Friday, April 19, 2024
HomeGagasanPerluasan Penempatan TNI Pada Jabatan Sipil Khianati Reformasi

Perluasan Penempatan TNI Pada Jabatan Sipil Khianati Reformasi

 

Rencana penempatan perwira di jabatan sipil yang kabarnya menyeruak beberapa waktu ini, telah memicu polemik. Meski pemerintah dan pihak Mabes TNI berupaya memastikan bahwa realisasinya tidak akan memunculkan kembali dwifungsi seperti zaman orde baru, masyarakat tetap saja khawatir itu terjadi.

Menurut saya ya wajar saja jika masyarakat khawatir. Secara normatif dwifungsi memang sudah dihapus seiring reformasi dan berlakunya UU 34/2004 tentang TNI. Namun pada kenyataannya, praktik-praktik pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil tak sepenuhnya dapat ditiadakan. Bahkan menampakkan kecenderungan menguat dalam kurun waktu empat tahun terakhir.

Hal itu ditandai dengan cukup banyaknya program-program pemerintah maupun kegiatan-kegiatan sektoral yang melibatkan TNI. Diantaranya adalah pelibatan yang dilakukan melalui nota kesepahaman antara sejumlah kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah dengan Mabes TNI.

Pelibatan itu dalam pelaksanaannya kemudian bukannya tanpa ekses negatif baik di internal K/L, maupun di masyarakat. Sebut saja dalam program swasembada pangan (pemantauan distribusi bibit dan pupuk, serapan gabah petani, pencetakan sawah baru, dll), pembangunan infrastruktur di Papua dan sejumlah daerah lainnya, juga dalam kegiatan pengamanan obyek vital di sektor perhubungan maupun ESDM.

Hal itu tentu sedikit banyak mempengaruhi persepsi publik yang belum sembuh dari trauma praktik buruk dwifungsi sebagai wujud militerisme di masa orde baru.

Lantas muncul pertanyaan, apa yang mestinya dilakukan pemerintah menyikapi meluasnya kekhawatiran tersebut? Idealnya tentu saja adalah pemerintah tidak meneruskan rencana itu. Menarik-narik TNI dalam urusan-urusan sipil jelas bukan gagasan baik. Apalagi kita jelas tak mungkin memisahkan politik dan pemerintahan. Menempatkan perwira TNI di posisi-posisi strategis K/L sama saja dengan membuka jalan bagi kembalinya militer ke kancah politik, dan itu jelas melawan amanat reformasi.

Pemerintah mestinya memahami bahwa TNI sebagai tentara yang lahir dari perjuangan kemerdekaan secara alamiah memiliki karakteristik praetorian. Sulit bagi mereka untuk memisahkan diri antara peran sebagai tentara profesional, atau sebagai pejuang. Karena itu, pelibatan mereka dalam event-event politik pemerintahan dan kenegaraan selalu dimaknai sebagai sesuatu yang heroik, sebagai kontribusi terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.

Sementara di sisi lain, pemaknaan itu justru mendegradasi demokrasi, membentuk citra negatif ketidakmampuan bahkan kegagalan sipil dan seolah hanya militerlah yang dapat diandalkan perannya dalam mengelola pemerintahan dan negara ini.

Meski hari-hari ini pemerintah maupun Mabes TNI berupaya meyakinkan bahwa rencana penempatan personel TNI itu tak akan mengembalikan dwifungsi, siapa bisa menggaransinya di masa depan? Taruhlah pemerintah maupun pimpinan TNI saat ini berkomitmen memastikan pelaksanaannya akan dilakukan dengan hati-hati, harus diingat bahwa rezim dan pucuk pimpinan TNI bisa datang silih berganti. Rezim dan pimpinan terbaik sekalipun, tetap terikat waktu. Tak ada jaminan praktiknya tetap baik di masa depan. Toh jalannya sudah terbuka.

Berpijak dari realitas itu, saya berpendapat rencana perluasan penempatan perwira TNI di sejumlah K/L tidak tepat, tidak strategis dan tidak menyelesaikan masalah mendasarnya bahwa ada yang perlu dibenahi dalam pembinaan personel di tubuh TNI dan pembangunan pertahanan kita.

Kita juga tak bisa menutup mata akan adanya potensi konflik di internal organisasi K/L yang dimasuki. Ingat, para perwira itu bukan akan dimasukkan ke sebuah ruang kosong. Tempat-tempat itu juga sudah berisi banyak orang.

K/L itu juga punya banyak aparatur yang harus dibina karirnya, diapresiasi kinerja dan prestasinya. Bayangkan saja, akan ada berapa banyak aparatur sipil negara (ASN) yang kecewa ketika posisi yang mestinya bisa mereka raih, lepas hanya gara-gara pemerintah ingin mewujudkan rencana instan itu? Apalagi adalah fakta bahwa persoalan personel ‘nganggur’ sebenarnya juga terjadi di banyak K/L.

Belum lagi soal kompetensi dan kecakapan. Cobalah bercermin pada sejumlah lembaga yang saat ini memang diperkenankan untuk diisi oleh personel TNI, ternyata banyak kita dengar keluhan soal kompetensi dan kecakapan itu.

Sementara UU ASN sendiri telah memiliki solusi terkait pemenuhan kebutuhan personel ahli dan kompeten dengan skema rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Skema ini dapat digunakan mulai dari posisi eselon 1 hingga tenaga-tenaga terampil untuk level staf.

Artinya, tak mudah merealisasikan rencana itu tak bisa sebagai solusi permasalahan di tubuh TNI. Permasalahan “pengangguran” itu tak boleh dipaksa untuk diselesaikan secara instan hanya untuk mengejar citra positif pemerintah di tahun politik ini, apalagi sekadar untuk meraih dukungan militer terhadap rezim.

Salahsatu pintu masuk realisasi yang digunakan pemerintah adalah dengan menggulirkan wacana revisi UU TNI yang sudah berusia 15 tahun. Perubahan memang sudah diperlukan untuk menyesuaikan kondisi dan tantangan zaman. Sebagai payung hukum dan landasan operasional, UU yang baik mestinya punya proyeksi strategis dan antisipatif terhadap kebutuhan masa depan.

Lalu apakah memasukkan agenda penempatan perwira TNI itu sesuatu yang layak? Bagi saya jawabannya tidak. Pencabutan dwifungsi itu final dan mestinya ditandai dengan hilangnya praktik-praktik pelibatan TNI dalam hal-hal yang bukan tugas pokok dan fungsinya. Revisi UU TNI tak boleh membuka peluang dwifungsi hadir dengan baju dan identitas baru, apalagi dengan alasan-alasan yang tak meyakinkan sama sekali.

Jika pemerintah benar-benar serius membangun postur pertahanan kita menuju ideal, fokus saja pada penyempurnaan organisasi dan kekuatan esensial TNI sesuai proyeksi ancaman. Dibarengi juga dengan merealisasikan payung hukum bagi implementasi sistem pertahanan semesta seperti soal mobilisasi/demobilisasi, komponen cadangan/pendukung, hingga menuntaskan reformasi peradilan militer agar TNI kita makin selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan ‘civil soviety’.

Sebagai catatan akhir, polemik ini berawal dari menyeruaknya kabar adanya ratusan perwira menengah dan tinggi yang tak memiliki jabatan. Kabar yang tak menggembirakan. Bagaimanapun ‘pengangguran’ dengan kecakapan dan keahlian bertempur dan mengorganisasi peperangan tentu saja bisa menjadi potensi ancaman lain.

Permasalahan itu memang bukam baru terjadi saat ini saja, namun jelas menunjukkan adanya kelemahan atau gangguan yang berkelanjutan dalam tatakelola personel TNI. Kelemahan tentu saja terkait kondisi internal bahkan bukan tak mungkin juga berkaitan dengan kemampuan manajerial dan perencanaan dari para pimpinan TNI beberapa tahun terakhir. Selain itu, percepatan regenerasi yang tak dibarengi pemetaan kebutuhan dan kemampuan penyerapan personel, sedikit banyak juga memberi andil.

Sementara itu, gangguan berasal dari eksternal. Pergantian rezim, pergantian pemegang pucuk-pucuk pimpinan yang diiringi kentalnya politisasi dalam proses mutasi-promosi juga menambah beban organisasi.

Panglima TNI sudah benar membuka persoalan ini ke publik agar semua pihak bisa ikut memahami bahwa organisasi TNI butuh dibenahi. Namun yang tidak tepat adalah solusinya. Alih-alih fokus pada upaya pembenahan tatakelola personel, pemerintah justru menawarkan solusi yang membuat gaduh dan mengkhawatirkan.

Maka tak ada pilihan lain bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil selain berteriak lantang menolaknya. Hal ini mengingat pembatasan kiprah TNI di ranah sipil itu bukannya tanpa afirmasi. Undang-undang sudah membuka peluang bagi personel TNI untuk bisa mengisi posisi di 10 K/L, kemudian masih ditambah lagi dengan 3 lembaga, melalui payung peraturan presiden. Afirmasi itu cukup fair karena masih berada dalam ruang lingkup kompetensi dan keahlian para personel TNI itu.

Lalu, meskipun tak diperkenankan secara permanen, TNI melalui kegiatan operasi militer selain perang (OMSP) dan kerjasama-kerjasama terbatas dengan sejumlah K/L juga masih dapat dilibatkan sesuai urgensi dan kebutuhan.

Jikapun harus ada payung hukum baru bagi pelibatan TNI itu untuk memastikannya tak berjalan melenceng, bagi saya jawabannya bukanlah memasukkan rencana itu dalam agenda revisi UU TNI. Dalam hal ini, saya lebih tertarik untuk menyarankan pemerintah dan parlemen mau membuka diri terhadap konsep RUU Perbantuan TNI yang diusulkan sejumlah elemen masyarakat untuk memayungi, mengendalikan dan mengawasi pelibatan TNI dalam urusan penegakan hukum, keamanan dalam negeri, maupun pelaksanaan pembangunan dan program pemerintah di berbagai sektor.

DENPASAR, 25 Februari 2019

 

KHAIRUL FAHMI
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

RELATED ARTICLES

Most Popular