

Pro Kontra Maulid Nabi: Merasakan Bukan Membincangkan

 

Setiap menjelang Maulid Nabi, seperti yang sudah-sudah, meski dengan intensitas yang sudah menurun, debat pro dan kontra tentang boleh tidaknya merayakan Maulid Nabi terus berlangsung. Saya sendiri tidak pernah merasa tertarik untuk ikut nimbrung dalam perbincangan itu. Manusiawi untuk berbahagia pada hari kelahiran orang yang kita cintai, demikian ngendikane KH Mustofa Bisri alias Gus Mus yang pernah saya dengar (entah kapan, saya sendiri lupa).

Kemanusiawian kegembiraan ulang tahun itu nampak dari semangat dan sumringah dalam membalas ucapan selamat ulang tahun di lini facebook pada teman-teman yang dulu saat kuliah saya kenal galak dalam membid’ahkan perayaan ulang tahun. Tasyabbuh bil kuffar katanya.

Berbahagia, menghadirkan cinta memang bukan untuk diperdebatkan, tapi dirasakan. Saya masih ingat waktu awal-awal diminta mbah wali ikut mengampu padepokan Lir-ilir, yakni semacam pesantren untuk para mahasiswi yang menempuh jenjang S2 di Magister Studi Islam UMS. Melihat latar belang studinya saja saya sudah nggak pede sebenarnya, apalagi dari tampilannya. Ada yang utusan dari pesantren Hidayatullah Balikpapan, dari pesantren Gontor, alumni tercepat UGM, Kedokteran UNS dan yang semisalnya. Tampilannya juga jubah lebar ala aktifis dan ada yang bercadar (cuma satu yang berjilbab ala front office kantor).

Teman-teman lain yang ikut mengampu mungkin tidak kerepotan karena basic-nya memang santri genetik, atau aktifis kampus. Lha saya ini hobi cangkrukan di wedangan dilibatkan juga. Tugas yang diberikanpun masih asing di telinga saya, yakni Sosiologi Dakwah. Mau nyari dalil tentang realitas sosiogi keumatan tidak berani, daripada nanti diminta ngi’rob dan nunjukin sanad ilmu dari kaum santri genetik.

Saya akhirnya memilih para mahasiswi tersebut untuk mendiskusikan realitas dakwah di tempatnya masing-masing. Dan seperti dugaan saya, yang disebut problem dakwah adalah bercokolnya tradisi dan adat di masyarakat. Jadi arah dakwah adalah bagaimana masyarakat hidup dalam norma syari’at yang tanpa tradisi. Dunia yang Islami, adalah dunia tanpa slametan, yasinan dan tahlilan, begitulah kira-kira.

Padahal seni dan tradisi adalah salah satu pintu masuk yang hendak saya gunakan untuk membahas metode dakwah ke masyarakat. Kalau pendekatannya melalui debat fiqih, maka saya akan jatuh pada dua kesalahan, yang pertama itu bukan bidang saya, yang kedua nanti tidak jadi kuliah tapi malah debat adu dalil. Seperti keumuman umat, membahas pertanian adu dalil tentang hukum kompos, membahas perburuhan adu dalil tentang definisi ajir, dan habis itu capek kemudian tertidur.

Akhirnya, saya memilih untuk mengajak mbak-mbak santri genetik dan aktifis tersebut untuk merasakan bukan memperdebatkan kebudayaan. Saya carikan video maiyah yang menurut saya pas, yang membahas tentang universalitas nada, suara dan juga budaya sebagi suara “fitrah”. Ketemulah acaranya Cak Nun dan Kyai Kanjeng saat mengisi Muktamar PKS di Jogja. Dan Alhamdulillah, ternyata tidak ada resistensi, diskusi selanjutnya berjalan lebih cair dan ketika Cak Nun dan Kyai Kanjeng manggung di UMS, semuanya minta ijin untuk nonton.

Jadi memang, seni, tradisi, budaya dan cinta itu sesuatu untuk dirasakan bukan cuma diperdebatkan dari sisi fiqihnya. Fiqih penting untuk menjaga agar tetap berada pada aras etika, namun tanpa merasakannya kita sebenarnya tidak akan mendapat apa-apa. Sama seperti ketika kita menyambut Maulid Nabi hanya dengan perdebatan boleh dan tidaknya tanpa kita ikut mencoba larut dan cinta pada Sang Nabi itu sendiri. Dan sepertinya, Lagunya Ebiet G Ade yang berjudul “Dendang Kita Bersama” pas didengar setelah kita membaca puisi-puisi cinta kepada Nabi Muhammad yang dikutip oleh Annemerrie Schimmel dan bukunya Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Cahaya Purnama Kekasih Tuhan.

Setiap nyanyian cinta musti terdengar lembut
Penuh bisikan mesra, penuh tembang pemanis
Air matapun tetes getar jantung berdetak
Puisi jingga, kita terlena.

BOYOLALI, 8 November 2019

 

ARIF WIBOWO

Penikmat Sejarah, Penulis dan Aktifis

RELATED ARTICLES

Most Popular