Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanPerang Sengit Aktivis Pergerakan Dalam Pilgub DKI (2)

Perang Sengit Aktivis Pergerakan Dalam Pilgub DKI (2)

indra j piliang cakrawarta

Terdapat sejumlah isu atau tema “penting” yang coba dimainkan oleh jejaring aktivis pergerakan mahasiswa era 1980-an dan era 1990-an ini dalam mendukung calon masing-masing. Isu atau tema yang sebagian besar terlalu jauh dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat Jakarta yang dapat dilihat dari hasil-hasil survei. Terlihat sekali betapa isu atau tema itu bersifat simptom yang melekat dalam kepala masing-masing, ketimbang keadaan yang sebenarnya.

Mari kita sigi satu demi satu, terutama serangan yang diarahkan kepada Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Kita mulai dari yang paling mutakhir, yakni penyebaran secara masif “Akad Politik” yang seolah-olah ditanda-tangani oleh Anies dan Sandi bersama sejumlah tokoh agama Islam.

Ketika pertama kali melihat surat itu, mata saya langsung tertuju kepada nama KH Ismail Yusanto, Juru Bicara Hisbut Tahrir Indonesia. Masalahnya, sejak kapan Ismail Yusanto yang saya kenal baik itu “bergelar” Kyai Haji? Bukankah Kyai Haji adalah sematan yang sering diberikan kepada apa yang banyak dipopulerkan sebagai Ulama Nusantara? Tanpa perlu melakukan konfirmasi (tabayun) kepada Ismail, akal sehat sehat saya sudah bekerja betapa dalam soal elementer itu saja sudah keliru.

Menjelang proses penyoblosan Pilpres 2014, saya diundang oleh Hisbut Tahrir Indonesia untuk menjelaskan perkembangan terakhir menyangkut kontestasi yang terjadi di markas besarnya. Yang saya pahami, HTI memiliki perhatian besar kepada politik nasional Indonesia. Dalam lembaran dakwah yang diedarkan pada saat saya menjalankan sholat Jumat di Fakultas Teknik Universitas Hassanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan, terang sekali kentalnya nuansa politik yang dituliskan. Hanya saja, HTI tidak membaca secara detil, melainkan dalam bentuk kompilasi berita-berita yang mereka dapatkan di media massa.

Tapi, apakah nuansa politik dalam lembaran dakwah mereka itu sekaligus keberpihakan politik? Mudah saja membaca sikap HTI itu, yakni pengulangan slogan kampanye mereka selama ini, yakni menolak jalan demokrasi dan mendukung bentuk kekhalifahan sebagaimana dijalankan dalam zaman Khulafahur Rasyidin. Artinya, bagaimana mungkin HTI menandatangani akad politik dengan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang murni menempuh jalur demokrasi? Tidak mungkin HTI mengakui “jalur haram” itu dengan cara membubuhkan tanda-tangan.

Saya langsung mencari akun twitter Ismail Yusanto. Benar saja, Ismail mengungguh foto surat palsu yang beredar dengan menyatakan surat itu palsu. Palsu yang sebenar-benarnya palsu, yakni tanda-tangan yang dibubuhkan. Yang luar biasa, seluruh tanda-tangan tokoh yang berada dalam lembaran surat itu juga palsu, termasuk tanda-tangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Kalaupun bentuknya adalah kontrak politik, sama sekali tidak ada juga materai dalam surat itu. Gegabah sekali.

Masalahnya, surat itu sudah disebarkan oleh tokoh-tokoh penting aktivis pergerakan mahasiswa 1980-an dan 1990-an di media sosial dan whatsapp messenger. Alamak, tidak ada matinya. Buzzer-buzzer yang bergelar akademik dengan enteng menyebarkan kepada publik. Tentu dengan kalimat penolakan, “Andai benar surat ini bla bla bla.” Penulis tahu persis, kalimat template itu adalah cara untuk melepaskan diri dari tanggung jawab sosial, hukum, pun akademik dan intelektual. Kalimat yang sesungguhnya tidak bertanggungjawab.

Dan lebih terasa hebat lagi, kala kalimat sakti itu sudah ditulispun, beragam tudingan dan insuniasi ditujukan kepada Anies-Sandi. Bagaimana bisa beberapa kesimpulan dibuat, tanpa kesadaran penuh betapa bukti yang dimiliki sangat lemah, tak masuk akal, serta terlihat dipaksakan.

Apalagi, kalau dipelajari dengan baik, UU nomor 29 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sama sekali tak mendekonsentrasikan pelaksanaan syariat Islam sebagaimana yang berlaku di Aceh. Di luar Aceh, tak ada pemberlakuan syariat Islam untuk warga negara yang beragama Islam sama sekali. Kewenangan di bidang keagamaan masih menjadi domain Pemerintah Pusat, sebagaimana halnya dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, peradilan dan sebagainya.

Sungguh saya tidak mengerti sama sekali, darimana asal logika yang coba dibungkus oleh sosok-sosok yang makin kehilangan reputasinya sebagai aktivis yang jujur dan apa adanya itu. Cara mereka yang cacat secara akademis itu bukan sekali atau dua kali. Cara merepet dan merapal mantra yang tentu saja bukan berasal dari lingkungan sekolahan dan akademis, apalagi pergerakan masyarakat sipil yang mengedepankan nalar dengan baik.

Contoh lain yang mereka sampaikan adalah tuduhan betapa Anies memiliki istri muda. Isu yang sama sekali sudah dibantah itu menyimpan masalah etika sosial yang hitam. Apa masalahnya jika ada orang yang memiliki istri muda, sebagaimana juga dilakukan oleh sejumlah tokoh di kalangan mereka? Kalau soal kurang ganteng atau kurang gagah, mengapa laki-laki lain yang dijadikan sasaran iri hati? Ahaaaai.

Dengan kemunculan isu akad politik itu menunjukkan berkali-kali lagi tentang lemahnya hubungan dan komunikasi sosial para aktivis pergerakan yang seolah sedang menjadi jenderal lapangan politik itu. Dalam kacamata yang lebih makro, mereka seperti terjebak sebagai diktator-diktator pikiran yang merasa serba putih, sementara yang lain serba hitam. Jangan-jangan yang terbangun adalah semacam fasisme yang dimulai sejak dari pikiran. Suatu gejala yang terlihat dengan ketumpulan logika, kebencian berlebihan, juga jempol yang terus bekerja tanpa mau membaca logika-logika dan fakta-fakta lain yang sesungguhnya berbeda.

Diluar itu, saya berpikir kembali tentang bagaimana persaingan ideologi di dalam masyarakat Jakarta, sehingga cara-cara yang uneducated itu dilakukan secara sadar. Sudah ada data-data yang bisa disimak, betapa sejak pemilu 1955 sampai pemilu 1987, Jakarta sesungguhnya lumbung suara Partai Masyumi dan “Neo Masyumi”. Beberapa partai yang menang di Jakarta usai pemilu 1987 itu juga menunjukkan bahwa masyarakat Jakarta sesungguhnya oposisional terhadap segala sesuatu yang bernama penguasa. Masyarakat Jakarta adalah pemilih-pemilih yang berkali-kali menunjukkan diri sebagai kontra hegemoni rezim politik penguasa, dalam hal ini pemerintah (pusat).

Hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2007 dan tahun 2012 menunjukkan itu. Fauzi Bowo hampir saja kalah dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2007. Karena berpenampilan seperti penguasa sungguhan, masyarakat Jakarta benar-benar menghukum Fauzi Bowo dengan cara memenangkan Jokowi pada tahun 2012 lalu. Padahal, Istana Negara benar-benar di belakang Fauzi Bowo, begitu juga dengan partai-partai politik pemerintah. Soliditas suara oposisi terus dibangun masyarakat Jakarta sekali dalam lima tahun. Begitu juga dalam Pemilu dan Pilpres 2014. Kelompok yang berada pada sisi pemerintah (pusat) digasak rakyat hingga Teluk Jakarta.

Saya akhirnya berpikir begini: warga Jakarta sebetulnya bukan menjadi oposisi bagi pemerintah (pusat). Yang terjadi, masyarakat Jakarta merasa berada di atas (beyond) pemerintah (pusat) sendiri. Sebagai wilayah yang memiliki kelas menengah terdidik dan kelas ekonomi atas terbesar, warga Jakarta sama sekali tak mau menjadi Pak Turut. Ya, warga Jakarta tetaplah Pak Ogah yang berada di perempatan jalan. Tapi bukan Pak Ogah yang minta “Cepek, Dong!” melainkan yang justru merasa memberikan pajak dalam jumlah besar bagi berjalannya pemerintahan.

Dan saya tetap heran, kenapa masih ada barisa kaum aktivis pergerakan mahasiswa 1980an dan 1990-an yang tak membaca geliat seperti itu. Mereka seolah adalah bagian dari bebek-bebek kekuasaan yang tak banyak lagi berpikir secara fundamental, baik secara mikro, apalagi makro.  (Bersambung).

INDRA J PILIANG

Anggota Dewan Pakar Partai Golkar

Analis Senior Sang Gerilya Institute

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular