Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanPemuda Ujung Tombak Kemerdekaan Indonesia (1): Tanpa Desakan Pemuda, Indonesia Tak Mungkin...

Pemuda Ujung Tombak Kemerdekaan Indonesia (1): Tanpa Desakan Pemuda, Indonesia Tak Mungkin Merdeka

 

Bangsa Indonesia tahun 2020 ini genap berusia 75 tahun, berarti menjelang satu abad. Rasa syukur sudah tentu kita panjatkan kepada pencipta alam dan segala isinya ini. Oleh karena itu, tidaklah keliru jika di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, para pendiri negara mencantumkan kalimat: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Ketika Yayasan Pustaka Obor Indonesia menyelenggarakan bedah buku: “Catatan BM Diah Peran ‘Pivotal’ Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45,” pada hari Senin, 21 Mei 2018, bertema “Idealisme dan Pragmatisme Pemuda Indonesia Masa Kini” peserta merasa tergugah mengkritisi idealisme dan pragmatisme pemuda Indonesia dan kita bisa memahami, bahwa benarlah pemuda itu penggerak dari sebuah kemerdekaan, sekaligus sebagai agen perubahan.

Bacalah buku awal kemerdekaan suatu bangsa di dunia ini, itu semuanya berawal dari semangat pemuda untuk menggerakkan kemerdekaan bangsa tersebut.

Di Indonesia, cita-cita kemerdekaan itu sudah berawal sejak tahun 1928, sebelum Indonesia merdeka, ketika para pemuda, meski ada yang mengatakan masih berjiwa kedaerahan, tetap saja gaungnya melewati batas-batas daerah dengan sumpah pemudanya.

Menurut Taufik Abdullah, juga salah seorang sejarawan Indonesia, dalam sebuah tulisannya tahun 1964, menjelaskan, bahwa pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis, namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil.

Dengan semangat yang bergejolak dan optimis, ujar Taufik Abdullah, itu menjadi modal tersendiri bagi pemuda dalam menghadapi arus globalisasi yang berkembang pesat dan sudah tidak terbendung, juga perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia kini memasuki era revolusi industri 4.0, yakni menekankan pada pola “digital economi,” artificial intelligence,” big data,” robotic,” dan lain sebagainya atau dikenal dengan fenomena “disruptive innovation.”

Maka di era ini kita dituntut serba cepat dan tepat dalam melakukan segala lini kehidupan, dalam tantangan situasi seperti ini pemuda adalah jawaban yang tepat untuk menghadapinya.

Bung Karno dalam pidatonya pernah mengatakan “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”. Tentu bukan tanpa alasan bung Karno berkata, peran pemuda sangat dibutuhkan dalam segi apapun, pemuda yang seperti apa? Tentunya adalah pemuda yang potensional.

Dipuluhan tahun yang lampau di Indonesia kiprah pemuda sudah banyak  terlihat, contohnya saja dalam kemerdekaan, pahlawan muda seperti Bung Tomo dengan gelora semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober tahun 1928 telah berhasil mengantarkan Indonesia kepada puncak kemerdekaannya di tahun 1945.

Pemuda hari ini memikul beban besar dari pemuda masa lampaunya yaitu memelihara kemerdekaan yang telah direbut dengan semangat yang tinggi, tumpah darah, korban harta, dan nyawa.

Oleh karena itu, berbicara tentang pemuda Indonesia, benar apa yang dikatakan dua pembicara diskusi, di Yayasan Perpustakaan Obor Indonesia itu, masing-masing Sejarawan Asvi Warman Adam dan Bonnie Triyana, bahwa Sumpah Pemuda 1928 menginspirasi Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kemudian melahirkan Angkatan 1966, 1998 dan 2018.

Sudah tentu peranan Pemuda Burhanudin Mohamad (B.M) Diah di dalam buku yang sedang didiskusikan, ketika ia menjadi ketua Angkatan Baru Indonesia bersama-sama Soekarni, Chaerul Saleh, Soepeno, Harsono Tjokroamunoto, Wikana, Asmara Hadi, tidak bisa begitu saja dilupakan di dalam melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Juga peranan tiga pemuda lainnya, yaitu Sjarief Thayeb, Sudiro dan Gultom.

Menurut Asvi Warman Adam, pemuda-pemuda inilah yang mendesak Soekarno-Hatta ketika dibawa ke Rengasdengklok dan mendesak Bung Karno-Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Menurut Asvi, peranan pemuda saat ini begitu penting.

Di dalam buku “Catatan BM Diah…,” yang didiskusikan di Yayasan Pustaka Obor Indonesia tersebut. Sebagai penyunting dan moderator, memang saya berharap buku yang awalnya memang ditulis B.M. Diah berjudul “Angkatan Baru ’45,” membangkitkan semangat yang diwariskan oleh pemuda masa lalu. Kenyataannya, memang ada juga pihak-pihak yang mengatakan, untuk apa kita bicara tentang sejarah, bukankah karena sejarah itu berbicara tentang masa lalu?

Memang benar, ujar Asvi Warman Adam, sejarawan Indonesia suatu ketika, bahwa berbicara sejarah adalah berbicara tentang masa lalu.Tetapi yang harus digarisbawahi penguasaan terhadap masa lalu dapat membantu mengontrol masa sekarang. Masa lampau dikontrol tegas Asvi, bukanlah demi kelampauannya, melainkan dalam rangka mengendalikan masa kini.

“Tanpa belajar sejarah, seseorang tidak mungkin bisa menjadi bijak,” ujar Asvi Warman Adam.

Asvi juga mengulas mengenai peranan B.M. Diah menyelamatkan konsep asli proklamasi yang dibacakan Bung Karno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Awalnya, ketika Bung Karno, Hatta, Acmad Soebardjo pulang dari Rengasdengklok, Achmad Soebardjo menawarkan tempat di kediaman Laksamana Muda Maeda untuk membicarakan konsep proklamasi yang akan dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi. Pada waktu itulah, Bung Karno menulis konsep teks proklamasi bersama-sama Bung Hatta dan Achmad Soebardjo serta menugaskan Sajuti Melik untuk mengetik konsep tulisan tangan Bung Karno penuh coretan koreksian.

Setelah diketik, konsep asli proklamasi tulisan tangan Bung Karno itu dibuang saja oleh Sajuti Melik. Pemuda B.M. Diah yang juga hadir sebagai wartawan “Asia Raya,” memperhatikan Sajuti Melik mengetik dari belakang. Sajuti Melik membuang saja konsep asli itu setelah diketik.

Di dalam situasi seperti inilah, naluri kewartawanan B.M. Diah muncul. Konsep asli teks Proklamasi itu dipungut pemuda B.M. Diah.

Pada tanggal 19 Mei 1992, Presiden Soeharto sambil tersenyum memegang konsep asli naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno yang diserahkan B.M. Diah di Bina Graha, Jakarta. Ikut menyaksikan pada waktu itu, Mensesneg Moerdiono. Di samping B.M. Diah, hadir pula Gubernur DKI waktu itu, Tjokropranolo.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular